Suara cicitan ayam kecil mulai menggema di dalam kotak seluas televisi layar datar 50 inchi. Padahal, secara sepintas, tak terlihat satu ekor ayam pun di dalamnya. Ketika mengintip ke dalamnya, barisan telur berjajar dengan rapih dengan guratan angka bertinta hitam di permukaannya. Tiba-tiba saja, lampu di dalam kotak mati dengan sendirinya.
Selang beberapa saat, lampu kembali menyala. Tampak sebuah telur yang retak dan hampir terbelah dua. Semakin lama, retakan tersebut semakin besar. Sembari lewat, Syarif Azis, Manajer Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan, langsung mengintip dari kaca yang ada di sisi luar kotak tersebut. “Sebentar lagi menetas,” serunya, sambil kemudian berlalu.
Benar saja, beberapa menit kemudian, seekor anak ayam dengan bulu yang masih basah sudah ada di dekat cangkang telur yang terbelah dua dan terbuka. Syarif pun tetap mendiamkan di dalam kotak penetasan hingga sehari lamanya. “Supaya badannya kuat dulu,” ungkapnya.
Upaya Syarif menetaskan telur ayam kampung tersebut memang terbilang biasa saja. Namun, penyandang gelar Sarjana Peternakan dari Universitas Padjadjaran Bandung ini justru menempatkannya ke dalam posisi yang istimewa: Mesin Pengolah Sampah Organik Dapur (SOD). Yah, ayam-ayam ini merupakan para serdadu program Limbah Jadi Berkah. Bersama Maggot Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly – BSF), kedua barisan serdadu tersebut menyantap habis sampah organik dapur yang ada di hadapannya.
Dalam kurun waktu lebih dari tiga tahun, Syarif bersama timnya berusaha mengembangkan sistem pengolahan sampah organik berbasis ekonomi sirkular. Dalam konteks ini, mereka menampung sampah organik dapur dari restoran dan hotel di Tasikmalaya untuk menjadi pakan ayam dan maggot BSF. Sampai saat ini, lebih dari dua ton sampah organik dapur berhasil diolah setiap bulannya di Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Setiap bulannya pula, mereka berhasil memanen 60 ayam kampung hidup yang siap diolah menjadi berbagai variasi makanan. Saat ini, Syarif dan tim sedang memperbanyak jumlah kandang indukkan ayam kampung. Strategi ini diharapkan bisa meningkatkan jumlah panen ayam kampung hingga seratus ekor ayam per bulan. Dengan demikian, fasilitas tersebut diharapkan bisa mengolah sampah organik dapur restoran dan hotel hingga mencapai empat ton setiap bulannya.
Secara kasat mata, Syarif menyimpulkan bahwa nutrisi sampah organik dapur restoran dan hotel bisa memenuhi nutrisi pakan ayam kampungnya. Hal ini tampak dari berat badan ayam hidup berusia 2,5 bulan peliharaannya yang setara dengan berat ayam kampung yang menggunakan pakan konsentrat. Bedanya, dia bisa menekan biaya pakan ayam nyaris mendekati angka nol Rupiah. Sampai saat ini, salah satu elemen biaya yang belum bisa ditekan adalah jagung dan konsentrat untuk anak ayam berusia di bawah satu pekan. Namun, pihaknya berencana memanfaatkan lahan kosong di sekitar kandang untuk memananam jagung yang dikombinasikan dengan pupuk bekas maggot (kasgot).
Meskipun sudah mencapai hasil yang diharapkan, tetapi bapak dua anak ini menegaskan perlu ada riset yang lebih mendalam dan detail tentang komposisi gizi sampah organik dapur restoran dan hotel. Menurutnya, riset tersebut diharapkan bisa memperlihatkan kekurangan atau kelebihan dan resiko kandungan gizi sampah organik dapur restoran dan hotel untuk pakan ayam beserta solusinya untuk menyempurnakan komposisi gizinya.
Dalam aplikasinya, Syarif dan tim menilai prosesnya sangat sederhana dan ringan. Mereka hanya perlu mendidihkan sampah organik dapur terlebih dahulu untuk menghilangkan bakteri yang berbahaya untuk ayam. Setelahnya, pakan sampah organik dapur tersebut dicampurkan dengan maggot BSF yang sudah dididihkan dengan perbandingan 3:2. Setelah didinginkan beberapa menit, pakan sampah organik dapur tersebut dihidangkan ke ayam sebanyak tiga kali sehari, pada pagi, siang, dan sore atau malam hari.
Selain ayam, maggot BSF juga berperan penting dalam mengolah sampah organik dapur restoran dan hotel. Hanya saja, kali ini Syarif tidak hanya menghidangkan sampah organik dapur semata untuk maggot BSF. Dia pun turut mencampurkan sampah organik dapur tersebut dengan kotoran ayam yang masih basah. Hasilnya, secara sekilas, ukuran maggot BSF usia 10 hari dua kali lebih besar dan panjang dibandingkan maggot BSF usia 20 hari yang hanya mengkonsumsi sampah organik sayur dan buah semata. Meskipun demikian, hal ini perlu diriset lebih lanjut untuk mengetahui penyebab fenomena tersebut, sehingga bisa memberikan perlakuan yang lebih tepat lagi pada masa yang akan datang.
Ke depannya, Syarif dan tim sedang mengembangkan budidaya ikan lele untuk memperkuat prinsip ekonomi sirkular dalam program Limbah Jadi Berkah Walungan. Dia pun mengajak para mahasiswa dan periset dari berbagai perguruan tinggi di Tasikmalaya dan Jawa Barat untuk datang ke Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan di Tasikmalaya dan meneliti lebih lanjut tentang ayam, maggot, sampah organik dapur restoran dan hotel, serta ikan lele. Harapannya, penelitian tersebut bisa meningkatkan program Limbah Jadi Berkah berbasis ekonomi sirkular, sehingga bisa bermanfaat untuk masyarakat yang lebih luas lagi. “Semoga sampah organik bisa jadi berkah untuk semua,” tutupnya.***