Atim Sasmita, Memerdekakan Dirinya Sendiri Melalui Kesahajaan

Apa arti saudara? Apakah ia yang memiliki nasab dalam kaitan hubungan darah? Apakah ia sebuah pertalian bathin yang demikian kuat dan melampaui sekadar pertalian darah? Pertanyaan ini menghentak kami semua, secara tiba-tiba. Kita sadar sesuatu yang berharga, tatkala ia hilang di hadapan kita.

Bagi sebagian besar orang, ia tidak akan dikenal. Karena ia sosok yang bersahaja. Tidak berakun sosmed atau apa pun yang membuat ia berbagi memori bersama dengan kami. Tapi karena kebersahajaannya itulah ia menjadi sosok yang “hangat” bagi kami semua.

Perjumpaan dan perkenalan pertama, adalah manakala kami sedang melakukan pemetaan dan survei sekitar mata-mata air cikapundung. Kami semua menyisir wilayah Cibodas, Patahan Lembang dan Pasir Angling, bahkan sampai Bukit Tunggul. Di masyarakatnya ia dikenal sebagai Pak RW, dan kami memanggilnya dengan sebutan singkat Pak Atim.

Apa yang membuat ia menarik?
Kita semua tahu, yang paling asasi dari seorang manusia adalaah kemerdekaannya. Kedaulatan atas diri sendiri. Atas dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya. Kedaulatan dan kemerdekaan untuk menentukan inilah ‘cara hidup kami’, yang melekat dalam keseharian. Keseharian di mana kita dengan begitu mudah memahami kehidupan secara sejati; dari rentang ruang waktu dan aktivitas rutin sehari hari.

Kita dengan mudah paham ‘sangkan paraning dumadi’ (arti hidup dan kehidupan.) Di mana semua aktivitas menjadi ilahi. Menjadi ibadah. Itulah kebudayaan. Tentu saja godaan untuk menyerahkan kedaulatan ini demikian kuat. Pikiran pragmatis, godaan material, dan cara-cara hidup yang disebut ‘keren dan modern’ adalah tarikan kuat untuk menyerahkan keotentikan cara hidup yang berselaras dengan alam.

Cara hidup Pak Atim, dari cara dia bertanam, cara memahami persoalan alam, cara berhadapan dengan masarakat, tampak ia memegang prinsip hidup cukup teguh. Hikmah dan sentilan seringkali menyapa kami dengan cara yang humoris, guyon tapi cukup menohok. Cukup dimengerti, mengingat nuansa tarekat di sekitar Pasir Angling cukup hidup.

Dari kesamaan kami memandang kehidupan ini—tapi sejatinya kami sedang menggali dan belajar dari beliau; kami mulai merintis aktivitas bersama. Pertanian organik yang terintegrasi dengan peternakan, Pendidikan Anak Usia Dini, pelayanan kesehatan, mengolah limbah ternak, biogas, pendidikan dan bimbingan bertani dan seabreg rencana aktivitas sudah kami dan Pak Atim siap jalankan.

Hari itu, 3 Maret 2016. Di pagi menjelang siang, di mana sinar mentari belum begitu terik, dan awan menggelayut setipis kapas, membuat cuaca cukup teduh dan dingin. Waktu di mana petani melepas ‘sawed’ kerbau bajakan. Pecat Sawed. Kami mendapatkan kabar. Kabar yang tentu saja mengejutkan kami semua. Sebagian kami tertegun tak percaya, sebagian dari kami cukup bingung, sebagian lagi menyangka kabar tersebut hanya guyonan semata. Karena senyatanya, tadi pagi kami masih bertemu beliau. Semalam kami masih bercengkerama, setelah acara peresemian basecamp kami di Pasir Angling, yang merupakan simbol dan tonggak penyatuan kami dengan masyarakat Pasir Angling.

Setelah memastikan berita. Kami akhirnya menuju Pasir Angling. Sesampai di sana, acara prosesi penguburan jenazah sudah usai. Kami mendapatkan cerita lengkap ‘kepergian’ Pak Atim, langsung dari anak sulungnya. Rupanya, sehabis mengantarkan sekadar pisang goreng dan sedikit bercengkerama dengan kami, tadi pagi, Pak Atim langsung menuju kebunnya. Memang hari ini adalah jadwal ‘ngalubang’. Membuat lubang untuk benih dan pupuk. Adalah anaknya sendiri yang menemukan Pak Atim sedang tertelungkup di pinggiran kebunnya, dalam kondisi pucat, dingin dan sudah tak bernapas. Sekitar pukul 11 siang.

Duh.. sebuah kematian yang indah. Kematian di mana waktu sholat sudah tertunaikan. Dalam pelukan bumi yang ia garap dengan khidmat. Kematian manakala sedang menggarap lahannya, yang adalah dharma seorang petani. Kematian sempurna.

Menjelang sore, kami mendatangi peraduan terakhirnya. Nisan kayu yang tegak. Tanah merah yang basah. Dipayungi sekadar pohon kopi. Kami berdoa bersama. Melantunkan ummul Kitab. Kami tak banyak bicara. Antara sedih, rasa kehilangan, gembira melihat cara beliau pergi. Rasa yang campur aduk. Nisannya tertulis, Atim Sasmita. Baru hari ini kami tahu nama lengkapnya. Nama yang sangat bagus.

Setelah mengikuti ritual umum kalangan Nahdiyin, tahlilan dan doa bersama. Kami bersiap menuju kembali Bandung. “Sasmita”. Nama akhir beliau demikian akrab dalam ingatan kami, khususnya saya pribadi. Kata Sasmita dengan cepat mengingatkan saya pada banyak Kitab Suluk. Sasmita adalah petunjuk, isyarat bathin. Dengan tanpa sengaja, sepanjang perjalanan pulang, saya melantunkan pupuh mijil dari Bait Sastra Jendra.

Mijiling kàng sasmità ning Gusti, Tuhu bisa klakon, Kànthi sirnaning kàrsa ragane, Dèn singkirna saka jroning ati. Kàng puji nyawiji Panggih gustinipun.

Keluarnya isyarat dari Gusti, sungguh akan dapat terjadi, dengan lenyapnya “karsa-raga”-nya, tersingkirkan dari dalam qalbu,permohonannya menyatubertemu dèngan “gusti”nya.

Yah, isyarat Gusti hanya akan muncul bagi yang men sirna kan rasa raganya. Sirnanya raga Pak Atim juga, akan menjadi sasmita bagi kami semua. Agar kami segera bersiap menyambut sesuatu yang pasti: kematian. Lahul Fatihah buat Pak Atim.

Author Profile

Deden Himawan
Deden HimawanPerumus dan pendiri Walungan
Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.

Post a comment