Tegal, Wayang, dan Manunggal

Adam adam babuh hawa
Siskang danur wilis
Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya
Dangiang wayang wayanganipun
Perlambang alam sadaya
Semar sana ya danar guling
Basa sem pangangen-angen
Mareng ngemaraken Dzat Kang Maha Tunggal
Wayang agung wineja wayang tunggal
Wayang tunggal

––Suluk Murwa Pewayangan

‘Tunggal,’ ‘manunggal,’ ‘Gusti,’ ‘dalang,’ dan ‘wayang’ merupakan kosakata-kosakata yang akrab sejak saya belia. Kata-kata itu jadi penyusun utama kalimat-kalimat Sastra Padalangan yang disebut suluk tersebut.

Saya selalu terpaku hening saat dalang melantunkan suluk dalam pentas wayang golek. Kata-kata dan suara berat sang dalang cukup menyihir. Paragraf suluk di atas biasanya terlantun saat pentas dibuka dan disebut ‘suluk murwa’ atau ‘murwa’ saja.

Wayang bermakna bayang atau bayangan. Dia merupakan bayangan dari hidup manusia. Dalam kisah pewayangan, dalang membawakan dialog atau paparan dalam bentuk prosa yang disebut nyandra. Di samping itu, dalang pun melantukan puisi-puisi dengan pola tertentu yang kadang terlantun dengan irama waditra atau gamelan, atau tanpa gamelan sama sekali. Lantunan sang dalang dalam citra bahasa puisi ini disebut suluk.

Bangunan suluk terangkai dalam bahasa Kawi yang mengandung siloka yang kuat, penuh petuah, serta pengikat lakon. Tujuan utama sastra-suluk adalah terciptanya “kalangwan”; yakni proses keindahan irama dan pilihan kata sastrawi yang menggiring pendengar pada keheningan batin yang menghenyak dan hidmat karena rambat keindahannya. Maknanya sendiri adalah keindahan yang melesap ke sanubari dan meninggalkan kesan mendalam. Sentuhan rasa ini mendahului pemahaman. Setelah Kalangwan teralami, barulah terjadi proses serap dan pemahaman tentang makna kalimat. Prosesnya bisa kuat karena ada daya aktivasi yang luar biasa di sana; semacam serapan intuitif, atau timbulnya momen ‘Aha.’

Kata suluk sendiri menyiratkan perkara penting. Suluk bermakna ‘jalan’ yang merupakan proses. Ada kode etik dan disiplin diri dalam menempuh jalan (thariq) itu. Thariq–thariqa–tarekat merupakan bagian dari agama (addin). Dan seni pedalangan menjadi salah satu budaya, lahan ekpresi, dan wahana ihwal cara memahami ‘agama’ sebagai suatu jalan hidup.

* * *

Sore hari pada tanggal 6 April 2021, saya bersama beberapa kawan bersiap dan berkemas. Kami berniat mengunjungi kota Tegal. Saya mulai terbiasa menggali khazanah, kisah, dan sejarah tempat yang dikunjungi. Pengetahuan ihwal tempat dan peristiwa ini sering mengantarkan saya kepada pemahaman yang lebih jauh. Ada proses penggalian, pendalaman, dan internalisasi, hingga patokan yang terpahat dalam diri dan menjadi kontrol atas tindak-tanduk dan pikiran.

Sebuah artefak hanyalah artefak belaka. Artefak bisa berupa benda-benda bersejarah ataupun tempat, sasaran terpatrinya peristiwa demi peristiwa pada era lampau. Secara jasad, suatu candi hanyalah tumpukan batu bata semata, yang tersusun dalam konfigurasi tertentu dan fungsinya tertentu pula. Namun, bagi seorang arkeolog ataupun mereka yang memahami kisah di balik peristiwa tumpukan batu bata itu, candi merupakan gudang pengetahuan tentang rangkaian kejadian yang menyusun sejarah manusia yang berdiam dan berinteraksi dengan candi. Pengetahuan itu menyoal tentang manusia, khususnya ihwal diri kita sendiri.

Secara indrawi, diri ini sekedar tubuh fisik belaka. Namun, jika kita meluaskan cakrawala pandang kita dan menarik bentangan waktu lebih panjang lagi, maka kehadiran manusia menjadi jauh lebih bermakna. Mari kita mengambil contoh semesta yang telah berusia 18 milyar tahun ini. Dalam rentang waktu tersebut, di dalamnya terdapat proses pembentukan bumi selama 5 milyar tahun lamanya hingga manusia bisa mendiaminya; ada sekian kisah naik dan leburnya peradaban silih berganti.

Semua kisah peradaban tersebut menggiring pemaknaan tentang kehadiran diri kita lebih jauh lagi. Apalagi jika ditarik ke pemaknaan samawi, yakni pada tujuan dan fungsi penciptaan manusia. Semestinya kehadiran makna akan sangat kuat, khususnya terkait hakikat diri kita. Karena, sejatinya hakikat hidup terletak pada makna dan cara memaknai kehidupan, yang salah satunya tersublimasi dari pemahaman atas khazanah-khazanah sejarah yang menyusun ‘diri’ kita sendiri.

* * *

Bandung–Tegal biasanya ditempuh selama empat sampai enam jam. Rute Bandung terbagi menjadi dua: yakni rute Sumedang dan rute tol Cikampek yang nantinya bersatu di Cikopo-Palimanan. Rute Sumedang yang kemudian tembus ke Kota Cirebon merupakan rute tua yang dikenal sebagai jalan pos yang dirintis oleh Raden Mas Galak atau Gubernur Jenderal Deandels.

Zorg, dat als ik terug kom hier een staad is gebouwd.”

“Usahakan, jika nanti aku ke sini lagi, daerah ini sudah jadi kota.” Itu ungkapan Daendels yang diucapkannya sambil menancapkan tongkat di tanah. Titik tempat tongkat itu tertancap kini menjadi Nol Kilometer Kota Bandung di sekitar alun-alun. Kejadian ini terjadi pada tanggal 25 September 1810, yang memaksa Bupati Wiranatakusumah II untuk memindahkan pusat pemerintahan kota kabupaten ke wilayah di sekitar tempat Daendels menancapkan tongkatnya.

Perjalanan Bandung–Tegal kali ini membuat saya seolah-olah menapaktilasi jejak sejarah asal mula terciptanya Jalan Raya Pos. Juga menelusuri jalan yang membentang sepanjang Jawa pantai utara yang lalu bergeser ke tengah di sekitar Jawa Barat melewati Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, lalu naik lagi ke utara, ke Jakarta hingga berakhir di Anyer.

Apa yang ada di benak kita kita disebut kata Tegal? Biasanya, saya terpikirkan soal Dalang dan Wayang. Tegal boleh dibilang mendapatkan julukan Kota Wayang setelah Ki Dalang Enthus mempopulerkan wayang khas tegalan, yang disebut Wayang Cepak. Wayang Cepak ini seperti wayang golek khas Sunda, tapi dengan bentuk wajah agak datar atau cepak. Itulah asal mula sebutan Wayang Cepak mengemuka.

Selain kata Dalang dan Wayang, daerah Tegal di sekitar perbatasan dengan Jawa Barat dikenal dengan Bahasa Ngapaknya. Jawa Ngapak merupakan bahasa egaliter yang tidak mengenal aturan undak-usuk basa, tanpa peringkat dan minus hierarki. Terkadang, bahasa ini dilabeli Bahasa Jawa Kasar. Padahal, itulah bahasa asli Jawa sebenarnya, sampai kemudian ada perubahan pada era Mataram, ketika aturan tata cara berbahasa dirumuskan. Sejak saat itu, barulah ada pembeda dan hierarki di sana. Hal ini terjadi pada era Sultan Agung, sehingga ada pola yang terbakukan. Maka, semakin jauh satu daerah dari pengaruh Mataram-Islam —yang berpusat di Solo-Yogyakarta–– semakin egaliter dan semakin ngapak bahasa tuturnya.

Pram menulis buku tentang Daendels berjudul Jalan Raya Pos Jalan Raya Daendels. Dia mencatat seraya merujuk catatan orang Inggris, bahwa proses pembangunan Jalan Raya Pos merupakan wajah bengis kolonial. Pembangunan ini memakan korban 12 ribu jiwa dalam arena kerja paksa. Pemerintah lokal yang dilalui jalan tersebut wajib menyediakan pekerja dengan jumlah tertentu dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan.

Kota Tegal masuk dalam lintasan Jalan Pos yang membelah dari timur ke barat. Sedangkan dari selatan ke utara sampai Laut Jawa, melintang sungai besar bernama kali Gung.

Asal-usul kota dan catatan sejarahnya bisa ditelusuri dalam tradisi lisan maupun catatan perjalanan. Tegal termasuk kota yang sangat tua. Catatan awal tentang kota ini didapat dari Tome Pires dalam magnum opusnya berjudul Suma Oriental. Tome Pires melakukan perjalanan pada awal abad ke-16, sekitar tahun 1511 sampai 1515. Dia menyebut daerah itu sebagai Tetegual yang dimaknai sebagai tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian. Dalam catatan Pires hingga era VOC, Tegal menjadi gudang penyedia beras utama bagi wilayah Nusantara.

Catatan lain tentang Tegal terdapat dalam kisah perjalanan Bujangga Manik. Dia merupakan bangsawan Kerajaan Sunda yang memilih menjadi rahib Hindu-Sunda dan berkelana ke beberapa tempat suci untuk menemukan tempat masa akhir hidupnya. Dia disebut Ameng Lalayaran. Ameng sendiri bermakna pandita, dan lalayaran bermakna perjalanan menggunakan perahu. Meskipun, faktanya dalam catatan Bujangga Manik, dia juga melakukan perjalanan melalui jalur darat.

Jalur pantai utara yang terentang dari Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, hingga Demak dan Semarang, lalu berakhir di Surabaya merupakan jalur tua. Jalur tersebut menjadi rute pelayaran dan perdagangan. Pengaruh kultur antar kota-kota tadi saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Pola ini kemudian sedikit bergeser manakala Daendels membuka jalan darat ke arah pedalaman kota Jawa Barat. Kebudayaan bukanlah soal keaslian dan kemurnian. Dia merupakan persilangan antar-kultur dalam lapis waktu demi waktu. Salah satu silang-kultur tersebut terkait bagaimana kreasi wayang golek antar dua wilayah di Bandung dan Tegal tercipta.

Alkisah, Sunan Kudus melakukan inovasi terhadap khazanah wayang kulit. Dia mencari cara agar pertunjukan wayang bisa dilakonkan pada siang hari. Maka, dibuatlah wayang dari kayu yang kemudian dikenal sebagai Wayang Cepak dan lebih berkembang di wilayah Tegal dan sekitarnya. Seiring perkembangan Jalan Raya Pos, pertunjukan wayang dari kayu ini menyebar ke bagian tengah wilayah Sunda, khususnya Bandung. Sampai kemudian Bupati Bandung, Wiranata Koesoemah III merumuskan dan memberikan aspek kesundaan dalam pertunjukan wayang ini. Bersama Ki Darman, seorang dalang dari Tegal, dia mulai menciptakan wayang golek yang bertutur dengan bahasa Sunda. Kini, wayang pun menjadi bagian dari kultur Sunda.

* * *

Urusan di kota Tegal sudah hampir tuntas, saya berkemas untuk kembali ke Bandung. Catatan dibuat dalam jurnal harian untuk dikembangkan menjadi tulisan reflektif tentang hidup, wayang, dan dalang.

Hidup bukanlah arena persaingan atau memperebutkan galur dan lakon yang dihasrati. Karena setiap manusia memiliki galur dan lakonnya sendiri-sendiri, juga ketetapan dan kadar-diri masing-masing. Membaca kisah, membaca tempat, membaca lakon kehidupan dalam rentang waktu tertentu ada kalanya butuh momen hening sejenak atau momen “kalangwan”, saat kita membaca pola gelar kehidupan diri dengan lebih puitis.

Adakalanya, kita perlu ngelaras rasa atau tawajuh dalam momen khusus yang hening pada malam-malam qadar selama Ramadhan. Ngelaras laras diperlukan agar semua unsur kedirian kita tak berselisih dengan kehendak Tuhan sang Dalang, sang Prima Causa yang menggerakkan semua hal dan mengatur setiap perkara. Itulah manunggal.

Kelirbeling tabir Gusti
Tabire ya wong ngawayang
Wayang manut maring dalang
Dalange murba ing wayang
Kelire layarmaya Gusti

Author Profile

Deden Himawan
Deden HimawanPerumus dan pendiri Walungan
Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.

Post a comment