Tanah Air

Aku memiliki ombak menyambar laut-camar
Aku memiliki penyaksian sendiri
Aku memiliki rerumputan rimbun
Aku memiliki rembulan di ujung kata
dan karunia burung, serta keabadian zaitun

…..
Aku belajar pada semua kata dan mencacahnya
agar bisa menyusun satu kata :
Tanah Air

Mahmoud Darwish

Tanah Air. Konon ia konsep abstrak tapi mendarat di bumi, maujud di bentang geografis. Abstrak dipandang dari segi batas, konkrit di alam, berupa tanah dan air.

Al-birwa, di Galilea adalah tanah indah. Bukit-bukit karang, rumpun-rumpun pohon zaitun dan ladang-ladang gandum. Desa ini termasuk desa kuno, semenjak masa Nasir Khussru, Romawi sampai Dinasti Fatmah dan Ustmani, mencatat keberadaan desa ini dengan sangat baik. Sampai akhirnya, keindahan tanah ini terusik dengan kisah pendudukan Israel di tahun 1948. Mahmoud Darwish, adalah salah satuny. Ia bersama keluarganya harus terusir dari tanah airnya. Yah tanah airnya : Al-birwa di Galilea. Ia harus hengkang ke Beirut.

Tanah air, terbumikan dalam wujud tanah dan air. Ia adalah ikatan bathin antara tanah dan manusia penghuninya. Sekelompok manusia, yang menyebut diri ras, suku, dan bangsa. Tanah air adalah identitas komunal. Jati diri komunal, tempat di mana lahir dan kelak dikuburkan, karena ikatan kuat emosi para warganya dengan ruang hidup dan ruang sosial dalam ide “bangsa” tersebut. Kolonialisme, perjuangan kemerdekaan, pembebasan, perang dunia identik dengan perjuangan membela dan mempertahankan tanah-air.

Itu pula yang dirasakan Mahmoud Darwish. Tercerabut dari tanah airnya. Dari ruang hidup dimana ia lekat kuat secara emosi-bathini dengan tanahnya. Lalu ia memutuskan untuk melawan. Tidak dengan senjata, tapi dengan puisi. Mahmoud Darwish menjadi simbol penyair dalam perjuangan Palestina.

Tanah Air, frase dalam puisi di atas adalah pembentuk dasar nagara-bangsa. Tanpanya, konsep negara-bangsa tidak akan hadir. Bentangan ruang-alam dalam wujud geografi adalah penyusun utama ruang hidup dan ruang sosial sekelompok manusia, menjadi suku, menjadi negara dan bangsa.

Lalu dimana makna membangun bangsa, memakmurkan tanah air?

Pembangunan adalah perubahan. Ada unsur-unsur yang diubah. Bisa jadi manusia yang harus diubah, yang juga bertindak sebagai pelaku. Atau unsur yang meliputi manusia: tanah air di mana ia berpijak.

Mendefinisikan pembangunan, bukan sekadar faktor ekonomi semata, yang itu juga sudah direduksi sekadar angka. GNP, GDP, panjang jalan tol, kesempatan kerja dan angka-angka statistik tidaklah dan bukan tujuan pembangunan. Ia hanya alat. Membangun adalah mentransformasi kesadaran manusia, mentransformasi dan menata ruang geografis dan ruang sosial. Mentransformasi ke arah mana? Maka menjawab pertanyaan ini, sama dengan menjawab pertanyaan paling filosofis perihal manusia. Untuk apa manusia hadir di semesta ini? Membangun jadinya bukan sekadar perubahan ruang dan pembangunan infrastruktur. Bukan sekadar teknologi. Tapi, meminjam Daoed Joesoef, membangun adalah masalah teknosofi: teknologi dan filosofi.

***
Menyadari hal ini, kami para pegiat walungan, mencoba melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan tata ruang. Konsep ini mendarat dalam pemetaan partisifatif. Penduduk desa dilibatkan secara aktif sebagai pelaku pemetaan wilayah.Pemahaman akan karakter dan modal geografis sangat penting dimiliki oleh para warga. pemetaan yang menjadi acuan tata ruang untuk tujuan penguasaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya alam secara bersama. Mendefinisikan dan membangun ruang hidup dan ruang sosial secara bersama-sama. Mencoba mengikatkan kembali kepada tanah dan air di mana kami semua, para penduduk, menempati ruang geogfrafis ini. Hidup dan berkehidupan di ruang-waktu ini.

Author Profile

Deden Himawan
Deden HimawanPerumus dan pendiri Walungan
Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.

Post a comment