Arus Balik: Dari Utara, Kembali ke Utara

Akhir September. Kendati nama bulannya berakhiran ‘ber’ yang kerap menjadi tanda musim penghujan, tetapi hawanya masih terasa menyengat: panas dan kering. Periode ini merupakan masa keempat atau wanci kapat dalam sistem pranata mangsa. Transisi dari kemarau ke penghujan terjadi pada bulan ini. Transisi dengan udara membara ini ditambahi dengan suasana amuk yang diikuti oleh hawa panas pada setiap tanggal tersebut. Misalnya saja terjadinya G30 S PKI yang membuat suasana tambah panas dengan adanya adu posting di arena media sosial.

Akhir September ini pula kami kembali melakukan perjalanan. Blora, Cepu, dan kota-kota di sekitarnya menjadi daerah tujuan kami kali ini. Blora sendiri dikenal sebagai kota kelahiran Pram, nama singkat bagi Pramoedya Ananta Toer, sekaligus menjadi inspirasi lahirnya buku bertajuk Jalan Pos Daendels. Blora bagi Pram tak sekadar ingatan awal kehidupan seorang bocah. Kota ini merupakan inspirasi karya-karyanya. Dari situlah Pram merangkai cerita-cerita singkat yang terhimpun dalam kumpulan cerpen berjudul “Cerita dari Blora”. Tentu saja, banyak karya Pram lainnya, seperti Arus Balik yang berlatar sejarah datangnya Portugis dan Spanyol. Karyanya tersebut membahas tentang bagaimana kondisi wilayah pantai utara yang dituturkan dalam bentuk roman.

Setelah melalui rentetan rute tol, akhirnya kami keluar di Bojonegoro. Merayapi jalan mendatar nan berkelok-kelok, mobil diterpa kemilau fajar menyingsing. Dari sisi kiri dan kanan jendela mobil, tampak sinar mentari melewati celah dedaunan pohon jati. Acapkali jalan terhambat iringan truk besar pengangkut kayu yang memaksa kami melakukan beberapa manuver.

Beberapa kota sudah kami kunjungi, terutama di area Jawa Tengah dan Jawa Timur. Undangan dari pemerintah kota dan daerah kami terima, demi rapihnya tata kelola data. Dan tentu saja, setiap perjalanan dari wilayah ke wilayah itu tak lepas dari kewajiban mengambil hikmah. Termaktub dalam Quran yang suci bahwa akal manusia tumbuh dengan membaca peristiwa di bumi yang terentang dalam sejarah masa lalu hingga kini. Sejarah dibaca lewat artefak di setiap tempat yang tersusun pada kisah lisan atau tertulis, juga sisa peninggalan bangunan maupun perkakas. Artefak sendiri dapat juga berupa bentang alam yang terpapar di hadapan kita.

Blora, Cepu, Bojonegoro, hingga Ngawi, juga Madiun dan Mojokerto di Jawa Timur merupakan rangkai wilayah pegunungan kapur yang dikenal dengan nama Kendeng. Sebenarnya, wilayah Semarang Timur dan Salatiga menjadi bagian ini. Pegunungan Kendeng yang berada di tengah Pulau Jawa lalu ke bagian utara tersebut merupakan penyangga utama mata air-mata air yang mengaliri sungai-sungai besar dan kecil. Dia menjadi hulu bagi anak-anak sungai terpanjang di pulau Jawa, yakni Bengawan Solo. Juga menjadi hulu bagi Kali Lusi dan Kali Brantas.

Andai kita cermat membaca sejarah, wilayah ini pun menjadi penyangga kota-kota utama di daerah Pantura, terutama sebelum dan menjelang masa arus balik. Periode ini hadir sebelum dan menjelang arus bangsa utara bergelombang mendatangi wilayah-wilayah pelabuhan utara Pulau Jawa. Sebutlah beberapa di antaranya: Jepara, Demak, Cirebon, Tuban, Pemalang, sampai Sunda Kelapa, serta Banten.

Waktu itu, sebelum datangnya bangsa utara tadi, pelabuhan utara penuh dengan kapal-kapal (Jung) Jawa berbobot besar. Jung ini melayari samudera raya hingga ke Malaka, Madagaskar, wilayah Pantai Timur, Selatan Afrika, pantai Brazil di Amerika, Teluk Persia, dan Laut Merah.

Sebelum abad ke-17, Pulau Jawa dengan gunung Muria terpisah laut (selat) yang dinamakan Selat Muria. Hal ini membuat kota-kota Pantura yang sekarang bernama Jepara, Kudus, dan Pati terpisah dari pulau utama serta berada di Pulau Muria. Dari gambar dan catatan, kita tahu pada masa Walisongo, Masjid Demak berada sangat dekat dengan pinggir Pantai Selat Muria. Tempat ini merupakan pusat Kerajaan sekaligus pusat lembaga dakwah yang didirikan Walisongo yang saat itu berorientasi maritim.

Kerajaan Demak mewarisi kejayaan maritim Majapahit. Mereka memiliki jung-jung Jawa yang besar dan berat serta terbuat dari kayu jati dengan bobot rata-rata 400 ton. Sebuah kapal mampu menampung seribu orang dalam satu kapal. Jung-jung besar inilah yang pada era Majapahit melakukan serangan ke Samudra Pasai sekitar tahun 1390-an. Jung-jung angkatan perang Majapahit ini dilengkapi cetbang; semacam meriam kecil versi Jawa. Jung-jung ini pulalah yang kemudian menjadi armada-armada dagang yang mampu menampung muatan hingga 600 ton lebih ketika masa perdagangan laut merebak. Selain armada lautnya, Kerajaan Majapahit dan kadipaten-kadipaten di sekitar Tuban dan Pulau Muria juga terkenal dengan pasukan gajah yang terlatih sebagai pasukan tempur. Mereka juga berfungsi sekaligus sebagai alat angkut gelondongan kayu-kayu jati berukuran besar.

Kejayaan maritim Demak dan Majapahit ini tentu saja ditopang oleh teknik pembuatan kapal atau jung yang mumpuni yang disokong melimpahnya kayu-kayu jati. Hutan-hutan jati di Pulau dan Gunung Muria jadi pemasok utama bahan pembuatan kapal di galangan Jepara. Penduduknya pun memiliki kecakapan tinggi dalam mengolah kayu jati.

Hutan jati Pulau Muria dan Pegunungan Kendeng terkenal memiliki kualitas terbaik. Pada masa lalu, wilayah Pegunungan Kendeng merupakan pemasok kayu jati untuk pembuatan jung di wilayah-wilayah Demak, Tuban, Rembang, dan Lasem. Bagian utara pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan gerbang kedatangan bangsa-bangsa utara. Wilayah ini disokong oleh bagian tengah Jawa dari sisi logistik dan bahan dagangan serta bahan pembangun armada kelautan. Tanpa hutan-hutan jati di Pegunungan Kendeng dan Gunung Muria tersebut, kecil kemungkinannya kejayaan dan perdagangan maritim bisa berkembang pesat.

Itulah wilayah penyangga utama perdagangan maritim dulu kala. Sebagian wilayah di sekitar Blora masih penuh oleh hutan-hutan jati, malah jadi pemasok utama di Pulau Jawa, hingga saat ini.

***

Tahun 1511 merupakan titik arus balik yang membalikkan sejarah. Pada tahun itu, de Albuquerque, seorang gubernur Portugis di India, berhasil menaklukkan Malaka yang kala itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Secara posisi, wilayah Malaka berada di jalur utama perdagangan laut, terutama lalu lintas India dan China. Bagaimana kosmopolisnya Malaka, tercatat dalam kisah perjalanan Tome Pires. Sebanyak 84 dialek bahasa digunakan penduduk Malaka, yang saat itu berjumlah sekitar 40 ribu jiwa.

Jalur Selat Malaka merupakan jalur pelayaran kuno tersibuk di dunia. Semua bangsa lalu lalang melewati celah di selat tersebut. Aneka transaksi dagang, pertukaran budaya, dan diplomasi politik terjadi di sana. Semua bangsa dalam posisi setara dan diizinkan membangun pos-pos dagangnya masing-masing. Namun, dua negara adikuasa Eropa dalam ekplorasi laut kala itu, yakni Spanyol dan Portugis, memiliki watak yang sama sekali berbeda. Keduanya merupakan negeri adidaya di semenanjung Iberia, sebuah wilayah yang menjadi gerbang masuk Islam ke Eropa dan terkenal dengan nama Andalusia.

Sejarah islam di Semenanjung Iberia bisa kita runut pada tahun 714 M. Kehadirannya di sana dimulai sejak datangnya Tariq ibn Ziyad yang berasal dari pasukan tempur Bani Umayah di Damaskus pada masa kekhalifah anAl-Walid I. Namun, berdirinya Bani Umayah di Andalusia dimulai saat Abdurrahman ad-Dakhil melarikan diri dari percobaan pembunuhan, sekitar tahun 750-an.

Kedatangan pasukan Umayah di Semenanjung Iberia ini mendorong para ksatria Kristen untuk menaklukkan kembali (reconquista) kaum selain mereka. Semangat ini kemudian dideklarasikan resmi setelah kemenangan para ksatria pada tahun 718 pada Perang Covadonga. Dari sini, para ksatria dan aristokrat Pelagius mendirikan Kerajaan Kristen Asturias. Reconquista ini mencapai puncaknya pada perjanjian Granada pada tahun 1492, yang menandai berakhirnya pemerintahan Bani Umayyah dan kesultanan Islam kecil-kecil lainnya di Andalusia.

Tahun 1496, terjadi pengusiran dan inkuisisi atas kaum muslimin dan yahudi di wilayah ini. Ancaman “Jika ingin selamat, harus memeluk Kristen,” memaksa eksodus besar-besaran. Ribuan muslim terbunuh. Pada tahun yang sama, Spanyol dan Portugis juga menguasai dunia. Tahun 1492 merupakan masa pelayaran Columbus.

Perjanjian Todersilas ditandatangi, Paus membagi petak dunia ibarat sekarat roti. Sepotong untuk Portugis, sepotong lagi untuk Spanyol. Kedua kerajaan ini seolah-olah mendapatkan legitimasi langit untuk menjarah dan membumi-hanguskan bangsa-bangsa lain. Spanyol mendapat bagian belahan dunia ke arah barat hingga ke Benua Amerika. Adapun Portugis ke arah Timur, India, Malaka, hingga kepulauan Maluku.

Bertram Johannes Otto Schrieke dan Anthony Reid merupakan dua sejarawan Nusantara yang menyodorkan teori bahwa kedua negara di Semenanjung Iberia itu bermotif agama dan dendam sejarah dalam melakukan perampasan dan kolonialismenya. Tentu, kajian keduanya didukung oleh fakta-fakta sejarah yang terdokumentasikan secara apik. Menurutnya, kolonialisme Portugis dan Spanyol dipicu oleh sentimen anti-Islam sebagai perluasan Perang Salib dan semangat reconquista di Semenanjung Iberia.

Kecemberuan dan sentimen kedua negara Iberia itu tampak jelas. Terjadi penyerangan terhadap kapal-kapal muslim oleh kedua negara tadi di sepanjang jalur-jalur maritim dan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai negeri-negeri dan pedagang muslim. Penyerangan ini bahkan sampai ke wilayah Nusantara. Portugis menduduki selat Malaka pada tahun 1511. Mereka menjarah dan menyerang kapal-kapal haji dan membunuh para peziarah sepanjang India (terutama di Goa), Hormouz (daerah Iran sekarang), hingga nusantara. Portugis menjadi teroris maritim. Penaklukan Malaka pada tahun 1511 ini kemudian menjadi titik awal kolonialisme di Nusantara. Landasan utamanya adalah ketamakan dan dendam sejarah.

Bangsa-bangsa utara digambarkan dalam struktur kasta khazanah Jawa Kuno sebagai bangsa Mleccha atau orang barbar. Mereka tidak masuk ke dalam catur warna yang jadi basis ajaran dharma. Bangsa Mleccha berarti bangsa yang tunduk pada syahwat dan kekuasaan semata. Mereka menghisap semua sumber daya alam dan orang lain dengan kerakusan tanpa watas asih.

Kerakusan bangsa Mlecha yang diwakili oleh Peranggi (Portugis) dan Ispanya (Spanyol) ini dilukiskan dalam Roman Arus Balik dengan cukup tepat.

Dalam sebuah dialog antara Sang Adipati Tuban dan Sang Patih disebutkan: โ€œ๐˜•๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜—๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ช ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜๐˜ด๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ญ๐˜ข๐˜ช๐˜ฏ, ๐˜Ž๐˜ถ๐˜ด๐˜ต๐˜ช. ๐˜”๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ณ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ข๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฅ๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฉ-๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฉ. ๐˜”๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข-๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ข๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ญ ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฉ-๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฉ. ๐˜”๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฉ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ด ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ข ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ณ๐˜ช๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ณ๐˜ช.โ€ โ€œ๐˜’๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ช๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ข. ๐˜”๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ต๐˜ช๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ถ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฃ๐˜ข๐˜จ๐˜ช?โ€ โ€œ๐˜’๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜ฐ๐˜ฏ ๐˜ธ๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข, ๐˜Ž๐˜ถ๐˜ด๐˜ต๐˜ช, ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ต๐˜ข๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ด๐˜ฌ๐˜ช๐˜ฏ. ๐˜š๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ณ๐˜ถ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ข๐˜ณ ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ช๐˜ด๐˜ฌ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ณ๐˜ถ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฉ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ช๐˜ข, ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ช ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ช ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ด๐˜ช ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ข ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ณ๐˜ถ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ญ๐˜ช๐˜ฉ๐˜ข๐˜ต๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข, ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ด๐˜ข๐˜ซ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฉ, ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ญ, ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ช ๐˜ด๐˜ช ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข๐˜ณ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฉ๐˜ข๐˜ต ๐˜ด๐˜ข๐˜ซ๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜บ๐˜ข ๐˜Ž๐˜ถ๐˜ด๐˜ต๐˜ช.โ€

***

Pepatah “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung,” terpatri kuat di hati. Di setiap bumi yang kita jejaki di mana saja, di sana langit pun dijunjung. Hikmahnya adalah โ€“โ€“sambil memohon bimbingan Tuhanโ€“โ€“ kami coba gali dan mengurai pesan-pesan-Nya. Dari Blora dan hutan jatinya, saya merangkai kisah tentang bagaimana Demak sebagai bentuk pemerintahan yang menjalankan mandat Walisongo menjalankan politik luar negerinya, dan bagaimana Demak pun menyikapi peristiwa jatuhnya Malaka berikut sepak terjang bangsa-bangsa kolonial.

Saat itu, batas-batas wilayah Demak berdekatan dan bergerombol dengan pesanggrahan atau pesantren yang jadi pusat dakwah buatan Walisongo. Di seberang masjid Demak sebagai pusatnya, ada Kudus dan Muria di Pulau Muria yang menjadi basis Sunan Kudus dan Sunan Muria bertugas. Menuju ke arah timur, Rembang, Lasem, Tuban, hingga Gresik dan Giri merupakan basis utama dakwah Walisongo. Ke arah barat ada Cirebon sebagai basis Sunan Gunung Jati.

Segera setelah malaka jatuh, Pati Unus atas restu Dewan Walisongo mulai menyusun langkah. Saat itu, dia menjabat sebagai panglima armada laut gabungan dari Banten, Demak, dan Cirebon. Keputusannya, Malaka harus direbut kembali. Persiapan dilakukan besar-besaran. Pati Unus menyerukan kepada semua kerajaan wilayah di Nusantara agar bersatu menggalang kekuatan melawan Portugis. Armada laut pun dibangun, dan semuanya belum pernah sesibuk saat itu. Terjadi penebangan jati secara besar-besaran untuk membuat kapal. Ekspedisi pertama pada tahun 1513 membawa 100 kapal dan 12 ribu prajurit. Tergabung di dalamnya wilayah pantai utara dari Cirebon hingga Tuban, ikut serta Aceh dan Palembang pula.

Ekspedisi pertama mengalami kekalahan. Pertahanan Portugis di Malaka sulit ditembus. Pati Unus merencanakan ekspedisi penyerangan kedua pada tahun 1521. Kala itu, dia menjabat sebagai Sultan Demak dan bersiap melakukan penyerangan besar-besaran. Kali ini, armada laut dibangun di Sulawesi dengan membangun sekitar 375 kapal. Ekspedisi kedua pun terhitung mengalami kegagalan, tetapi berdampak besar secara politik. Malaka yang dalam penguasaan Portugis mulai mengalami kemunduran dan ditinggalkan dalam kancah perdagangan laut internasional. Di pihak lain, kejatuhan ini malah membuat pelabuhan-pelabuhan di Pasai, Banten, dan Cirebon mengalami kemajuan pesat.

Seruan Pati Unus ke kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menggempur Malaka tidak disambut baik oleh semua pihak. Kerajaan Sunda memiliki kekhawatiran sendiri atas perkembangan Kerajaan Demak, dan malah menjalin kerjasama dengan Portugis dengan mengirim utusannya menemui Portugis di Malaka. Hal ini yang kemudian mendorong Demak dan Cirebon menggempur Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda di bawah pimpinan Fadhilah Khan.

***

Bentang alam Pulau Jawa berderet gunung-gunung dari barat ke timur, dan aliran-aliran sungainya bermuara di laut, begitu pun pelabuhan-pelabuhannya. Bentang alam tersebut dalam khazanah kisah-kisah perjalanan suluk merupakan satu kesatuan urusan. Mulai dari kisah Bujangga Manik di Pulau Jawa yang berkisah tentang 450 bentang alam di Pulau Jawa hingga Bali yang terdiri dari hutan, gunung, laut, sungai, muara, dan pelabuhan-pelabuhan.

Pun dalam Serat Centini, dikisahkan bagaimana Jayengresmi berikut dua santri bernama Gathak dan Gathuk melakukan “perjalanan suluk” dengan menyusuri bentang-bentang alam di Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, sampai kemudian tiba di Karang. Tak kurang, naskah Wangsakerta โ€“โ€“terlepas dari kontroversinyaโ€“โ€“ menggambarkan sejarah bertikainya raja-raja Sunda dan Jawa.

Saat melihat aliran sungai Bengawan Solo mengalun pelan di Blora, saya membayangkan Pulau Jawa ratusan ribu tahun lampau. Di lembah sungainya di Ngandong, terdapat artefak manusia purba. Dari Blora, saya mendapati kisah kaum Samin: sekumpulan manusia bebas yang masih hidup dengan cara alami dan menjadi penjaga alam di pegunungan Kendeng.

Di sana, ada juga tempat bernama Balun Saudagaran yang memuat kisah Pajang dan Mataram. Di sana pun urusan tata kelola data dijajaki dan coba diurai satu per satu. Sembari mengerjakan perkara-perkara teknis dalam tata kelola data itu, terpanjat doa dalam hati semoga kami tidak salah membaca angin dan arah zaman dalam urusan zaman kali ini.

Tentunya, upaya membaca urusan ini tak bisa lepas dari bentang urusan yang terhampar dalam sejarah pada masa lalu maupun bentang alam pada masa kini. Membaca Blora sama dengan membaca kisah Walisongo sekaligus membaca Demak dan menggali kisah sang Pati Unus sebagai ujung tombak Dewan Walisongo yang berhadapan dengan bangsa pembawa antitesa sebagai lawan dari โ€œkesisteman dharmaโ€, yakni bangsa Portugis atau bangsa Mleccha.

Jalinan kisah yang terbuka saat membaca bentang alam selama menyusuri jalan tersebut selaras dengan pembacaan bumi diri.

Dari Blora, saya menuju Pekalongan dan teringat jalur perdagangan batik antara Pekalongan dan Tasikmalaya, kota kelahiran saya. Dengan mengingat kisah Pati Unus, serta merta saya juga ingat beberapa keluarga yang berkisah tentang leluhurnya: keturunan laskar Pati Unus yang tidak mau kembali ke pantai utara dan memilih tinggal di kota Tasik. Menurut kisahnya, Tasik sendiri berasal dari kata Tumasik, negara Singapura sekarang yang dulu jadi bagian dari kerajaan malaka. Membaca Gunung Muria, saya ingat Gunung Galunggung. Dua pasak di Pulau Jawa ini jadi dua wilayah penentu musim.

Dari Blora pula ada cita-cita yang terbangun. Arus mesti dibalik kembali. Pengetahuan agama yang hakiki dan perkara kejatidirian akan dibawa ke utara kembali. Jung-jung besar disimbolkan dengan perangkat-perangkat keilmuan di era kini, akan membawa khazanah keilmuan yang mengarah balik, ke utara, sekitar 500 tahun kemudian setelah tahun 1511, insya Allah.***

Author Profile

Deden Himawan
Deden HimawanPerumus dan pendiri Walungan
Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.

Post a comment