Pagi buta, saya dan seorang rekan sudah berada di dalam jip sewaan menuju kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur. Udara dingin menyergap seakan menambah waswas perasaan kami, karena ini kali pertama kami mengunjungi Gunung Bromo sebagai wisatawan. Tujuan pertama dari paket sewa jip adalah Penanjakan 1 yang merupakan salah satu titik tertinggi dan terbaik untuk menyaksikan matahari terbit dan Bromo milky way.
Namun, beberapa meter mendekati Penanjakan 1, jip segera berhenti. Sialnya, bukan hanya jip yang kami tumpangi yang berhenti, tetapi ternyata puluhan jip lainnya. Supir jip kami berupaya untuk mendapatkan jalan agar lebih mendekati Penanjakan 1 agar tidak terlalu jauh berjalan. Meskipun pada akhirnya kami tetap harus turun dari jip untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Begitu keluar dari jip, bau asap dari knalpot semakin kuat tercium. Diiringi deru angin gunung ketinggiannya 2.770 mdpl, saya mencoba untuk menyeimbangkan antara keterkejutan mengalami kemacetan kendaraan yang notabene menjadi makanan keseharian selama di Bandung dengan stamina tubuh yang harus berjalan kaki. Jip-jip yang terkena macet, lalu kendaraan yang parkir, lautan manusia, serta asap rokok tiba-tiba membuat saya terlempar pada perasaan absurd: apa yang saya cari di kawasan wisata alam ini jika yang dialami semata mencium polusi kendaraan yang semakin lama terasa memabukkan?!
Nafas sesak akibat jalanan yang curam, asap knalpot, serta sapuan angin yang menggigit saking dinginnya, tak urung melanjutkan keheranan yang tiba-tiba menjadi semakin masuk akal: untuk apa saya susah payah menyaksikan matahari terbit, justru menjelang adzan Subuh?! Perut mulas dan nafas sesak akibat polusi akhirnya memberhentikan konflik antara mengalahkan medan tak seberapa berat itu, ataukah mengalahkan ego yang mau sukses sampai ke Penanjakan 1. Saya segera berbelok ke sebuah lokasi yang tak jauh dari lautan wisatawan. Semula, saya tidak tahu tengah berbelok ke arah bangunan tertentu. Seakan “dituntun” oleh Sang Ilahi, lokasi tersebut ternyata halaman yang asri menuju mushala yang berdiri dengan anggun. Tanpa ragu, belokan “kekalahan” menuju Penanjakan 1 memberikan waktu bagi saya untuk merenungkan beberapa hal yang pada akhirnya coba diolah dalam artikel ini.
Dari lokasi mushala tersebut, saya menyaksikan perbedaan yang sangat mencolok antara sosok wisatawan, guide serta supir jip sewaaan yang gaya berpakaiannya tak jauh berbeda dengan para wisatawan, dan orang-orang yang juga menjadi guide tetapi mengenakan pakaian yang khas, yaitu pakaian sehari-hari tanpa jaket tebal dengan dilapisi sarung yang diikatkan di pundak. Mereka adalah orang Suku Tengger yang menawarkan sewa motor menuju titik puncak Penanjakan 1 kepada para wisatawan.
Dari banyak sisi, saya menjadi “penonton” bagi diri sendiri sebagai wisatawan, serta orang-orang yang berbeda-beda gaya dan penampilannya tersebut. Satu hal yang mencolok adalah betapa sibuknya para wisatawan mengambil foto diri, termasuk di lokasi Penanjakan 1. Pada platform media sosial seperti Instagram, para wisatawan berupaya untuk memajang foto terbaiknya.
Setelah mengambil beberapa gambar, saya berusaha keras untuk mencari cara agar terhubung dengan alam yang sudah mahal saya “beli” ini. Udara dingin yang menggigit disertai deru angin kencang, tirai langit yang perlahan-lahan berubah warna seiring dengan naiknya matahari, landscape gunung-gemunung yang terhampar begitu anggun, sejenak membuat batin tersedot. Begitu langit terang seperti umumnya pagi di kota, saya merasa alam di Gunung Bromo terasa biasa saja.
Pertanyaan yang tersisa dari pengalaman beberapa jam di seputaran Gunung Bromo adalah apakah wisatawan seperti saya yang berasal dari kota padat memiliki cara menikmati alam secara sakral yang bukan hanya membius (menenangkan) sesaat saja? Jika kerusakan ekologi yang saat ini menjadi isu besar dalam peradaban modern, praksis apa yang mungkin dilakukan agar pemaknaan terhadap alam dapat menemukan perspektif yang lebih intim? Kedua pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan etis mengenai cara para wisatawan berinteraksi dengan alam.
A. Menyoal Aktivitas Wisatawan dan Pencinta Alam
Sebagai langkah pertama untuk mencari tahu cara menikmati alam secara lebih etis, perlu dijelaskan definisi-definisi yang dilekatkan pada aktivitas mengunjungi alam. Dalam tulisan ini, saya telah lebih dulu banyak menggunakan istilah “wisatawan”, bahkan terhadap aktivitas saya di Gunung Bromo. Apa yang dimaksud dengan “wisatawan”, “pencinta alam”, dan “pendaki gunung” yang memang inheren dengan aktivitas yang dilakukan di gunung.
Istilah wisatawan, jika kita rujuk rekaman definisi berdasarkan akar katanya dalam KBBI, berarti lancong, melancong, bepergian untuk bersenang; bertamasya; pesiar. Sedangkan wisatawan, artinya adalah orang yang pergi melancong; wisata; turisme. Adapun wisatawan berdasarkan definisi KBBI adalah orang yang berwisata, wisatawan, turis.
Khusus untuk aktivitas yang berkaitan dengan alam, terdapat juga istilah pencinta alam. Jika diperiksa, definisi antara wisatawan disandingkan dengan istilah pencinta alam, maka akan termuat makna bahwa wisatawan memiliki titik tekan aktivitasnya pada unsur “bersenang-senang”. Kata bersenang-senang ini kemudian akan menjadi kunci untuk menemukan sedikit gambaran dari pertanyaan yang saya ajukan untuk diolah dalam tulisan ini.
Menarik untuk menyertakan penggambaran seorang fotografer serta penulis National Geographic Indonesia dalam “Embara di Tanah Tapal Kuda”, oleh Yunaidi yang menyatakan bahwa destinasi Gunung Bromo mempunyai daya pikat bagi wisatawan, yang jika destinasi tersebut tidak dikembangkan sebagai kawasan wisata tanpa perencanaan yang matang, maka hanya akan menyisakan kerusakan. Yunaidi melanjutkan dengan memberi tekanan pada perilaku tak patut dari wisatawan yaitu bahwa sebagian wisatawan tak begitu peduli dengan lingkungan, suka membuang sampah sembarangan, dan melakukan vandalisme. Tampaknya penggambaran Yunaidi mengenai sosok dan perilaku wisatawan khususnya di lokasi Gunung Bromo yang nota bene merupakan taman nasional yang harus dilindungi diperkuat dengan riset-riset yang membahas masalah tersebut. Seperti dibahas dalam “Analisis Kasus Kebakaran Di Kawasan Lahan Gunung Bromo Dalam Penggunaan Flare Saat Foto Pre-Wedding Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam” tingkat kerugian yang dialami oleh berbagai pihak sangat besar. Peristiwa yang terjadi pada 6 September 2023 ini dipicu oleh kelalaian baik dari pihak wisatawan—melakukan aktivitas tidak biasa, yaitu bukan sebatas mengunjungi tetapi melakukan aktivitas pemotretan untuk kepentingan pribadi serta pihak—, serta kurangnya izin pihak konservasi. Kerugian ekonomi dan lingkungan mencapai Rp 8,3 Miliar dengan konsekuensi parah pada ekosistem, jaa wisata, flora, dan fauna langka. Proses rehabilitasi flora bahkan membutuhkan 3-5 tahun dengan metode ilmiah dan penanaman pohon. Selain itu, dampak bagi warga sekitar yang berjumlah 600 jiwa seperti krisis air bersih. Langkah-langkah pencegahan kejadian serupa telah dilakukan seperti aturan area, pemantauan, kepatuhan panduan, kerjasama, laporan pengunjung serta kesiapan pemadam kebakaran pada area rawan.
Sebenarnya untuk pengelolaan tempat wisata secara umum, termasuk wisata alam, memiliki kode etik tersendiri yang dijelaskan dalam teori tourism life cycle oleh Butler.
Pasal-pasalnya sebagai berikut,
- Kontribusi pariwisata untuk membangun saling pengertian dan saling menghormati antar manusia dan masyarakat, termasuk kedalam cycle involvement
- Pariwisata sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kualitas hidup baik secara perorangan maupun secara kolektif, termasuk kedalam cycle development
- Pariwisata sebagai faktor pembangunan berkelanjutan, termasuk kedalam cycle development
- Pariwiswata adalah kegiatan yang menguntungkan bagi masyarakat dan negara penerima wisatawan, termasuk kedalam cycle development
- Kewajiban para pemangku kepentingan pembangunan kepariwisataan, termasuk kedalam cycle involvement
- Hak dasar berwisata, termasuk kedalam cycle exploration
- Kebebasan bergerak wisatawan, termasuk kedalam cycle exploration
- Penerapan prinsip-prinsip kode etik pariwisata dunia, termasuk kedalam cycle development
Sebagai perbandingan tentang aktivitas orang urban di alam, kita tilik sejenak kode etik bagi pencinta alam atau pendaki gunung:
- Pencinta alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa;
- Pencinta alam sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sasdar akan tanggung jawab kepada Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air;
- Pencinta alam Indonesia sadar bahwa segenap pencinta alam adalah saudara, sebagai makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Maka sesuai dengan hakekat di atas, kami sadar menyatakan sebagai berikut:
- Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- Memelihara alam beserta isinya, serta mempergunakan sumber alam sesuai dengan batas kebutuhan;
- Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air;
- Menghormati tata kehidupan yang berlaku kepada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia sesuai dengan martabatnya;
- Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam dengan asas tujuan pecinta alam;
- Berusaha saling membantu serta saling menghargai dalam melaksanakan pengabdian kepada Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air;
- Selesai.
Namun meskipun kode etik telah ada, baik untuk pariwisata maupun pencinta alam, kasus kasus pencemaran lingkungan masih kerap terjadi. Demi menjaga kelestarian alam dan berkurangnya kerusakan alam akibat pencinta alam yang tidak mengindahkan kode etik terhadap alam, sejumlah aktivitas penjagaan pun dilakukan. Salah satu yang menarik untuk disimak adalah aktivitas Pepep DW yang juga menulis buku berjudul Manusia dan Gunung: Teologo, Bandung, Ekologi.
Fenomena kerusakan alam atas nama pariwisata ataupun pencinta alam merupakan bagian dari masalah besar yaitu keterpisahan antara manusia dengan alam secara umum. Berdasarkan paradigma etika lingkungan hidup secara khusus, dinyatakan bahwa krisis dan bencana lingkungan hidup global merupakan dampak dari paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat segala sesuatu. Sementara alam semesta dianggap sebagai tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya sendiri selain sebagai nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia. Sehingga, berdasarkan paradigma antroposentrisme lahirlah perilaku eksesif yang menjadikan alam sebagai pemuas dan komoditas bagi manusia.
B. Berkaca Pada Perjalanan Peziarah Gunung dan Diri: Bujangga Manik
Aktivitas yang seakan menjadi inheren dan tak bisa dilepaskan dari wisatawan ketika berada di lokasi wisata adalah mengambil foto diri. Keindahan alam–seperti halnya Gunung Bromo dengan fenomena matahari terbit dan milky way-nya—menjadi latar belakang pengambilan gambar diri. Selain menjadikan diri sebagai bintang dengan latar keindahan alam, pengambilan foto dapat juga tertuju pada keindahan alam itu sendiri. Apakah pengambilan gambar dengan menggunakan kamera tercanggih sekalipun memberikan ruang dan kesempatan untuk intim di dalam diri manusia? Mengambil gambar melalui kamera memberikan warna paradoks yaitu mendekati alam sekaligus memberi jarak di saat yang bersamaan. Ini artinya apakah keintiman perjumpaan dengan
pemandangan alam menemukan tempat bagi yang intim di dalam pikiran dan hati manusia jika pada moment tersebut justru alam menjadi realitas yang disimulakan. Setidaknya, demikianlah keresahan Amstrong yang saya sepakati juga.
Amstrong kemudian menggambarkan sebuah pengalaman yang intim antara dirinya dengan alam justru sebelum rasionalitas dikenalnya dari dunia sekolah. Ia menyebutnya “putsch” yaitu kemilau aneh yang dilihatnya ketika berjalan di dalam hutan dan jalan-jalan setapak dekat rumahnya. Pengalaman menemukan kemilau tersebut bahkan sangat personal sehingga orang dewasa di keluarganya tak dapat memahaminya. Personalitas pengalaman seseorang seperti yang dialami Amstrong pun digambarkan oleh William Wordsworth (1770-1850), sang penyair Romantik, dalam syair-syairnya. Pengalaman yang dituangkan dalam syair-syairnya merupakan pengalaman yang dinikmatinya saat masih anak-anak. Namun, seperti halnya bagi Karen Amstrong, pengalaman kemilau atau bercahaya tersebut lenyap saat Wordsworth dewasa.
Dulu padang rumput, semak dan sungai,
William Wordsworth (1770-1850)
Tanah, dan semua yang biasa terlihat,
Tampak bagiku
Bagai berhiaskan cahaya langit
Kemegahan dan kesegeran sebuah mimpi
Kini tidak lagi seperti dulu.
Ke arah manapun kumenghadap
Entah siang entah malam
Apa yang pernah kulihat kini tak lagi tampak
Berlalunya kemilau di dalam hutan dan jalan-jalan setapak bagi Karen Amstrong ditenggarai setelah ia masuk sekolah dan diperkenalkan dengan pandangan dunia rasional yang mengatur kehidupan modern. Lantas cahaya dan kemegahan alam memudar menjadi cahaya hari-hari biasa. Pengalaman yang menyedihkan bagi saya sendiri adalah ketika keindahan alam Gunung Bromo terpotong dengan cepat oleh kemacetan jip menuju Penanjakan 1. Upaya untuk menangkap dan mengalami keindahan matahari terbit dari titik yang berbeda dengan sehari-hari dan titik lainnya yang ditawarkan paket sewa jip segera menguap secepat kilat. Namun demikian, pengalaman lenyapnya “kemilau” alam bagi Amstrong dan Wordsworth merupakan titik berangkat untuk
menemukan cara “kembali”. Salah satu yang diupayakan Amstrong dalam bukunya Sacred Nature adalah penggalian cara pandang yang berbeda pada alam, yaitu menemukan cara mitos bekerja. Ia menyatakan bahwa tugas pertama manusia adalah mengapresiasi nilai mitos dan memahami bagaimana mitos bekerja.
Sejalan dengan upaya yang dipikirkan oleh Amstrong, menarik untuk disimak kisah keintiman seorang manusia dengan alam pada masa pramodern, yaitu perjalanan ziarah Bujangga Manik. Bujangga Manik tentu saja tidak dijuluki sebagai pencinta alam, apalagi wisatawan atau wisatawan. Meskipun jika merujuk pada Robert Dick Read (2008) diyakini bahwa para pendahulu masyarakat Indonesia tercatat telah sejak lama melakukan penjelajahan antarpulau, bahkan mengelilingi dunia. Aktivitas tersebut tidak menunjukkan penjelajahan yang bertujuan untuk membangun koloni. Adapun untuk aktivitas wisatawan (traveler), backpacker, dan pencinta alam memiliki signifikansi yang berbeda. Namun, seperti dicatat oleh Pepep bahwa ada kesamaan di antara ketiga aktivitas tersebut yaitu, penjelajahan, meninggalkan rumah, mengenal lingkungan luar, dan sebagainya. Pepep menjelaskan bahwa ketiga aktivitas tersebut pun mengandung sisi sakral dan profannya masing-masing. Artinya, jika aktivitas yang tidak mudah seperti penjelajahan, meninggalkan rumah lantas bertemu dengan ketidakpastian di perjalanan maka ada capaian yang menjadi target dari pelaku seperti hedonisme dalam pengertian semata melakukan kesenangan. Selain sisi hedonisme, dapat pula menjadi cara untuk proses katarsis yaitu proses untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan mengenal diri. Bukan hal yang mustahil juga jika sisi kesenangan dan perenungan diri dapat terpenuhi secara bersamaan.
Kisah perjalanan Bujangga Manik terekam dalam naskah Bujangga Manik yang diketahui merupakan koleksi Perpustakaan Bodlein, Oxford, Inggris. Diketahui pula perpustakaan tersebut menerima naskah Bujangga Manik dari seorang saudagar dari Newport bernama Andrew James. Menurut perkiraan, naskah Bujangga Manik menjadi koleksi perpusatakaan Bodleian sejak 1627 atau 1629. Naskah tersebut ditulis dalam bahasa Sunda Kuna di atas daun lontar yang beberapa lembarannya rusak atau hilang. Naskah Bujangga Manik menuturkan perjalanan Bujangga Manik, penyair kelana dari Pakuan (di belahan utara Bogor sekarang ini). Sebenarnya ia adalah seorang pangeran dari Istana Pakuan di Cipakancilan dengan gelar Pangeran Jaya Pakuan. Namun, ia lebih memiliki dorongan untuk menempuh jalan hidup asketis sebagai rahib Hindu. Ia berziarah menyusui Pulau Jawa dan Bali.
Bujangga Manik, dalam sisi perenungan atau mengenal diri di alam, merupakan salah contoh sosok yang dapat ditelusuri. Bujangga Manik adalah seorang pendeta Hindu yang melakukan perjalanan mengelilingi Jawa hingga masuk ke Pulau Bali. Menurut banyak interpretasi dari para ahli, perjalanan Bujangga Manik merupakan perjalanan yang religius (suci). Bujangga Manik memang
menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan menempuh perjalanan untuk mengunjungi tempat-tempat pemujaan, keramat, dan suci. Perjalanan suci tersebut mulai dari tempat kelahirannya hingga pulau terjauh di seberang timur Pulau Jawa, yaitu Bali.
Berdasarkan keterangan Pepep, disebutkan bahwa berderet nama gunung yang sudah dijelajahinya. Dari sekian banyak gunung, dikenal nama gunung yang menjadi gunung utama yang didaki dalam perjalanan spiritualnya, yaitu Gunung Gede (Pangrango, 3019 Mdpl), Cikuray (2821 Mdpl), Puntang Merpati (2342 Mdpl), Papandayan (2665 Mdpl), Paitra (1653 Mdpl), Kawi (2551 Mdpl), dan Patuha (2434 Mdpl). Gunung tersebut didaki secara khusus hingga mencapai puncak. Pendakian Bujangga Manik pada sejumlah gunung yang memiliki kondisi hutan yang sangat rapat menimbulkan pertanyaan pada cara Bujangga Manik melakukannya. Teknologi seperti apa yang dimilikinya untuk menempuh perjalanan dengan cuaca dan suhu udara yang tidak ramah pada tubuh seorang manusia. Bagaimana cara ia bertahan dengan menjaga makan dan minum dan sebagainya. Namun, satu hal yang disepakati oleh banyak ahli yang menafsir perjalanan Bujangga Manik adalah perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang sangat personal, melibatkan keintiman mendalam antara diri dan alam semesta, makhluk ciptaan dan Sang Pencipta.
Merujuk pada Noorduyn dan Teew, perjalanan Bujangga Manik merupakan perjalanan sukma ke dan di kahyangan demi mencapai pembebasan ruhani tertinggi. Barangkali muncul juga pertanyaan akan alasan Bujangga Manik melakukan ziarah di gunung-gunung bahkan dengan cara yang sulit dibayangkan. Gunung itu sendiri dalam kacamata kosmologi Sunda yang merujuk pada budaya pantun Mundinglaya Dikusumah dan Eyang Resi Handeula Wangi merupakan elemen konotatif. Gunung merupakan wujud simbolik yang dalam kosmologi pantun disebut sebagai “buana nyuncung”. Nyuncung secara spesifik bermakna konotatif ‘gunung” dalam bahasa Indonesia. Gunung sebagai simbol mengacu pada keteraturan dan proses perjalanan seseorang yang ingin menemukan pencerahan dan kebijaksanaan. Perjalanan atau peziarahan seseorang harus menempuh proses yang dimulai dari baah. Peziarah juga mengandaikan keterkaitan antara semesta bawah, tengah dan atas. Dalam hal ini tentu saja, ‘semesta’ atau dalam bahasa Sunda ‘alam’ merujuk pada tahapan mencapai kebijaksanaan dan pencerahan tersebut.
Pola pikir Sunda yang digambarkan sekilas tersebut merupakan pengaruh dari falsafah Hindu dan Buddha selain juga unsur primordial kosmologi Sunda. Unsur Buddha ditemukan pada ‘buana nyungcung’ yang merupakan ‘tempat virtual’ untuk proses pencerahan seorang peziarah, atau pencari kebijaksanaan sejati. Dalam proses tersebut digambarkan persatuan antara diri peziarah dengan semesta yaitu kehidupan itu sendiri. Persatuan itu disebut dengan moksa.
C. Transmisi Pengetahuan Kesakralan Alam Melalui Tradisi Ruwat Gunung
Kerusakan alam akibat perilaku wisatawan ataupun pendakian merupakan kasus yang memerlukan pendekatan khusus. Mengapa demikian? Kasus ini merupakan perwujudan nyata keterpisahan manusia dari alam. Manusia yang notabene tinggal dalam keriuhan kota sehingga eksistensi alam menjadi terlalu personal dalam pengertian sebagai tempat eskapisme diri. Alih-alih mau mencintai alam, diri tetap menjadi pusat yang mau “disenangkan”. Oleh karena itu, untuk menjembatani krisis eksistensi alam pada manusia urban khususnya, saya kira transmisi pengetahuan kesakralan alam melalui tradisi masyarakat adat sangat relevan. Banyak tradisi ruwatan yang diselenggarakan secara rutin oleh masyarakat adat, termasuk suku Tengger di Bromo, membuka kesempatan bagi orang luar untuk ikut serta. Tentu saja di sini perilaku orang harus patuh pada seluruh proses yang tengah diselenggarakan.
Tradisi dalam bentuk upacara atau ritual seperti ruwatan, bersih bumi/desa pada dasarnya merupakan sebuah tuntunan kepada masyarakat agar selalu mengingat di manapun mereka berada bahwa hubungan antara alam, manusia dan flora/fauna bersifat timbal balik. Di masyarakat suku Tengger, misalnya terdapat upacara Kasada. Upacara Kasada dilaksanakan pada hari ke-14 bulan Kasada menurut penanggalan tradisional masyarakat Tengger. Asal-usul upacara Kasada erat kaitannya dengan legenda Rara Anteng dan Jaka Seger. Jika wisatawan dapat mengikuti proses upacara yang sudah menjadi tradisi tersebut maka pengalaman empirik bagaimana cara menghormati alam secara simbolik kiranya memberikan warna yang berbeda dengan yang biasanya ditawarkan oleh paket perjalanan wisata. Lebih jauh lagi, kiranya upacara penghormatan alam dapat menjadi salah satu jalan untuk memperoleh “kemilau” alam seperti yang digambarkan oleh Amstrong dan Wordsworth.
Bibliografi
- Yunaidi, “Embara Di Tanah Tapal Kuda”, National Geographic Traveler, Edisi Januari 2016, Volume 8, No. 01.
- Fira Firnayah Rozani , Firda Nuroktaviany , Imam Nurjaman , Ilham Aidil Fajar, Deden Najmudin, “Analisis Kasus Kebakaran Di Kawasan Lahan Gunung Bromo Dalam Penggunaan Flare Saat Foto Pre-Wedding Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”, Tashdiq, Jurnal Kajian Agama dan Dakwah Vol 1 No 2 Tahun 2023.
- I Gede Dipayana, “Analisis Pengaruh Penerapan Kode Etik Pariwisata Bagi Wisatawan Di Ulun Danu Beratan Pada Masa Pandemi”, SISTA Volume 1 No. 2 November 2021.
- DW, Pepep, Manusia dan Gunung: Teologi-Bandung-Ekologi, Penerbit Djeladjah, Sleman Yogyakarta 2019.
- Dr. A. Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Frtjof Capra, Penerbit Kanisius, 2014.
- Karen Amstrong, Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam, Penerbit Mizan, 2023.
- Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Penerbit Jejak, 2007.
- https://docplayer.info/44711627-Bujangga-manik-dan-studi-sunda-oleh-hawe-setiawan.html
- Stephanus Djunatan, “Kekosongan yang Penuh: Sebuah Tafsiran Atas Kosmologi Sunda”, Melintas, Volume 29 No. 3 Desember 2013.
- Lelono, Hari T. M., Tradisi Ruwatan: Berish Bumi Kearifan Dalam Mitigasi Bencana, Berkala Arkeologi Volume 35 Edisi No. 2 November 2015.
Author Profile
- Pengkaji Budaya di Walungan. Meraih gelar Magister Humaniora dari Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Aktif sebagai periset dan penulis dalam isu religi dan budaya. Saat ini berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung.