Apa simbol perjuangan kaum petani? Apakah sabit atau arit? Apakah cangkul? Jika memang diperlukan, maka akan saya ajukan kored dan etem sebagai dua simbol perjuangan mereka.
Mengapa kored? Apa itu kored? Mengapa etem? Apa itu etem?
Kored berasal dari bahasa Sunda. Bentuknya berupa cangkul kecil yang menekuk ke pinggir. Biasanya digunakan untuk menyiangi rumput dan gulma, menggali tanah agar gembur, meratakannya, serta membuat gundukan. Kored merupakan simbol perawatan tanah atau pemeliharaan ibu bumi yang banyak digunakan oleh para petani perempuan.
Sedangkan Etem berasal dari bahasa Sunda. Sebutan lainnya adalah ani-ani atau alat panen untuk padi. Etem digunakan untuk memotong batang bulir padi seruas-seruas. Setelah revolusi hijau, penggunaan etem diganti oleh sabit yang digunakan saat panen untuk memotong padi serumpun demi serumpun.
Rumpun padi alias jerami yang dipanen dengan sabit ini kemudian dipukulkan ke batu atau bambu, sehingga bulir padi langsung keluar dan masuk karung. Hasil panen padi dengan menggunakan etem menghasilkan bulir-bulir padi yang masih menyatu dengan rantingnya, hingga bisa diikat dan disimpan sangat lama, bahkan sampai berpuluh-puluh tahun. Etem sendiri lebih banyak digunakan oleh kaum perempuan. Hal berbeda dengan sabit yang lebih banyak dipakai oleh kaum pria.
Kored banyak digunakan di tegalan, pematang sawah, kebun, dan pekarangan yang biasanya dipakai oleh kaum perempuan. Kored benar-benar multiguna.
Dalam konteks ini, kita tidak sedang berbicara gender, melainkan karakter dan watak yang diwakili oleh alat tani yang jadi paradigma dalam mengolah bumi dan memperlakukan alam. Kored dan etem merupakan simbol pengutamaan alat-alat kecil dan serbaguna, mudah-pakai, dan utamanya keduanya bertujuan sebagai pemelihara, bukan eksploitasi. Hal ini selaras dengan konsep teknologi Schumacher: kecil tapi indah. Karakter ini tentunya berlawanan dengan cara mekanisasi dan industrialisasi pertanian.
Jika bicara tentang industri pertanian, maka arah pandang kita tertuju pada asal mula industrialisasi secara besar-besaran atau lompatan signifikan, dan juga sebuah revolusi yang dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau (Green Revolution).
Ada jargon atau mitos yang didengungkan oleh para pendukung industrialisasi pertanian. Bagi mereka, dunia seolah-olah akan mengalami kelaparan dan kekurangan makanan andai mekanisasi dan industrialisasi tidak dilakukan. Fakta dan data justru memperlihatkan kebalikannya.
Sejak revolusi hijau dan industrialisasi pertanian digalakkan, pertanian telah bergeser menjadi salah satu pelayan kebutuhan pasar, sehingga berfokus pada spesialisasi produk yang didorong oleh kebutuhan pasar. Hal ini membuat pertanian menjadi mesin modern yang bergantung kepada mekanisasi dan kimia. Pendeknya, pertanian menjadi sekadar Industri yang fungsinya hanya sebagai salah satu pemasok mata rantai pasar. Tren ini mengakibatkan banyak sekali kerugian, antara lain: masalah kesehatan, krisis ekologis, berkurangnya tenaga kerja manusia, dan kebergantungan tehadap bank sebagai pemberi kredit.
Lagi-lagi, kita merujuk kepada Vandana Shiva. Menurutnya, fakta hari ini, 75% lebih produksi pangan dunia justru berasal dari para petani berskala kecil: petani skala keluarga dan kaum marhaen. Hanya kurang dari 25% hasil tani dipasok oleh Industri pertanian. Namun, kendati hanya memasok 25% pangan, dampak kerusakan oleh Industri ini sangat signfikan.
Industri pertanian berdampak besar terhadap perubahan iklim. Sebanyak 25% emisi karbon dioksida dari total emisi global berasal dari sana. Juga 60% gas metan dan 80% gas nitrous oksida. Selain itu, industri ini juga telah menyedot ketersediaan air tawar bersih sedemikian masif, sekaligus mengalirkan racun dalam siklus air. Dan yang terparah adalah kerusakan siklus agro-ekologis yang selama ini berjalan baik. Penggunaan pestisida dan insektisida memutus dan menghancurkan siklus tersebut. Contohnya, 75% populasi lebah yang berfungsi sebagai polinator, musnah sudah. Kawanannya banyak terbunuh akibat racun pestisida selama 30 tahun terakhir.
Fakta dan data ini memang nyata adanya. Karena itulah, salah satu program FAO adalah menggalakkan kembali konsep family farming yang memberi dukungan kepada para petani skala kecil.
Survey PBB terakhir memperlihatkan lebih dari 500 juta sistem pertanian di dunia digerakkan oleh pertanian keluarga, terutama sistem pertanian di benua Asia, Afrika, dan Latin Amerika. Oleh karena itu, pada tahun 2014, PBB mencanangkan International Year of Family Farming untuk mengembalikan jati diri pertanian agar kembali kepada keluarga sebagai sentral pembangunan tani dunia.
Kemudian, hal itu ditindaklanjuti pada April 2019. Markas Besar PBB di New York mencanangkan UN decade of family farming. Hal ini menunjukkan bahwa dunia berkomitmen bahwa pertanian keluarga akan terus diberdayakan selama sepuluh tahun ke depan.
Tentu saja, target utama dari dukungan PBB lewat FAO ini agar para petani kecil beserta keluarganya bisa hidup lebih sejahtera, serta tidak berada dalam kemiskinan terstruktur. Cara bertani berkelanjutan yang menjadi basis pertanian skala kecil ini disebut sebagai paradigma agroekologi.
Dalam paradigma agroekologi, pangan (makanan) merupakan bagian dari jaring-jaring kehidupan, yang menempatkan manusia di dalam rantainya: sebagai co-kreator dan co-produser yang bukan semata konsumen. Tatkala menyimpan dan menyemai benih, kita jadi bagian dari jejaring tersebut. Saat kita mengembalikan material organik ke tanah, saat itulah kita sedang memberikan kehidupan pada tanah itu. Kita merupakan bagian dari jaring kehidupan sebagai pemelihara tanah dan pemakmur bumi.
Dalam paradigma agroekologi ini, manusia merupakan pemelihara yang lebih kuat aspek feminimnya ketimbang sebagi perusak dan pendominasi alam. Agroekologi juga melihat tiga unsur: benih, tanah, serta aspek pemeliharaan dan konservasi sebagai unsur pokok. Ini yang jadi motto gerakan La Vía Campesina (bahasa Spanyol) yang bermakna jalan ideologi petani kecil.
La Via Campesina merupakan organisasi para petani kecil dunia yang didirikan di Mons Belgia pada tahun 1993. Organisasi ini dibentuk oleh 182 organisasi tani dari 81 negara. Organisasi ini terdiri dari para petani kecil serta komunitas tradisional di Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa.
Perjuangan butuh simbol. Simbolisme dibangun atas stilisasi. Stilisasi dibentuk dengan menonjolkan ciri paling khas. Karenanya, saya mengajukan kored dan etem sebagai simbol perjuangan agroekologi atau perjuangan kaum tani. Lewat kored, kita menekankan corak pemeliharaan tanah dan bumi sebagai sumber pangan. Sedangkan etem menekankan penyimpanan (benih dan pangan) sebagai salah satu aspek ‘Kedaulatan Pangan.’ Inilah jalan yang disusuri para petani kecil atau kaum marhaen. Dan tentu saja, hal ini tak dimaknai semua petani harus kembali menggunakan kored dan etem. Ini hanyalah simbol. ***
Author Profile
- Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.
Latest entries
- Perspektif21 February 2022Ilmu Sosial Profetik: Refleksi atas Keluhuran Masyarakat Nusantara
- Perspektif18 January 2022Sayang Ka’ak: Menyusuri Pemetaan Modern, Mengurai Tata Kelola Wilayah
- Perspektif5 January 2022Membangun Paradigma
- Perspektif27 December 2021Yunus dan Grameen di Negeri Bencana