Ilmu Sosial Profetik: Refleksi atas Keluhuran Masyarakat Nusantara

𝘚𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘕𝘶𝘴𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢, 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘢𝘥𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘬𝘦𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢, 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘢𝘮𝘱𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘶𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘵𝘶.”

––𝘋𝘦𝘯𝘺𝘴 𝘓𝘰𝘮𝘣𝘢𝘳𝘥

Di atas atap sebuah rumah bercat cerah di bagian yang berdek beton, terpasang alat instrumentasi untuk pengukuran cuaca. Warga desa sekitar menyebutnya sebagai rumah Abah Ano. Beliau merupakan pegiat Walungan yang diamanahi sebagai koordinator lapangan untuk riset-riset sosial. Rumah berwarna cerah itu menjadi rumah singgah, dalam artian ragam aktivitas Walungan dilakukan di sana. Mulai dari musyawarah warga, dapur pembuatan permen karamel, kegiatan Kelompok Wanita Tani, Karang Taruna, sampai kegiatan literasi, pembelajaran, dan pusat riset.

Rumah ini juga kerap menjadi tempat “menginap” para mahasiswa yang melakukan riset sosial terkait isu-isu kemasyarakatan, terutama terkait metodologi etnografi. Metode tersebut mensyaratkan para periset live in di sana, sekurangnya selama enam bulan. Ragam aktivitas ini selaras dengan misi Walungan yang mendaku sebagai lembaga riset integratif lintas-bidang keilmuan, termasuk bidang ilmu humaniora. Tanya-tanya pun disodorkan oleh para periset terkait konsep dan gagasan dasar yang menjadi asas semua aktivitas Walungan. Pasalnya, mustahil suatu praksis tak berjangkar pada gagasan yang tak terarah.

Di balik aksi sosial dan aktivitas pemberdayaan pasti ada kerangka acuan dan paradigma aksi yang menjadi sumber apinya. Semangat yang berkobar di dalam benak para penggagas lembaga Walungan ini bersumber dari percik pemantik yang sama, lalu membumi menjadi visi dan misi. Api yang bersumber dari pemahaman bahwa setiap insan memiliki misi khusus, yakni sebagai subset dari misi kehadiran manusia yang merupakan pemakmur bumi.

Lalu bagaimana gagasan dasar di atas menjadi satu kerangka atau paradigma aksi?

Pada aras ini, relatif tak ada kendala, sepanjang para pegiat Walungan memiliki landasan dan prinsip gerak organisasi dan bersepakat dengan itu. Namun, persoalan mengemuka manakala kerangka aksi ini dirumuskan dalam bahasa teori-teori sosial. Ada dua persoalan yang terangkum dari rangkaian riset sosial ––skripsi maupun tesis–– khususnya di bidang sosiologi. Pertama, bagaimana meletakkan dimensi agama dan kearifan lokal dalam analisis fenomena sosial. Kedua, sulitnya mencari dosen pembimbing yang menguasai masalah pedesaan sekaligus rujukan-rujukan teori yang bisa menjadi pisau analisis untuk fenomena di pedesaan khas Indonesia. Kedua isu di atas senyatanya merupakan gambaran dari permasalahan ilmu sosial, yakni positivisme dari ilmu sosial dan penerapan ilmu sosial dalam konteks realitas ke-Indonesia-an (indigenisasi).

Kritik atas ilmu sosial berbasis Barat yang memiliki bias urban dan rasial sudah lama disuarakan. Menurut Syed Ali Alatas, ada banyak masalah relevansi ilmu sosial dengan konteks ruang dan tempat masyarakatnya berada. Ketidaktepatan itu sangat luas rentangnya: mulai meta analisis, teori, kajian empiris, dan ilmu sosial terapan.

Para cendekiawan muslim ––khususnya di Indonesia–– merespon kedua isu tadi dengan beragam cara. Namun, semua bisa diikat dalam satu tali yang sama, yakni bagaimana berpikir dan bertindak seperti yang Tuhan inginkan, sesuai bahasa-Nya melalui pewahyuan. Lebih khusus lagi, bagi kalangan muslim, adalah bagaimana kita memiliki perspektif yang sebangun dengan perspektif Al-Qur’an dalam memahami realitas, atau dengan kata lain: satu paradigma Qurani.

Respons dari para cendekiawan muslim ini berkelompok dan beragam, tapi semua bisa disederhanakan dalam dua rangkuman besar.

𝙆𝙚𝙡𝙤𝙢𝙥𝙤𝙠 𝙥𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖, mereka yang berkeyakinan bahwa masalah utamanya adalah keilmuan kini perlu di-Islam-kan. Mereka berupaya untuk melakukan proses Islamisasi atas ilmu-ilmu yang ada. Landasan keilmuan Barat semenjak renaisans tidak berpijak kepada pandangan ajaran dunia Islam yang sejati dan tidak berasas prinsip tauhid. Maka, perlu ada upaya untuk menarik konteks (realitas) pada teks (wahyu). Upaya ini dirintis dari masa Ismail Al-Faruqi, Osman Bakr, hingga Naquib al-Attas yang mendirikan International Institue of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC). Di Indonesia, gagasan ISTAC ini diteruskan oleh para muridnya dengan mendirikan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).

𝙆𝙚𝙡𝙤𝙢𝙥𝙤𝙠 𝙠𝙚𝙙𝙪𝙖 adalah mereka yang mencoba menurunkan prinsip-prinsip wahyu yang termaktub dalam al-Quran ke dalam realitas masyarakat. Menurut mereka, permasalahan pokoknya adalah agama yang lepas dari realitas, kehidupan, dan konteks keseharian. Maka, perlu adanya upaya untuk menyambungkan wahyu (teks) dengan realitas hidup, dari teks menjadi konteks. Perlu upaya untuk mengelaborasi ajaran wahyu ke dalam satu teori sosial.

Salah satu tokoh yang menyuarakan kontekstualisasi Islam ke dalam ranah ilmu-ilmu sosial adalah Kuntowijoyo. Penelusuran dan penggalian gagasannya dia beri nama Ilmu Sosial Profetik. Menurutnya, ilmu sosial tidak semata bebas dan objektif, atau sekadar jadi pisau analisis semata. Ilmu sosial seharusnya memberi arah gerak transformasi untuk masyarakat. Itulah makna sejati profetik. Bagaimanapun, agama sendiri memiliki fungsi risalah yang mentransformasi dan mengarahkan masyarakat ke sebuah tatanan dan interaksi sosial dalam kondisi yang ideal. Tujuannya, agar selaras dengan tujuan utama agama, yakni tauhid.

Arah transformasi, bentuk perubahan, dan pola interaksi sosial atau muamalah yang ideal selayaknya diturunkan dari teks wahyu al-Quran. Di sinilah Kuntowijoyo, lewat penggaliannya atas al-Quran, menyodorkan satu ayat yang menjadi pijakan Ilmu Sosial Profetik, yakni QS Al Imran ayat 110: 𝘒𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘩𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢, 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘳𝘶𝘧, 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘦𝘨𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘯𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯, 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩.

Khairun umat adalah tujuan utama yang mengarahkan transformasi masyarakat. Adapun iman adalah pokoknya, yang oleh Kuntowijoyo dipadankan dengan kata “transendensi”. Lewat transendensi ini, reorientasi arah peradaban pun ditempuh. Caranya, melalui upaya orientasi ulang peradaban dari tarikan hedonisme dan materialisme serta kebudayaan amoral kepada peradaban yang transenden atau peradaban nafsani.

Amar makruf sendiri menyeru kepada kebaikan yang dipadankan dengan proses humanisasi, yakni bagaimana aksi dan tindak sosial memanusiakan manusia. Memandang manusia tidak parsial: hanya sebagai alat produksi, semata berbasis kelas, sekadar target market, ataupun sekrup industri. Namun, memandang manusia secara utuh dengan asumsi dasarnya bahwa setiap insan memiliki fitrah dan mewarisi aspek Ilahiah di dalam dirinya.

Nahi munkar atau mencegah kemunkaran sepadan kata dengan liberasi: proses pembebasan manusia dari segala perbudakan era modern, terutama perbudakan yang membelenggu secara sistemik. Belenggu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik.

Belenggu sistem pengetahuan sendiri berupa dominasi materialisme dan pandangan gender yang salah kaprah. Adapun belenggu sistem sosial merujuk kepada masalah kemiskinan struktural dan keadilan sosial. Sedangkan belenggu sistem politik mengacu kepada ketidakberdayaan politik: tak bisa menyuarakan dan mengaktualisasikan potensi diri atau fitrah sejatinya.

Apa yang diungkapkan dalam QS Al-Imran ayat 110 di atas dielaborasi oleh Kuntowijoyo ke dalam teori-teori sosial dengan kata kunci transendensi, humanisasi, dan liberasi. Ketiganya merupakan terjemahan atas realitas sosial dari istilah al-Quran, yaitu: iman, amar makruf, dan nahi munkar.

Ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo lantas disambut estafet oleh generasi sesudahnya. Tentunya dengan banyak koreksi dan pengayaan di sana sini. Setidaknya, saya kenal dua varian dari estafet tersebut.

Varian pertama berasal dari murid-kolektor-sekaligus editor tulisan-tulisannya bernama AE Priyono. Gagasan Kuntowijoyo dielaborasi lebih lanjut menjadi konsep Civic Islam. Tugasnya mengembangkan praksis keislaman dalam konteks keindonesiaan sekaligus keindonesian dalam spirit keislaman. Gagasan Civic Islam ini pada dasarnya bisa dilacak pada pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, dan tentu gagasan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo.

Civic Islam diuraikan oleh AE Priyono yang pada saat gagasan itu ditulis, sedang menjabat sebagai Direktur LP3ES. Konsep Civic Islam lahir dari semangat untuk menghidupkan kembali peranan sipil, civic, dan publik ajaran-ajaran Islam. Cita-cita Islam untuk emansipasi sosial lebih sering tidak mendapatkan tempat di Indonesia. Islam-politik bisa mengalami kegagalan karena masyarakat Islam tidak punya pandangan ideal tentang masyarakat-sipil.

Jadi, mayoritas muslim melihat ideal kemusliman terletak pada individu dan keluarga, tetapi tidak punya imajinasi tentang tatanan sosial-kemasyarakatan. Seandainya ada imajinasi tentang tatanan sosial tersebut, sebagian besar melompat kepada imajinasi negara Islam, khilafah, dan daulah Islamiyyah yang cenderung utopis tanpa memahami konsep kewargaan (civic) yang mengusung satu tatanan masyarakat Islam yang ideal serta kontekstual dengan era masa kini dan konsep politik modern. Konsep civic-islam ini lantas diterjemahkan ke dalam tataran aksi oleh orang-orang di lingkaran sekitar AE Priyono. Salah satunya menjadi sebuah lembaga bernama ODESA (odesa.id) yang mengambil bidang garapan ekologi, literasi, dan sanitasi.

Varian kedua berasal dari rekan sejawat Kuntowijoyo, yakni Heddy Shri Ahimsa-Putra. Heddy mencoba memperkuat basis filosofis Ilmu Sosial Profetik dengan fokus memberi landasan teori bagi paradigma profetik. Heddy menjelaskan secara rinci tiga landasan teori atas paradigma profetiknya, yakni epistemologi, etos, dan model. Selain itu, Heddy juga mengritisi pemikiran Kuntowijoyo yang terlalu fokus kepada gagasan transformasi-sosial dan kurang mengelaborasi transformasi psikologis yang menjadi elemen masyarakat. Dengan penekanan dan telaah atas pijakan level paradigma profetik ini, Heddy berupaya untuk memberikan sulaman pelengkap atas gagasan Kuntowijoyo yang belum terelaborasi dengan baik.


Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam riset-riset integratif, dengan salah satunya di bidang ilmu sosial, para periset sosial di Walungan berupaya menggali dan menelisik rintisan-rintisan yang sudah diupayakan sebelumnya tanpa kehilangan keaslian gagasan dari para perumus dan pendiri lembaga. Karena Walungan bergerak di level aksi dan bukan wacana filosofis, maka kecenderungan para pegiat walungan adalah memahami teks wahyu untuk diterjemahkan ke dalam konteks dan realitas kehidupan. Kami, para pegiat walungan bukan bergerak di wilayah islamisasi keilmuan, tapi lebih condong pada bagaimana Islam bisa menjadi ilmu. Bisa jadi, paradigma keilmuannya ihwal tatanan sosial-masyarakat yang bisa dibumikan dan diwujudkan dengan strategi pemberdayaan.

Dalam memandang Ilmu sosial Profetik, saya sendiri menyepakati ketepatan Kuntowijoyo dalam mengambil ayat-ayat al-Quran yang menjadi prinsip ilmu sosial ––sesuai paradigma Qurani. Hanya saja, mencuplik satu ayat untuk dielaborasi, semestinya juga meninjau ayat-ayat lain yang menjadi kunci dan berkorelasi kuat dengan ayat pijakan. Jadi kita tidak kehilangan keutuhan dan kesatupaduan pandangan.

Saya cukup menyukai istilah profetik yang berasal dari kata “Prophet”, yang secara literal bermakna Rasul. Karena ini menyiratkan sebuah gagasan kemisian para Rasul. Meski dalam KBBI, profetik disandingkan dengan kata ramalan, tetapi makna yang paling tepat adalah gagasan atau warta dari para Rasul tentang arah dan visi ke depan. Dengan sendirinya, jika kita bicara profetik, pastinya bicara juga tentang arah transformasi umat dan peradaban yang dibangun. Karena, dalam Islam sendiri, setiap umat dan peradaban adalah wadah bagi urusan atau amr para Rasul yang hadir di setiap peradaban dan zaman.

Dengan kata Profetik ini pula, permasalahan kontekstual dengan sendirinya akan menjadi agenda. Karena, sejatinya, kehadiran para Rasul dan para penerusnya serta merta akan membawa bahasa yang sesuai dengan konteks zaman dan tempatnya.

Di samping itu, mari kita rujuk bagaimana tugas dan misi pokok kenabian dalam QS Al-Jumaaah [62] ayat 2 berikut ini: 𝘋𝘪𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘵𝘶𝘴 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘢𝘶𝘮 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘵𝘢 𝘩𝘶𝘳𝘶𝘧 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘺𝘢𝘵-𝘢𝘺𝘢𝘵-𝘕𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘤𝘪𝘬𝘢𝘯 (𝘫𝘪𝘸𝘢) 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢𝘣 𝘥𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘬𝘮𝘢𝘩, 𝘮𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘴𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢.

Setiap kehadiran Rasul membawa metode untuk penyucian jiwa. Manifestasi lahiriah (aturan dan hukum) syariat adalah untuk kemaslahatan jiwa. Tema dan isu di masyarakat yang mencuat dan berkembang di era kini ––semisal HAM, gender, demokrasi, dan civil-society, semestinya diletakkan ke dalam tujuan dari maqashid syariah itu sendiri, khususnya perihal kemaslahatan nafs, bukan semata kebebasan individu.

Dari gagasan Ilmu Sosial Profetik ini, saya pribadi melihat kekuatan dari usungan konsepnya, seminimalnya tentang sebuah tawaran alternatif paradigma dari sains-sosial. Beberapa kekuatan yang peru digaris bawahi, antara lain:

  1. Indonesia tersusun dari fakta geografis yang beraneka ragam dengan struktur sosial yang saling menyilang antara babakan zaman: agraris, industri, post-industri, bahkan di beberapa wilayah masih dalam masa pra-agraris. Lewat paradigma sosial profetik ini, arah transformasi semestinya bukan sekadar mengubah babakan zaman, tetapi transformasi yang lebih hakiki, yakni di level psiko-spiritual (nafsani) yang kemudian terproyeksikan ke dalam transformasi sosial. Oleh karena itu, upaya-upaya aksi disejalankan dengan upaya edukasi berupa pewartaan atau risalah dan memberikan kesempatan untuk aktualisasi individu dalam mengikuti konsep fitrah nafsani. Tentu saja, tanpa mengabaikan ambang minimum sebuah kondisi sosial, ekononomi, lingkungan, dan pendidikan ketika setiap individu memiliki kebebasan untuk mengaktualisasi dirinya tersebut. Ambang minimun tersebut terangkum dalam konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
  2. Konsep iman yang transendensi sendiri cukup inklusif. Artinya, Ilmu Sosial Profetik secara paradigma bisa menjadi pijakan yang inklusif (lintas-iman) dan berselaras dengan dasar negara bangsa ini, terutama sila pertama Pancasila.

Di samping menggarisbawahi kekuatannya, perlu juga merumuskan agenda lanjutan untuk Ilmu Sosial Profetik ini, yakni: Mengelaborasi lanjutan ayat-ayat Al-Quran yang memberikan arah dan strategi pemberdayaan dan transformasi sosial yang menjadi cita-cita peradaban nafsani atau sebuah khairun ummah.

Seperti halnya uraian Heddy yang merasakan kurangnya elaborasi di level psikologis dari gagasan Ilmu Sosial Profetik, maka perlu ada upaya penggalian lanjutan agar konsep-konsep psikologi manusia dalam Al-Quran (misalnya: nafs, qalbu, shudr, bashirah, dan Ruhul Quds) yang menjadi objek transformasi, bisa memperkuat bangunan teori paradigma profetik. Terutama saat merumuskan elemen utama paradigma: asumsi dasar, epistemologi, etos, dan model.

Kendati upaya ini sudah dirintis oleh Heddy, tapi dalam beberapa hal cakupan dan bahasannya kurang kaya rujukan, terutama sumber khazanah tasawuf yang lebih banyak menggali aspek diri manusia, lalu menurunkan paradigma keilmuan yang dibangun ke tingkat strategi aksi, advokasi, dan publikasi.

Itulah mungkin secuplik kerangka dan telaah awal atas Ilmu Sosial Profetik. Sebuah upaya para pegiat dan periset Walungan.org dalam mencari basis pijakan keilmuan yang benderang serta kokoh atas upaya-upaya aksinya di lapangan.***

Author Profile

Deden Himawan
Deden HimawanPerumus dan pendiri Walungan
Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.

Post a comment