Membangun Paradigma

Jika harus mewajibkan buku bacaan kepada para pegiat Walungan.org, maka saya akan mewajibkan tiga buku kecil yang sudah lama terbit dalam bentuk karya terjemahan. Pertama, Kecil itu Indah karya Schumacher yang merupakan terbitan LP3ES dan dicetak pertama kali pada tahun 1979. Buku kedua berjudul Revolusi Sebatang Jerami karya Masanobu Fukuoka terbitan Obor, yang cetakan pertamanya lahir pada tahun 1991. Terakhir, buku karya Vandana Shiva bertajuk Bebas dari Pembangunan yang juga terbitan Obor dengan cetakan pertamanya tahun 1997. Ketiganya diterbitkan semasa rezim orde baru. Ketiganya merupakan buku yang secara tegak-berkecak pinggang menentang cara pembangunan gaya Orde baru.

Mengapa ketiganya penting?

Bagi saya, buku-buku tersebut menyasar bangunan paradigma kita. Paradigma merupakan cara pandang terhadap diri, manusia, dan lingkungan. Cara pandang ini mendasari dan melatari cara berpikir (kognisi), bersikap, dan bertingkah-laku. Paradigma sendiri berisi seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang akan diterapkan dalam memandang realitas. Gagasan tentang bagaimana sebuah paradigma mendasari sains diungkapkan oleh Thomas Kuhn alam The Structure of Scientific Revolutions. Dalam karyanya tersebut, dia mengenalkan istilah “pergeseran paradigma” (Paradigm Shift).

Jadi singkatnya, paradigma merupakan kerangka nilai dan cara pandang di benak kita yang mendasari semua perilaku lahiriah kita.

Schumacher mendasarkan keseluruhan argumentasi di dalam bukunya pada ‘konsep etika’ yang harus ditegakkan, bagaimanapun caranya. Hal ini dilakukan dengan asumsi metafisika, sebagaimana yang diungkapankan oleh Mahatma Gandhi dalam buku ini, “Kita harus menyadari bahwa di samping badan, ada jiwa yang baka, yang dipertanggungjawabkan setelah kematian, dan kepercayaan ini harus merupakan kepercayaan bagi yang hidup.”

Paradigma dasar ini diajukan oleh Schumacher tatkala dia membongkar pijakan ilmu ekonomi era modern yang dibangun berdasarkan keserakahan, iri hati, dan kompetisi, sesuatu yang dianggap positif oleh ekonom sekelas Keynes.

Setelah menggugat karakter serakahnya ekonomi modern, Schumacher lalu merambah kepada cara perlakuan karakter tersebut merambah ke pendidikan berbasis industri-kapitalis, pengembangan teknologi raksasa yang mahal dan massal, tapi tak banyak bermanfaat, malah menimbulkan masalah bagi keberlangsungan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya manusia. Masalah tersebut salah satunya termanifestasi pada cara mengolah dan memperlakukan tanah–bumi kita.

Akhirnya, Schumacher berkesimpulan bahwa sumber daya terbesar adalah pendidikan. Namun, pendidikan seperti apa?

Pendidikan yang hanya fokus dan murni untuk menjadi tukang (know-how) tidaklah berguna. Begitupun dengan humaniora semata, yang kini sudah terspesialisasi dan tidak mampu membantu orang dalam memahami dunia dengan lebih asasi dan mendorongnya lebih beretika. Pendidikan takkan mampu menolong selama ia tidak memberikan tempat bagi metafisika. Tak ada arti bagi ajaran sains dan humaniora kalau keduanya tidak membuka pintu kepada kepemahaman metafisika (halaman 88).

Gugatan Schumacher juga menohok cara memandang kerja dan pekerjaan. Dia melihat sifat sejati manusia adalah berkreasi. Inilah yang seharusnya didorong dalam ‘bekerja,’ yakni bekerja dengan tanpa bekerja atau pekerjaan yang inheren dengan masing-masing individu.

Bermula dari konsep etika berlandas metafisika (keimanan kepada Tuhan dan pertanggung-jawaban terhadap jiwa manusia setelah mati), Schumacher lalu membangun dan menawarkan sebuah pengembangan teknologi yang berdasar kepada tiga hal, yaitu:

  1. Teknologi yang murah, sehingga mudah dan bisa dijangkau oleh semua orang
  2. Cocok untuk kegiatan kecil-kecilan
  3. Serasi dengan sifat kreatif manusia

Ketiga konsep ini terbungkus dalam ‘Small is Beautiful‘.

* * *

Buku Bebas dari Pembangunan karya Vandana Shiva selaras dengan penuturan Schumacher. Jika Schumacher mengambil contoh metafisika agama Buddha dalam mengkritisi basis ekonomi modern, sedangkan Shiva mendasarkannya kepada Prakriti (prinsip feminin): sebuah konsep kosmologi Hindu dalam mengkritisi konsep Pembangunan atau Revolusi Hijau, Modernisasi, dan Industrialisasi.

Bagi Shiva, konsep pembangunan modern sejatinya merupakan perpanjangan cara kolonial dalam mengeruk sumber daya alam dan sumber daya manusia. Ia menjajah, tapi dalam bentuk baru, istilahnya neokolonialisme. Apa yang disebut modern dan beradab? Tak lebih sekadar aspek ekonomi semata, berbasis paradigma reduksionistik. Ia tak memandang alam dan manusia secara utuh, holistik, dan integral. Kritik Shiva ini berbasiskan pijakan yang dia namakan prinsip feminitas atau ekofeminisme yang membawa prinsip keseimbangan, keselamatan, kedamaiaan, dan kolaborasi; bukan kompetisi, eksploitasi, dan kehancuran.

Konsep Feminitas Shiva sebenarnya juga mengritik konsep dan teori feminis radikal yang semata bernuansa seksisme. Feminitas yang diusung Shiva bukanlah dikotomi antara feminis-maskulin, tapi feminitas-maskulinitas (praktriti-purusha) dalam satu kesatuan dan kesetangkupan.

Paparan Shiva ini mengingatkan saya kepada paparan Sachiko Murata dalam The Tao of Islam yang mengemukakan prinsip-prinisp feminitas dalam doktrin kosmologi dan metafisika Islam.

Tak hanya berhenti di kosmologi, Shiva juga memaparkan dengan cukup detail tentang prinsip feminitas yang terbumikan dalam struktur sosial masyarakat. Sosok perempuan yang merawat ibu bumi, mengkonservasi tanah dan hutan, menyemai benih, bertani, sekaligus memproduki sumber pangan sesuai prinsip-prinsip alamiah. Beda sekali dengan cara yang dilakukan oleh pembangunan modern yang menggiatkan revolusi hijau dengan memperkenalkan pupuk kimia, monokultur, pestisida, dan secara ironis malah menghancurkan ekologi.

Cara bertani alamiah ini kemudian diuraikan dengan lebih teknis dan detil dalam buku ketiga, yakni Revolusi Sebatang Jerami karya Masanobu Fukuoka. Dia menawarkan cara bertani tanpa bekerja; sebuah cara bertani sealamiah mungkin dengan membiarkan proses-proses bertumbuh dan berkembang apa adanya. Jerami dalam cara pandang pertanian modern dianggap sebagai produk sampingan atau sampah yang harus dibuang. Namun, dalam cara pandang pertanian alami, ia merupakan bagian dari proses utama yang ikut andil dalam proses penyuburan tanah.

Ketiga buku tadi cukup penting bagi para pegiat lingkungan hidup. Konsep ekofeminismenya Shiva sendiri mengingatkan saya kepada adagium rahmatan lil alamiin dalam Islam. Rahmatan (penuh kasih sayang) seakar kata dengan rahim, yang bermuatan muanats (feminin dalam bahasa Arab). Adapun lil alamiin bermakna segenap alam. Sebuah cara pandang yang merahmati seluruh alam serta sejalan dengan prinsip holistik dan integral, seperti yang diusung oleh Shiva dalam hampir keseluruhan bukunya. Paradigma holistik ini juga disuarakan dengan lantang oleh Fritjof Capra, terutama dalam karyanya Turning Point dan The Web of Life.

Bagaimanapun, cara pandang atau paradigma holistik ini tak bisa tegak tanpa asumsi dasar bahwa semesta ini bertingkat secara vertikal (gradasi menaik), atau disebut juga The Great Chain of Being. Konsep ini mendasari pijakan dasar bagi agama, yakni keimanan terhadap hal-hal yang berada di luar yang tak terinderawi, di atas perkara bendawi. Itulah paradigma iman.

Author Profile

Deden Himawan
Deden HimawanPerumus dan pendiri Walungan
Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.

Post a comment