๐๐ถ๐ฏ๐จ๐จ๐ถ๐ฉ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ด๐ข๐ต๐ถ ๐ฑ๐ถ๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต ๐ฅ๐ช ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐ช๐ข ๐ช๐ฏ๐ช ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ต๐ช ๐๐ถ๐ด๐ข๐ฏ๐ต๐ข๐ณ๐ข, ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต ๐ฌ๐ฆ๐ฉ๐ข๐ฅ๐ช๐ณ๐ข๐ฏ ๐ฉ๐ข๐ฎ๐ฑ๐ช๐ณ ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ฅ๐ข๐บ๐ข๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ด๐ข๐ณ ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐ช๐ข, ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ข๐ฎ๐ฑ๐ช๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ข๐ต๐ข๐ถ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ณ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ด๐ข๐ต๐ถ.โ
โโ๐๐ฆ๐ฏ๐บ๐ด ๐๐ฐ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ณ๐ฅ
Di atas atap sebuah rumah bercat cerah di bagian yang berdek beton, terpasang alat instrumentasi untuk pengukuran cuaca. Warga desa sekitar menyebutnya sebagai rumah Abah Ano. Beliau merupakan pegiat Walungan yang diamanahi sebagai koordinator lapangan untuk riset-riset sosial. Rumah berwarna cerah itu menjadi rumah singgah, dalam artian ragam aktivitas Walungan dilakukan di sana. Mulai dari musyawarah warga, dapur pembuatan permen karamel, kegiatan Kelompok Wanita Tani, Karang Taruna, sampai kegiatan literasi, pembelajaran, dan pusat riset.
Rumah ini juga kerap menjadi tempat “menginap” para mahasiswa yang melakukan riset sosial terkait isu-isu kemasyarakatan, terutama terkait metodologi etnografi. Metode tersebut mensyaratkan para periset live in di sana, sekurangnya selama enam bulan. Ragam aktivitas ini selaras dengan misi Walungan yang mendaku sebagai lembaga riset integratif lintas-bidang keilmuan, termasuk bidang ilmu humaniora. Tanya-tanya pun disodorkan oleh para periset terkait konsep dan gagasan dasar yang menjadi asas semua aktivitas Walungan. Pasalnya, mustahil suatu praksis tak berjangkar pada gagasan yang tak terarah.
Di balik aksi sosial dan aktivitas pemberdayaan pasti ada kerangka acuan dan paradigma aksi yang menjadi sumber apinya. Semangat yang berkobar di dalam benak para penggagas lembaga Walungan ini bersumber dari percik pemantik yang sama, lalu membumi menjadi visi dan misi. Api yang bersumber dari pemahaman bahwa setiap insan memiliki misi khusus, yakni sebagai subset dari misi kehadiran manusia yang merupakan pemakmur bumi.
Lalu bagaimana gagasan dasar di atas menjadi satu kerangka atau paradigma aksi?
Pada aras ini, relatif tak ada kendala, sepanjang para pegiat Walungan memiliki landasan dan prinsip gerak organisasi dan bersepakat dengan itu. Namun, persoalan mengemuka manakala kerangka aksi ini dirumuskan dalam bahasa teori-teori sosial. Ada dua persoalan yang terangkum dari rangkaian riset sosial โโskripsi maupun tesisโโ khususnya di bidang sosiologi. Pertama, bagaimana meletakkan dimensi agama dan kearifan lokal dalam analisis fenomena sosial. Kedua, sulitnya mencari dosen pembimbing yang menguasai masalah pedesaan sekaligus rujukan-rujukan teori yang bisa menjadi pisau analisis untuk fenomena di pedesaan khas Indonesia. Kedua isu di atas senyatanya merupakan gambaran dari permasalahan ilmu sosial, yakni positivisme dari ilmu sosial dan penerapan ilmu sosial dalam konteks realitas ke-Indonesia-an (indigenisasi).
Kritik atas ilmu sosial berbasis Barat yang memiliki bias urban dan rasial sudah lama disuarakan. Menurut Syed Ali Alatas, ada banyak masalah relevansi ilmu sosial dengan konteks ruang dan tempat masyarakatnya berada. Ketidaktepatan itu sangat luas rentangnya: mulai meta analisis, teori, kajian empiris, dan ilmu sosial terapan.
Para cendekiawan muslim โโkhususnya di Indonesiaโโ merespon kedua isu tadi dengan beragam cara. Namun, semua bisa diikat dalam satu tali yang sama, yakni bagaimana berpikir dan bertindak seperti yang Tuhan inginkan, sesuai bahasa-Nya melalui pewahyuan. Lebih khusus lagi, bagi kalangan muslim, adalah bagaimana kita memiliki perspektif yang sebangun dengan perspektif Al-Qur’an dalam memahami realitas, atau dengan kata lain: satu paradigma Qurani.
Respons dari para cendekiawan muslim ini berkelompok dan beragam, tapi semua bisa disederhanakan dalam dua rangkuman besar.
๐๐๐ก๐ค๐ข๐ฅ๐ค๐ ๐ฅ๐๐ง๐ฉ๐๐ข๐, mereka yang berkeyakinan bahwa masalah utamanya adalah keilmuan kini perlu di-Islam-kan. Mereka berupaya untuk melakukan proses Islamisasi atas ilmu-ilmu yang ada. Landasan keilmuan Barat semenjak renaisans tidak berpijak kepada pandangan ajaran dunia Islam yang sejati dan tidak berasas prinsip tauhid. Maka, perlu ada upaya untuk menarik konteks (realitas) pada teks (wahyu). Upaya ini dirintis dari masa Ismail Al-Faruqi, Osman Bakr, hingga Naquib al-Attas yang mendirikan International Institue of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC). Di Indonesia, gagasan ISTAC ini diteruskan oleh para muridnya dengan mendirikan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
๐๐๐ก๐ค๐ข๐ฅ๐ค๐ ๐ ๐๐๐ช๐ adalah mereka yang mencoba menurunkan prinsip-prinsip wahyu yang termaktub dalam al-Quran ke dalam realitas masyarakat. Menurut mereka, permasalahan pokoknya adalah agama yang lepas dari realitas, kehidupan, dan konteks keseharian. Maka, perlu adanya upaya untuk menyambungkan wahyu (teks) dengan realitas hidup, dari teks menjadi konteks. Perlu upaya untuk mengelaborasi ajaran wahyu ke dalam satu teori sosial.
Salah satu tokoh yang menyuarakan kontekstualisasi Islam ke dalam ranah ilmu-ilmu sosial adalah Kuntowijoyo. Penelusuran dan penggalian gagasannya dia beri nama Ilmu Sosial Profetik. Menurutnya, ilmu sosial tidak semata bebas dan objektif, atau sekadar jadi pisau analisis semata. Ilmu sosial seharusnya memberi arah gerak transformasi untuk masyarakat. Itulah makna sejati profetik. Bagaimanapun, agama sendiri memiliki fungsi risalah yang mentransformasi dan mengarahkan masyarakat ke sebuah tatanan dan interaksi sosial dalam kondisi yang ideal. Tujuannya, agar selaras dengan tujuan utama agama, yakni tauhid.
Arah transformasi, bentuk perubahan, dan pola interaksi sosial atau muamalah yang ideal selayaknya diturunkan dari teks wahyu al-Quran. Di sinilah Kuntowijoyo, lewat penggaliannya atas al-Quran, menyodorkan satu ayat yang menjadi pijakan Ilmu Sosial Profetik, yakni QS Al Imran ayat 110: ๐๐ข๐ญ๐ช๐ข๐ฏ ๐ข๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐ถ๐ฎ๐ข๐ต ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ข๐ช๐ฌ, ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ญ๐ข๐ฉ๐ช๐ณ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ถ๐ด๐ช๐ข, ๐ข๐จ๐ข๐ณ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ฆ๐ณ๐ถ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ข๐ณ๐ถ๐ง, ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ค๐ฆ๐จ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ฏ๐ฌ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฎ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐๐ญ๐ญ๐ข๐ฉ.
Khairun umat adalah tujuan utama yang mengarahkan transformasi masyarakat. Adapun iman adalah pokoknya, yang oleh Kuntowijoyo dipadankan dengan kata “transendensi”. Lewat transendensi ini, reorientasi arah peradaban pun ditempuh. Caranya, melalui upaya orientasi ulang peradaban dari tarikan hedonisme dan materialisme serta kebudayaan amoral kepada peradaban yang transenden atau peradaban nafsani.
Amar makruf sendiri menyeru kepada kebaikan yang dipadankan dengan proses humanisasi, yakni bagaimana aksi dan tindak sosial memanusiakan manusia. Memandang manusia tidak parsial: hanya sebagai alat produksi, semata berbasis kelas, sekadar target market, ataupun sekrup industri. Namun, memandang manusia secara utuh dengan asumsi dasarnya bahwa setiap insan memiliki fitrah dan mewarisi aspek Ilahiah di dalam dirinya.
Nahi munkar atau mencegah kemunkaran sepadan kata dengan liberasi: proses pembebasan manusia dari segala perbudakan era modern, terutama perbudakan yang membelenggu secara sistemik. Belenggu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik.
Belenggu sistem pengetahuan sendiri berupa dominasi materialisme dan pandangan gender yang salah kaprah. Adapun belenggu sistem sosial merujuk kepada masalah kemiskinan struktural dan keadilan sosial. Sedangkan belenggu sistem politik mengacu kepada ketidakberdayaan politik: tak bisa menyuarakan dan mengaktualisasikan potensi diri atau fitrah sejatinya.
Apa yang diungkapkan dalam QS Al-Imran ayat 110 di atas dielaborasi oleh Kuntowijoyo ke dalam teori-teori sosial dengan kata kunci transendensi, humanisasi, dan liberasi. Ketiganya merupakan terjemahan atas realitas sosial dari istilah al-Quran, yaitu: iman, amar makruf, dan nahi munkar.
Ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo lantas disambut estafet oleh generasi sesudahnya. Tentunya dengan banyak koreksi dan pengayaan di sana sini. Setidaknya, saya kenal dua varian dari estafet tersebut.
Varian pertama berasal dari murid-kolektor-sekaligus editor tulisan-tulisannya bernama AE Priyono. Gagasan Kuntowijoyo dielaborasi lebih lanjut menjadi konsep Civic Islam. Tugasnya mengembangkan praksis keislaman dalam konteks keindonesiaan sekaligus keindonesian dalam spirit keislaman. Gagasan Civic Islam ini pada dasarnya bisa dilacak pada pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, dan tentu gagasan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo.
Civic Islam diuraikan oleh AE Priyono yang pada saat gagasan itu ditulis, sedang menjabat sebagai Direktur LP3ES. Konsep Civic Islam lahir dari semangat untuk menghidupkan kembali peranan sipil, civic, dan publik ajaran-ajaran Islam. Cita-cita Islam untuk emansipasi sosial lebih sering tidak mendapatkan tempat di Indonesia. Islam-politik bisa mengalami kegagalan karena masyarakat Islam tidak punya pandangan ideal tentang masyarakat-sipil.
Jadi, mayoritas muslim melihat ideal kemusliman terletak pada individu dan keluarga, tetapi tidak punya imajinasi tentang tatanan sosial-kemasyarakatan. Seandainya ada imajinasi tentang tatanan sosial tersebut, sebagian besar melompat kepada imajinasi negara Islam, khilafah, dan daulah Islamiyyah yang cenderung utopis tanpa memahami konsep kewargaan (civic) yang mengusung satu tatanan masyarakat Islam yang ideal serta kontekstual dengan era masa kini dan konsep politik modern. Konsep civic-islam ini lantas diterjemahkan ke dalam tataran aksi oleh orang-orang di lingkaran sekitar AE Priyono. Salah satunya menjadi sebuah lembaga bernama ODESA (odesa.id) yang mengambil bidang garapan ekologi, literasi, dan sanitasi.
Varian kedua berasal dari rekan sejawat Kuntowijoyo, yakni Heddy Shri Ahimsa-Putra. Heddy mencoba memperkuat basis filosofis Ilmu Sosial Profetik dengan fokus memberi landasan teori bagi paradigma profetik. Heddy menjelaskan secara rinci tiga landasan teori atas paradigma profetiknya, yakni epistemologi, etos, dan model. Selain itu, Heddy juga mengritisi pemikiran Kuntowijoyo yang terlalu fokus kepada gagasan transformasi-sosial dan kurang mengelaborasi transformasi psikologis yang menjadi elemen masyarakat. Dengan penekanan dan telaah atas pijakan level paradigma profetik ini, Heddy berupaya untuk memberikan sulaman pelengkap atas gagasan Kuntowijoyo yang belum terelaborasi dengan baik.
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam riset-riset integratif, dengan salah satunya di bidang ilmu sosial, para periset sosial di Walungan berupaya menggali dan menelisik rintisan-rintisan yang sudah diupayakan sebelumnya tanpa kehilangan keaslian gagasan dari para perumus dan pendiri lembaga. Karena Walungan bergerak di level aksi dan bukan wacana filosofis, maka kecenderungan para pegiat walungan adalah memahami teks wahyu untuk diterjemahkan ke dalam konteks dan realitas kehidupan. Kami, para pegiat walungan bukan bergerak di wilayah islamisasi keilmuan, tapi lebih condong pada bagaimana Islam bisa menjadi ilmu. Bisa jadi, paradigma keilmuannya ihwal tatanan sosial-masyarakat yang bisa dibumikan dan diwujudkan dengan strategi pemberdayaan.
Dalam memandang Ilmu sosial Profetik, saya sendiri menyepakati ketepatan Kuntowijoyo dalam mengambil ayat-ayat al-Quran yang menjadi prinsip ilmu sosial โโsesuai paradigma Qurani. Hanya saja, mencuplik satu ayat untuk dielaborasi, semestinya juga meninjau ayat-ayat lain yang menjadi kunci dan berkorelasi kuat dengan ayat pijakan. Jadi kita tidak kehilangan keutuhan dan kesatupaduan pandangan.
Saya cukup menyukai istilah profetik yang berasal dari kata “Prophet”, yang secara literal bermakna Rasul. Karena ini menyiratkan sebuah gagasan kemisian para Rasul. Meski dalam KBBI, profetik disandingkan dengan kata ramalan, tetapi makna yang paling tepat adalah gagasan atau warta dari para Rasul tentang arah dan visi ke depan. Dengan sendirinya, jika kita bicara profetik, pastinya bicara juga tentang arah transformasi umat dan peradaban yang dibangun. Karena, dalam Islam sendiri, setiap umat dan peradaban adalah wadah bagi urusan atau amr para Rasul yang hadir di setiap peradaban dan zaman.
Dengan kata Profetik ini pula, permasalahan kontekstual dengan sendirinya akan menjadi agenda. Karena, sejatinya, kehadiran para Rasul dan para penerusnya serta merta akan membawa bahasa yang sesuai dengan konteks zaman dan tempatnya.
Di samping itu, mari kita rujuk bagaimana tugas dan misi pokok kenabian dalam QS Al-Jumaaah [62] ayat 2 berikut ini: ๐๐ช๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ถ๐ต๐ถ๐ด ๐ด๐ฆ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐๐ข๐ด๐ถ๐ญ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฌ๐ข๐ถ๐ฎ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ถ๐ต๐ข ๐ฉ๐ถ๐ณ๐ถ๐ง ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ฌ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช, ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ค๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ข๐บ๐ข๐ต-๐ข๐บ๐ข๐ต-๐๐บ๐ข, ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ถ๐ค๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ (๐ซ๐ช๐ธ๐ข) ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ซ๐ข๐ณ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ฌ๐ช๐ต๐ข๐ฃ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฉ๐ช๐ฌ๐ฎ๐ข๐ฉ, ๐ฎ๐ฆ๐ด๐ฌ๐ช๐ฑ๐ถ๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ฎ๐ฏ๐บ๐ข, ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ข๐ณ-๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ข๐ณ ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฌ๐ฆ๐ด๐ฆ๐ด๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฏ๐บ๐ข๐ต๐ข.
Setiap kehadiran Rasul membawa metode untuk penyucian jiwa. Manifestasi lahiriah (aturan dan hukum) syariat adalah untuk kemaslahatan jiwa. Tema dan isu di masyarakat yang mencuat dan berkembang di era kini โโsemisal HAM, gender, demokrasi, dan civil-society, semestinya diletakkan ke dalam tujuan dari maqashid syariah itu sendiri, khususnya perihal kemaslahatan nafs, bukan semata kebebasan individu.
Dari gagasan Ilmu Sosial Profetik ini, saya pribadi melihat kekuatan dari usungan konsepnya, seminimalnya tentang sebuah tawaran alternatif paradigma dari sains-sosial. Beberapa kekuatan yang peru digaris bawahi, antara lain:
- Indonesia tersusun dari fakta geografis yang beraneka ragam dengan struktur sosial yang saling menyilang antara babakan zaman: agraris, industri, post-industri, bahkan di beberapa wilayah masih dalam masa pra-agraris. Lewat paradigma sosial profetik ini, arah transformasi semestinya bukan sekadar mengubah babakan zaman, tetapi transformasi yang lebih hakiki, yakni di level psiko-spiritual (nafsani) yang kemudian terproyeksikan ke dalam transformasi sosial. Oleh karena itu, upaya-upaya aksi disejalankan dengan upaya edukasi berupa pewartaan atau risalah dan memberikan kesempatan untuk aktualisasi individu dalam mengikuti konsep fitrah nafsani. Tentu saja, tanpa mengabaikan ambang minimum sebuah kondisi sosial, ekononomi, lingkungan, dan pendidikan ketika setiap individu memiliki kebebasan untuk mengaktualisasi dirinya tersebut. Ambang minimun tersebut terangkum dalam konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
- Konsep iman yang transendensi sendiri cukup inklusif. Artinya, Ilmu Sosial Profetik secara paradigma bisa menjadi pijakan yang inklusif (lintas-iman) dan berselaras dengan dasar negara bangsa ini, terutama sila pertama Pancasila.
Di samping menggarisbawahi kekuatannya, perlu juga merumuskan agenda lanjutan untuk Ilmu Sosial Profetik ini, yakni: Mengelaborasi lanjutan ayat-ayat Al-Quran yang memberikan arah dan strategi pemberdayaan dan transformasi sosial yang menjadi cita-cita peradaban nafsani atau sebuah khairun ummah.
Seperti halnya uraian Heddy yang merasakan kurangnya elaborasi di level psikologis dari gagasan Ilmu Sosial Profetik, maka perlu ada upaya penggalian lanjutan agar konsep-konsep psikologi manusia dalam Al-Quran (misalnya: nafs, qalbu, shudr, bashirah, dan Ruhul Quds) yang menjadi objek transformasi, bisa memperkuat bangunan teori paradigma profetik. Terutama saat merumuskan elemen utama paradigma: asumsi dasar, epistemologi, etos, dan model.
Kendati upaya ini sudah dirintis oleh Heddy, tapi dalam beberapa hal cakupan dan bahasannya kurang kaya rujukan, terutama sumber khazanah tasawuf yang lebih banyak menggali aspek diri manusia, lalu menurunkan paradigma keilmuan yang dibangun ke tingkat strategi aksi, advokasi, dan publikasi.
Itulah mungkin secuplik kerangka dan telaah awal atas Ilmu Sosial Profetik. Sebuah upaya para pegiat dan periset Walungan.org dalam mencari basis pijakan keilmuan yang benderang serta kokoh atas upaya-upaya aksinya di lapangan.***
Author Profile
- Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.
Latest entries
- Perspektif21 February 2022Ilmu Sosial Profetik: Refleksi atas Keluhuran Masyarakat Nusantara
- Perspektif18 January 2022Sayang Ka’ak: Menyusuri Pemetaan Modern, Mengurai Tata Kelola Wilayah
- Perspektif5 January 2022Membangun Paradigma
- Perspektif27 December 2021Yunus dan Grameen di Negeri Bencana