Yunus dan Grameen di Negeri Bencana

Dalam bahasa Bengali, Gram bemakna desa. Istilah ini merupakan akar kata dari Grameen yang secara harfiah bermakna pedesaan. Ia merupakan orientasi program yang mendarat ke ruang dan wilayah spesifik, yakni pedesaaan.

Muhammad Yunus merupakan perumus dan perintis Grameen Bank. Dia ibarat Amartya Sen yang berakar dari bangsa Bengali, sebuah bangsa yang mengalami langsung kekerasan dan kerusuhan rasial dan agama saat terbentuknya negara-negara di Asia Selatan, yakni: India, Pakistan, dan Bangladesh. Demikian juga dengan Yunus. Dia terlahir pada masa pembentukan yang penuh konflik serta menyisakan luka dan trauma mendalam bagi sebagian warganya.

Rumusan Amartya Sen tentang keadilan, kekerasan, dan kemiskinan yang disublimasi dari pengalaman personalnya mengantarkannya kepada Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1998. Pun pergulatan Muhammad Yunus. Demi menolong dan membangkitkan orang-orang paling miskin di negerinya Bangladesh, membuat Yunus juga meraih Nobel Perdamaian pada tahun 2006. Adagium bahwa zaman dan kondisi paling kritis dan sukar bakal melahirkan orang-orang besar ––dan pahlawan pada masanya–– sepertinya cukup tepat dalam hal ini.

Pada awalnya adalah sebuah kegelisahan. Ibarat Al-Ghazali yang mempertanyakan dan meragukan banyak hal, terutama terkait agama, maka demikian pula dengan Yunus. Chittagong University yang menjadi tempatnya mengajar menjulang tegak dengan pongahnya ––kalau tidak dikatakan mewah–– di antara kekumuhan dan kemiskinan warganya.

Yunus gelisah. Apa guna semua teori ekonomi yang demikian melangit dan penuh angka-angka ideal jika terpisah dari realitas masyarakat yang sebenarnya. Dia merasa bersalah. Maka Yunus pun membalikan arah “pengajaran”. Dia bukan lagi akademisi yang mengajari awam ihwal teori-teori pongah tersebut. Namun, akademisilah yang harus belajar dari realitas masyarakat. Bukan ‘persepektif mata burung’ yang melihat sesuatu dari kejauhan, melainkan ‘perspektif seekor cacing’ yang terjun dan mengalami realitas sebenarnya. Maka, dia pun berkubang dalam lumpur keseharian nyata yang miskin dan termiskinkan.

Setiap negara dan bangsa terlahir dari visi bapak bangsanya. India memiliki tokoh-tokoh sekaliber Mahatma Gandhi dan Tagore yang memimpikan negara tersebut sebagai negeri majemuk dan plural yang bersatu dalam sebuah bangsa. Jauh-jauh hari, visi Pakistan digaungkan oleh seorang Muhammad Iqbal. Bangsa Bangladesh sendiri ––negeri yang relatif baru–– terbentuk pada tahun 1971 dan sebelumnya merupakan bagian dari Pakistan. Lalu, secara visi dan arah bangsa, Bangladesh kemudian dibangun oleh intelektual bangsa Bengali. Salah satu intelektual itu adalah Muhammad Yunus. Maka, tak heran bila dia cukup mampu memahami akar budaya dan sosial-politik negerinya sendiri.

Bangladesh disebutnya sebagai negeri bencana. Badai, banjir, dan kekeringan panjang merupakan bagian dari sejarah masyarakatnya. Negeri itu terbilang sangat sensitif terhadap kondisi cuaca dan iklimnya. Tak aneh jika ia memasukkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim sebagai salah satu dari tiga masalah besar dunia, yaitu: kemiskinan, pengangguran, dan lingkungan.

Yunus sendiri berkecukupan secara materi dan mewarisi perusahaan ayahnya. Dia juga berprofesi sebagai dosen dan mendapat beasiswa doktoral ke Amerika. Di sana, sekitar tahun 1970-an, Yunus si pemalu didekati oleh gadis Rusia bernama Vera Forostenko yang pirang bermata biru. Gadis ini mengajaknya menikah. Tentunya dengan segala cita dan mimpi dalam gaya hidup Amerika yang kosmopolis.

Setelah keterlibatan panjang Yunus dalam proses kemerdekaan Bangladesh, di mana dia pula yang menjadi perumus konsep negara-bangsa dan penghubung jaringan tokoh Bengali di luar negeri, terutama di Amerika, akhirnya negara bernama Bangladesh resmi berdiri pada 16 Desember 1971. Di dalamnya, terdapat tiga juta jiwa tewas akibat perang dan jutaan lainnya mengungsi ke perbatasan India. Sungguh, perang adalah harga yang mahal. Toh, itulah yang membidani lahirnya Bangladesh.

Yunus kembali ke negeri asalnya. Bagaimana pun, dia perlu bertanggung jawab atas negeri yang didirikannya tersebut. Tahun 1974 menjadi titik balik perubahan radikalnya. Bencana kekeringan yang berujung kelaparan melanda Bangladesh. Orang-orang lapar memenuhi jalan. Tubuh-tubuh kurus kering berperut buncit menggelandang di mana-mana, tak terurus. Mereka mati dalam dingin. Sementara kampus bak menara gading yang bicara solusi di seminar dan diskusi teori. Yunus geram.

Dia lantas mengajak kampus-kampus untuk melakukan tindakan yang lebih nyata dan solutif. Titik mula pembenahan pun dimulai, yakni sektor pertanian, pedesaaan, kaum perempuan miskin, dan pinjaman lunak (micro credit). Kredit mikro itu menjadi salah satu rumusan praktis. Lembaga CURDP (Chittagong University Rural Development Project) pun mulai berdiri.

Yunus menawarkan solusi mata cacing, dan tentu saja bukan mata elang yang melihat sesuatu dari jauh. Gagasan mata cacing merupakan gagasan pemberdayaan masyarakat dengan terjun langsung ke kehidupan dan ke dalam keseharian mereka. Artinya, aktivitas pemberdayaan dengan menjadi cacing yang bergulat dan berlumpur dengan tanah, dan bukan di menara gading. Menurut pengamatannya, Yunus membuang jauh pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan keterampilan. Masyarakat miskin tidak butuh pelatihan yang seringkali tak berguna. Mereka hanya butuh akses modal dan pengetahuan dasar tentang berhitung ekonomi sederhana. Begitu kesimpulannya.

Bermula dari desa kecil bernama Jobra, kemudian Yunus berkeliling menawarkan pinjaman lunak ke desa-desa miskin di sekitarnya. Setelah sebelumnya meyakinkan pucuk pimpinan Bank Pemerintah agar memuluskan pendanaan dan pengelolaan skema mikro kredit yang dijalankan sendiri, akhirnya Grameen Bank terlahir di Jobra.

Gugatan Yunus terhadap asumsi-asumsi ilmu ekonomi memang cukup radikal. Dalam pengertian, dia yang sudah mengantongi gelar profesor di bidang tersebut, malah melancarkan serangan terhadap teori utamanya. Baginya, bangunan ekonomi yang sedang berlangsung sangatlah tidak adil. Medan tarung bernama pasar bebas pada akhirnya tidak pernah bebas. Ada pihak pemilik modal, kuasa, dan akses informasi. Ini kemudian yang secara ilmiah dirumuskan Stiglitz (peraih nobel ekonomi tahun 2001) dengan istilah teori asimetris informasi. Artinya, tidak ada keseimbangan dalam akses informasi pasar.

Yunus pun melihat ––selain bias kelas dalam sistem perbankan saat itu–– juga ketidakadilan gender. Sistem perbankan dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bisa diakses oleh mereka yang miskin sekaligus perempuan. Persyaratan administrasi yang menjelimet sampai masalah agunan jadi masalah utama. Yunus lalu fokus membangun solusi untuk hal ini. Dia membuktikan bahwa kaum miskin bukanlah pengemplang —seperti halnya para debitur besar— dengan tingkat pengembalian mencapai 98%. Ini prestasi besar.

Yunus juga berupaya agar Grameen Bank memberikan 50 persen kreditnya kepada kaum perempuan. Dia menilai bahwa perempuan sebagai solusi negerinya sendiri. Kesimpulan ini sungguh radikal, mengingat tradisi yang berkembang di Bangladesh dikenal kurang menghormati ‘perempuan’. Tentu, ketidakberesan itu tak terkait dengan masalah agama, yakni Islam. Justru yang dilakukan Yunus terkait pemberdayaan perempuan itu selaras dengan ajaran Rasulullah saw yang menyatakan bahwa annisa imadul bilad atau perempuan adalah tiang negara.

Yunus merupakan gambaran cendekiawan yang membumi. Dia mempunya kekuatan untuk menganalisa inti masalah di negerinya sendiri, lalu merumuskan dan menjalankan solusi praktis yang berdampak nyata. Selain gugatan terhadap fundamen ilmu ekonomi dan kampus yang menjadi menara gading, Yunus juga berhasil meninju jantung simbol ekonomi pasar bebas dengan lugasnya, yaitu Bank Dunia.

Di forum Hari Pangan Dunia tahun 1986, Yunus secara terbuka membantah klaim Bank Dunia bahwa Grameen Bank mendapat dukungan finansial dari bank tersebut. Yunus memaparkan fakta bahwa dia tak sudi bekerja sama dengan lembaga itu. Bukan karena anti, melainkan pinjaman bersyarat dan solusi yang diajukannya tak pernah berpihak kepada negara penerima bantuannya.

Yunus mengemukakan riset dan fakta bahwa 75 persen lebih dari dana 30 milyar dollar, akhirnya kembali dinikmati oleh negara pendonor. Mulai akomodasi pesawat, staf ahli bergaji tinggi yang berasal dari negara pendonor dan harus disertakan dalam bea operasi, serta tentunya elit negara miskin yang korup. Solusi Bank Dunia juga tak pernah tepat sasaran dan tak bisa diandalkan. Yunus juga menggugat solusi temporer berupa pelatihan-pelatihan tak berguna yang digagas oleh orang-orang pintar di negeri asing.

Tentu perseteruan ini melebar ke mana-mana. Sampai presiden Bank Dunia, Lewis Preston, sangat jengkel. Dengan sengitnya, Preston mengatakan bahwa Bank Dunia bukanlah orang-orang bodoh. Dia mempekerjakan ahli terpintar dari seluruh pelosok dunia. Kalimat itu dengan cepat dibalas oleh Yunus di forum dengan kalimat, “Mempekerjakan ekonom pintar tidak otomatis menelurkan kebijakan-kebijakan dan program yang pro pada kaum miskin.”

Mencermati gagasannya yang semi otobiografis dalam karya Banker to The Poor, saya benar-benar merasa takjub. Selain terhadap Yunus, juga pada sosok Vera Forostenko, istri Yunus. Vera berjalan puluhan Kilometer dari desa ke desa miskin, bergelut dengan sekian problem nyata, bahkan difitnah oleh para tokoh agama yang picik. Luar biasa sosok pendamping Yunus tersebut, demikian pikir saya. Karena dalam buku tersebut, sosok Vera Forostenko terselip di awal. Pasti berat sekali mendampingi suami di negeri antah berantah yang jauh dari kenyamanan dan kemapanan yang diimpikannya di awal.

Ternyata, menjelang akhir buku, barulah misteri terkuak. Pernikahannya dengan Vera berakhir setahun setelah lahirnya putri mereka pada tahun 1977. Vera meninggalkan Bangladesh dan berujar bahwa negeri itu tidak sesuai dengan diri dia dan anaknya. Tentunya, Yunus mustahil meninggalkan tanah airnya sendiri; sebuah negeri bencana yang dicintainya.***

Author Profile

Deden Himawan
Deden HimawanPerumus dan pendiri Walungan
Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.

Post a comment