Gunung tampak biru. Ricik air di sepanjang sisi jalan berbelok dan menembus bawah tanah, kemudian muncul dan menderas di bagian curam dan lubuk. Udara terasa segar. Pepohonan tropis tumbuh di mana-mana, menghutan hingga ke arah Bukit Tunggul. Semua itu surga bagi mata dan jasad. Surga yang mengiringi kami sepanjang perjalanan survei hari itu.
Puncak Cianjur, Ciwidey, dan Lembang merupakan gambaran surga bagi penduduk kota. Belakangan, juga para turis Timur Tengah (khususnya Arab) juga membanjiri daerah-daerah itu. Tampaknya, imajinasi dan fantasi mereka ihwal surga versi penduduk gurun pasir menemukan tempatnya di sini.
Survei mingguan sendiri tak lengkap tanpa bekal makanan. Terkadang, ada jamuan atau sekadar membeli makanan dari penduduk setempat. Nasi panas sebakul dengan sambal terasi dan lalap tersaji di hadapan. Sajian ini semakin nikmat kala ditambah seporsi ikan asin di piring seng. Apalagi, semuanya dimasak serba mendadak. Wangi bakaran terasi dan goreng ikan asin akan dengan cepat membuat air liur menetes. Rasa lapar pun tak kuasa bangkit. Itulah surganya orang Sunda.
Cara merespon makanan, baik rasa, rupa, maupun aroma, memiliki sejarah yang cukup panjang. Dia melalui aliran alur sungai evolusi dalam kurun waktu sekian lama. Cara hidup, cara menentukan makanan, dan cara tubuh bereaksi merupakan catatan penting terkait bagaimana proses itu terjadi. Ratusan ribu tahun, tubuh merespon perubahan alam guna menentukan cara terbaik agar bisa bertahan hidup.
Ada sekian cara hidup dan cara makan di masyarakat tradisional sebagai hasil akhir dari proses adaptasi kondisi alam di sekitarnya. Sampai kemudian semua itu berubah ketika modernisasi dengan cara hidup urban khas masyarakat Barat menggempur cara hidup masyarakat tradisi. Pengetahuan tradisional menjadi barang langka. Semuanya mengarah ke cara hidup global.
Salah satu respon hasil evolusi manusia, salah satunya tentang bagaimana tubuh merespon rasa asin dan gurih. Orang Sunda merespon asinnya ikan asin bukan sekadar sebagai pembangkit selera. Sejatinya, rasa tersebut menggambarkan simbol dan proses cara tubuh bereaksi.
Mari kita simak dongeng ikan asin berikut ini.
Raja Sunda seorang Pagan. Sunda adalah tanah para ksatria dan pelaut yang bahkan terkenal melebihi kesatrianya orang Jawa. Pria-pria Sunda berwajah tampan, berkulit cenderung gelap, dan berpostur tinggi-tegap.
Kerajaan Sunda menjual beras sebanyak 10 jung tiap tahunnya, sayur mayur yang tak terhitung jumlahnya, serta daging babi, kambing, domba, dan sapi yang juga tak terhitung. Negeri ini menghasilkan anggur dan buah-buahan.
Kerajaan Sunda memiliki beberapa pelabuhan; Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Sunda Kelapa, dan Cimanuk.
Kutipan dari Summa Oriental karya Tome Pires
Summa Oriental merupakan karya klasik liputan seorang Tome Pires. Dia merupakan petualang Portugis yang menjelajah kawasan Asia Tenggara dan China sekitar tahun 1512-1520. Perjalanannya diabadikan dalam buku sejarah babon klasik. Dalam naskah ini, Tome Pires mencatat detil tentang bagaimana kehidupan suku-suku bangsa di Nusantara, salah satunya Bangsa Sunda. Orang Sunda tercatat sebagai pedagang dan pelaut unggul. Bahkan Pires mencatat bahwa kehadiran orang-orang Sunda di lautan mencapai Pelabuhan Malaka. Orang Sunda di sekitar pegunungan juga memiliki postur tubuh yang baik.
Dalam History of Java, Raffles mencatat tentang orang-orang pegunungan yang berpenyakit gondok akibat kekurangan yodium. Catatan Raffles ini selaras dengan paparan Jared Diamond, seorang antropolog-geografi. Dia bertutur bahwa masyarakat manusia tidak dapat mengakses garam untuk mencukupi asupan yodiumnya di hampir semua pelosok pada masa lampau.
Selain garam, pada beberapa periode tertentu, suku-suku tradisional pada masa lalu mengalami kekeringan dan perang panjang yang mengakibatkan kelaparan parah. Maka, salah satu cara adaptasi manusia melalui evolusi adalah memiliki kecenderungan kuat pada rasa gurih dan asin. Kegemaran akan asin dan gurih itu jadi sebentuk respon tubuh untuk memenuhi kebutuhannya akan garam.
Demikian juga kecenderungan manusia yang dalam kondisi kekurangan sumber pangan, maka tubuhnya akan merespon dengan cara menggemari rasa manis. Lalu, asupan ini akan menumpuknya di dalam tubuhnya dalam bentuk lipatan-lipatan lemak. Karenanya, sistem pencernaannya ––terutama kelenjar pankreas–– membuat sistem yang baik agar kandungan kadar gula dalam darah selalu stabil.
Di alam liar, sumber garam bagi karnivora berasal dari darah hewan buruannya. Sedang bagi para herbivora, sumber garam diperoleh dengan menjaga asupan air minum yang mengandung garam tinggi.
Namun, sayangnya, akumulasi pengetahuan manusia yang tergambar dalam cara hidup suku-suku tradisional ini kini nyaris punah. Hal ini terjadi tak lebih dari rentang waktu 200 tahun belakangan. Cara makan masyarakat telah jauh berubah. Menurut Pires dan Raffes, tubuh orang-orang Sunda sudah memiliki kadar protein memadai. Hal ini terbukti dengan bentuk tubuh dan cara makannya. Ada catatan prasasti Tarumanegara yang menggambarkan bagaimana pengorbanan ternak secara besar-besaran yang menjadi bukti cara hidup dan cara makan yang akrab dengan gizi dan protein yang baik.
“Dulu sungai Candrabhaga digali oleh maharaja yang mulia dan memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk kemudian dialirkan ke laut, lalu kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman ––yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja–– (maka sekarang) pun menitahkan pula penggalian kali Gomati (saluran sungai) yang permai berair jernih, dan kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedang saluran galian tadi mencapai panjang 6.122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1.000 ekor sapi yang dihadiahkan.”
Catatan Prasasti Tugu
Perubahan pola makan akibat kehidupan modern, ditambah dengan tekanan cara bertani dan beternak yang berubah seiring Revolusi Hijau, menjadikan pertanian dan peternakan bukan lagi sebagai sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi. Namun, pola makan sudah bergeser kepada memenuhi kebutuhan pasar. Sungguh ironis, di tengah kebun sayur bergizi tinggi, penggarapnya hanya makan nasi dengan sekerat ikan asin. Ironis juga, anak-anak desa penghasil susu dan hewan ternak mengalami kekurangan protein.
Akibatnya, meski di daerah pegunungan, tingkat penyakit NCD (Non Comunicable Desease), semisal darah tinggi, jantung, dan diabetes, memiliki tingkat prevalensi tinggi. Di sisi lain, angka stunting (tubuh pendek) di Indonesia akibat kurang gizi mencapai angka kedua tertinggi di Asia Tenggara. Bahkan, satu dari tiga anak di Jawa Barat menderita gizi buruk yang merata hampir di seluruh daerah.
Jadi, dengan menilik catatan sejarah, kita sudah punya pengetahuan yang baik ihwal cara hidup dan cara makan masyarakat yang sesuai kebutuhan tubuh dan tradisi bangsa kita sendiri. Di Sunda misalnya. Sebelumnya, tidak pernah menu ikan asin menjadi makanan pokok masyarakat. Itu hanya bentuk adaptasi orang-orang gunung dalam memenuhi kebutuhan garamnya. Begitu kisahnya.***
Author Profile
- Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.
Latest entries
- Perspektif21 February 2022Ilmu Sosial Profetik: Refleksi atas Keluhuran Masyarakat Nusantara
- Perspektif18 January 2022Sayang Ka’ak: Menyusuri Pemetaan Modern, Mengurai Tata Kelola Wilayah
- Perspektif5 January 2022Membangun Paradigma
- Perspektif27 December 2021Yunus dan Grameen di Negeri Bencana