Limbah Jadi Berkah. Motto ini menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh Walungan dalam mengembangkan Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik di Tasikmalaya. Secara sederhana, motto tersebut mendorong para periset dan pegiat Walungan untuk memberlakukan limbah sebagai bahan yang berharga untuk diolah menjadi bentuk baru yang bermanfaat.
Prinsip pengolahan limbah tersebut memang baru nyaring bergaung seiring urgensi pengolahan sampah di lingkungan masyarakat Indonesia modern dalam dua dasawarsa terakhir. Salah satunya ketika Bandung berjuluk Lautan Sampah pada 2005 silam. Hal ini dipicu oleh meledaknya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sistem open dumping di Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat. Tempo mencatat bahwa ledakan tersebut menyebabkan TPA sepanjang 200 meter dengan ketinggian 60 meter ini memuntahkan ribuan ton sampah hingga mengubur dua kampung di dekatnya serta menewaskan lebih dari 150 orang penduduknya. Selama lebih dari satu bulan lamanya, gunungan sampah tersebar di berbagai lokasi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di Kota Bandung.
Peristiwa tersebut mendorong lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalamnya, termuat aspek ruang lingkup pengelolaan sampah, tugas dan wewenang pemerintah di nasional hingga kabupaten dan kota, metode pengelolaan sampah mulai dari tingkat akar rumput, kerjasama dan kemitraan pengelolaan sampah, serta sanksi dan pidana bagi pelanggarnya.
Di tingkat akar rumput, berbagai metode pengolahan sampah mulai disosialisasikan kepada masyarakat oleh berbagai pihak, baik secara personal, komunitas, lembaga, maupun sektor swasta. Dalam satu dasawarsa terakhir, berbagai narasi tentang pengolahan sampah mulai ramai berseliweran di media sosial. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan cara pengolahan sampah terbaik sesuai jenis sampahnya dan kondisi lingkungan di sekitar mereka.
Walungan sendiri termasuk salah satu lembaga yang mulai berpartisipasi dalam pengolahan sampah di lingkungan Cekungan Bandung. Di Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Walungan mulai mengolah sampah berupa limbah kotoran sapi menjadi pupuk dengan metode vermikompos sejak tahun 2015 silam. Aktivitas ini pun dilengkapi dengan pengolahan sederhana sampah organik dapur penduduk Pasir Angling yang dikombinasikan dengan budidaya tanaman sayur dan obat keluarga di halaman rumah. Dalam hal ini, sampah organik dapur dimasukkan ke dalam pot yang terbuat dari ban bekas. Setelah ditutupi dengan tanah, pot ini ditanami tanaman sayur dan obat yang bermanfaat untuk keluarga petani dan peternak Pasir Angling.
Pada tahun 2021, Walungan mulai mengembangkan pengolahan sampah organik dapur dalam skala yang lebih masif di Tasikmalaya melalui Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik. Seluruh sampah organik yang masuk diolah dengan menggunakan maggot dengan produk akhir berupa pupuk bekas magot (kasgot) dan pakan ternak. Sejak tahun 2023, Walungan mulai mengembangkan pengolahan sampah organik dapur dari restoran dan hotel sebagai pakan ayam kampung pedaging yang dikombinasikan dengan budidaya maggot. Hasilnya, metode ini mampu menekan biaya pakan ayam dewasa hingga nol Rupiah. Syarif Azis, Manajer Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan, menyebutkan bahwa kombinasi sampah organik, maggot, dan ayam kampung sebagai penerapan konsep Ekonomi Sirkular (circular economy).
Ken Webster, dalam bukunya The Circular Economy: A Wealth of Flows (2015), menyebutkan bahwa ekonomi sirkular merupakan sistem ekonomi yang bersifat restoratif dan regeneratif secara desain yang bertujuan untuk menjaga produk, komponen, dan material pada utilitas dan nilai tertinggi mereka setiap saat. Berdasarkan definisi tersebut, ada dua prinsip dari sirkular ekonomi. Pertama, sistem ini dirancang dengan sifat restoratif dan regeneratif.
Restoratif sendiri merujuk kepada sistem yang mampu memperbaiki sumber daya alam dan lingkungan. Sedangkan regeneratif merujuk kepada sistem yang mampu memperbaiki ekosistem sekaligus meningkatkan kapasitasnya. Secara sederhana, ekonomi sirkular dirancang untuk memiliki sifat memperbaiki sekaligus menjaga kondisi alam dan lingkungan agar tetap terjaga dan produktif guna menunjang ekonomi secara berkelanjutan.
Kedua, sistem ini ditujukan untuk menjaga nilai tertinggi produknya dengan tetap mempertahankan kondisi alam dan lingkungan di sekitarnya. Nilai tertinggi produk sendiri bisa diwujudkan dalam bentuk produk yang memiliki usia pakai yang lama serta bisa diperbaiki dan ditingkatkan secara mudah, sehingga mampu menekan produksi barang baru secara jumlah. Aspek lain nilai tertinggi juga terwujud dalam pemanfaatan kembali material dan komponen yang tidak terpakai untuk dijadikan material dan komponen dalam siklus produksi lainnya.
Kedua prinsip tersebut menempatkan ekonomi sirkular sebagai aktivitas produksi yang minim, atau bahkan tanpa, limbah. Ken Webster menambahkan bahwa ekonomi sirkular merupakan transformasi sistem ekonomi agar selaras dengan alam melalui cara yang lebih bijaksana dan berkelanjutan.
Pada tahun 2002, Michael Braungart bersama William McDonough mencetuskan konsep “Cradle to Cradle” dalam bukunya Cradle to Cradle: Remaking the Way We Make Things. Secara sederhana, konsep tersebut merujuk kepada siklus produksi dari awal hingga ke akhir dan kembali lagi ke awal. Konsep ini sebagai alternatif dari pendekatan tradisional berjuluk “Cradle to Grave” yang merujuk kepada siklus produksi dari awal dan berujung kepada pembuangan akhir.
Dalam konsep ini, Braungart dan McDonough menempatkan limbah sama dengan makanan (waste equals food). Artinya, limbah dari sebuah proses produksi merupakan masukan atau makanan bagi proses produksi lainnya. Salah satu contohnya adalah limbah dari produk makanan dari bahan-bahan alami bisa dikembalikan ke biosfer berupa nutrisi bagi ekosistem. Secara dampak, prinsip “Cradle to Cradle” bisa mengurangi limbah yang berakhir di pembuangan akhir secara signifikan, penggunaan sumber daya yang lebih efisien karena mampu menekan penggunaan sumber daya baru sekaligus menghemat energi dan mengurangi dampak lingkungan, membuka peluang ekonomi baru melalui inovasi dalam sistem daur ulang, serta mendorong terwujudkan produk yang ramah secara lingkungan dan kesehatan manusia.
Limbah jadi Berkah sendiri merupakan prinsip lokal dari “Cradle to Cradle”. Walungan berusaha mewujudkannya dengan mulai mengolah sampah organik dapur dari restoran dan hotel sebagai pakan ayam dan maggot. Hasilnya, salah satu simpul keberkahan sampah mulai terurai kini. Selanjutnya, semoga dengan gotong royong akan membuatnya sebagai alternatif pengolahan sampah di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan juga Indonesia.***
Author Profile
- Pengkaji Media for Community Development. Pernah belajar di Jurnalistik STIKOM Bandung. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang pengembangan dan manajemen media online.
Latest entries
- Perspektif16 December 2024Menengok Keberkahan Limbah dalam Ekonomi Sirkular
- Catatan25 November 2024Wisata Edukasi Khas Pasir Angling: Menyemai Prinsip Ekologi, Menuai Kemakmuran Ekonomi
- Catatan1 October 2024Menengok Tani Pekarangan dalam Kacamata Lokal, Nasional, dan Internasional
- Kabar1 July 2024Walungan Mulai Kembangkan Perangkat Instrumentasi Pertanian Presisi