“The world is changing. Who now has the strength to stand against the armies of Isengard and Mordor? To stand against the might of Sauron and Saruman and the union of the two towers?”
“Together, my Lord Sauron, we shall rule this Middle-earth. The Old World will burn in the fires of industry. The forests will fall. A new order will rise.”
-The Two-Towers–Lord of The Rings-
Sebuah menara berdiri tinggi, tegak, dan angkuh sendirian di tengah sisa-sisa bakaran pohon. Kehancuran dan kegelapan mewarnai sekitarnya. Kini, si penyihir putih Saruman membelot dan berpihak pada Sauron yang dulu ditentangnya. Dunia baru bernama dunia industri menjelang menghancurkan dunia lama, di mana kisah tentang peri, hobbit, Shire, dan pepohonan di hutan perawan begitu hidup.
Dunia lama berganti menjadi dunia industri dan mesin-mesin, juga para monster bernama orc dan urukhai yang dibangkitkan dari kedalaman bumi. Kedua monster itu punya satu hasrat dan tujuan, yakni menghancurkan. “Bersama, Tuanku Sauron, kita kuasai mayapada atau Dunia-Tengah ini. Dunia lama akan musnah terbakar jilatan api-api industri. Hutan akan punah. Dunia baru akan muncul.” Menguasai dunia adalah cita-cita Saruman. Begitulah cuplikan dialog dari film The Two-Towers–Lord of The Rings (LoTR).
Tolkien, sang penulis, sangat handal untuk menuturkan kisah para peri dan makhluk-makhluk imajinatif dalam bukunya. Tampaknya, dia tipe penulis romantik. Kenangan masa kecil di desa-desa Birmingham Inggris menginspirasi karya dan pandangan hidupnya pada masa peralihan. Masa kecilnya yang indah kala dia bercengkerama dengan alam murni pedesaan tergambar dalam bukunya tersebut. Lantas, kemudian dia mengalami masa suram ketika industrialisasi berupa mesin-mesin besar menggerus dunia pertanian dan hutan hingga terjadinya perebutan sumber alam yang berwujud perang dunia pertama dan kedua.
Tolkien terlibat di dalamnya. Dia menyaksikan kehancuran, pembunuhan, dan kerusakan. Penyaksian langsung ini menggedor sisi eksistensialis dirinya sembari mencuatkan romantisme masa kecil yang perlahan hilang tergerus perubahan zaman. Dari situ, lahirlah karya-karya indah tentang Shire, para peri, hobbit, dan mahluk imajinal lainnya.
Saya tak semahir Tolkien dalam bertutur. Namun, ingatan dan kenangan alami ihwal desa dan alam melekat kuat hingga kini. Sadar atau tidak, apa yang jadi pemikiran saya hari ini, berikut aksi dan tindak-tanduk yang dilakukan, merupakan akumulasi dan buah dari semua pengalaman pribadi sedari kecil. Ada orientasi yang mengarahkan pemikiran dan tindakan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ingatan terkuat yang paling membekas dalam diri saya adalah ihwal sekolah pada usia pendidikan dasar terkait bermain dan mendongeng. Saya juga ingat bangunan sekolah negeri yang hampir ambruk hingga beberapa kali harus pindah ruang dengan meminjam madrasah serta menumpang ke SD lain yang cukup jauh. Saya pun mengalami masa-masa bersekolah tanpa alas kaki selama hampir enam tahun, dan lebih banyak bermain bola ketimbang duduk di belakang meja.
Masa kecil saya penuh dataran luas, bukit, sungai, dan situ (mata air) yang semuanya menjadi medan permainan. Ada orientasi spasial yang lapang di alam terbuka. Saya ––kami–– anak-anak desa hampir mustahil tersesat di medan main yang luas itu, meski jarak rumah kami cukup jauh. Selalu ada patokan arah di bentangan alam.
Gunung Galunggung pasti di arah barat. Beberapa bukit pun jadi patokan. Arah sungai mengalir pasti ke hilir (timur), dan arah itu bermula dari hulu (barat atau girang dalam bahasa Sunda). Kami cukup paham buah dan daun yang bisa dimakan, yang beracun, juga pohon yang membuat gatal. Pun kami mengerti kapan dan bagaimana perilaku angin pada bulan-bulan tertentu karena terbiasa main layangan. Pengetahuan ini terwariskan begitu saja, alami.
Jika ada orang yang bertanya tentang bagaimana mendidik anak, bias pengalaman personal akan tampak. Saya pasti menjawab bahwa, pendidikan dasar merupakan masa bermain dan melatih “kepekaan.” Pendidikan menengah pertama merupakan masa literasi dan membangun kesadaran posisi diri. Pendidikan menengah atas merupakan masa lanjutan literasi, membangun logika bahasa, dan dialektika.
Itulah yang saya alami. Pengalaman tersebut tersublimasi menjadi wujud pribadi sekarang ini berupa gagasan, tindakan, dan pemikiran. Pada akhirnya, sublimasi diri ini mengantarkan pemikiran saya kepada pentingnya pelajaran sejarah dan geografi, sekaligus pentingnya seorang anak sedari awal memahami posisi diri dan mengenali fakta-fakta geografis lingkungannya. Karena ada tujuan pendidikan di sana.
Jika merunut pada cara tradisi hikmah merumuskan pendidikan, maka dia niscaya berdimensi spiritual. Mulai Plato hingga para Rasul kemudian menegaskan bahwa pendidikan punya daya transformatif ke dalam batin manusia. “Pendidikan Penghidup Jiwa,” kata sebuah tagline yang dirumuskan dengan terang oleh kawan-kawan di Al-Kautsar Pelita Insani.
Beriman, beramal saleh, dan jadi pemakmur bumi merupakan perkara saling mengunci dan terkait dalam “jiwa yang hidup.” Amal saleh terkait fitrah dan kejati-dirian atau hal spesifik yang khas dari setiap orang. Amal saleh itu butuh mendarat di ruang dan waktu. Maka, semua orang butuh untuk mengenali lingkup semesta di sekitar dirinya. Fakta-fakta spasial terkait geografi di tempat seseorang tumbuh, lokasi sungai, gunung, dan apa yang harus ditumbuhkan (produksi), apa yang harus dikreasikan, apa yang harus ditransformasi dan diubah, serta ke mana arah transformasi dan perubahan tersebut; kesemua hal tersebut terkait konsep tata wilayah dan politik.
Di sini, Politik tentu tidak dalam pengertian sempit. Jika merujuk kepada asal mula katanya ‘politeia’ dan ‘polis’ (dalam bahasa Yunani), maka politik merupakan cara orang untuk mengatur dimensi ruang dan dimensi personal (individual maupun sosial) agar semuanya mencapai kebahagiaan tertinggi atau eudaimonia. Kebahagian puncak ini terkait kebahagiaan jiwa dan spiritual. Hal ini sebangun dengan tujuan bernegara yang ditandaskan dan dipondasikan dalam arah konstitusi bangsa ini.
Geopolitik yang merujuk kepada politik berdasarkan fakta geografis ini jadinya penting sekali. Hal ini soal mengenal geografi atau jati diri lingkungan. Maka, dia mesti dibangun dan ditanam kuat-kuat di dunia pendidikan, karena orientasi kewilayahan ini akan mengorientasi kepada tindak amal (untuk memakmurkan bumi dan wilayah) seorang manusia beriman.
* * *
Beberapa bulan lalu, seorang kawan di Kemendikbud meminta saya untuk memberikan masukan terkait beberpa konsep yang akan menjadi presentasi seorang dirjen: Bagaimana merumuskan pendidikan berbasis etnik. Tarikan saya tentu saja tak terlepas dari aras pengalaman personal. Saya menariknya dari konsep-konsep geopolitik dan kewilayahan. Sesuatu yang tak terhindarkan.
Pun dalam dunia profesional, saya tidak bisa melepaskan diri dari visi tersebut.
PT Tech-Mayantara Asia (TMA), saya mendirikannya pada 6 Agustus 2010. Dalam momen tahunan, biasanya saya akan bertanya kepada para karyawan perihal makna dan lambang dari TMA. TMA berlambang tiga bulatan merah, dengan nama “Asia” di dalamnya yang semestinya banyak orang sudah bisa menebak ke mana arahnya. Titik bulatan merah dengan sebutan Asia mengorientasikan sebuah kebangkitan 3 kekuatan: Indonesia, China dan India. Saat itu, China belum sekuat era kini. Namun, bacaan saya atas peristiwa-peristiwa geopolitik pada masa itu menyiratkan sebuah trend akan kebangkitan tiga negara tersebut.
Trend Asia-pasifik yang diikuti dengan berdirinya BRICS pada tahun 2010 turut merumuskan gagasan pendirian perusahaan. Tech merupakan Teknologi, sedangkan Mayantara adalah Maya-Antara yang merupakan terjemahan dari cyberspace. Asia merupakan nama geografis yang menandaskan orientasi kewilayahan di sana.
Kita tahu bahwa BRCIS merupakan persekutuan kekuatan besar yang sedang tumbuh kala itu, yakni: Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa. Sayangnya, Indonesia tidak masuk ke dalamnya. Sebelumnya, namanya masih BRIC yang rumusannya dibangun pada 16 Juni 2009. Waktu itu, Afrika Selatan belum masuk di dalamnya. Negara tersebut baru bergabung pada 24 Desember 2010.
Pendirian BRIC dan orientasi pertumbuhan ke Asia-Pasifik mempengaruhi saya dalam membaca arah dan membangun visi tentang Indonesia, Asia, teknologi, dan kebangkitannya. Saya memandang dan berharap bahwa tiga kekuatan besar Asia ini mesti duduk dalam sebuah kerjasama yang seimbang, punya karakter yang khas masing-masing, tidak saling berkompetisi dan memangsa, serta harus duduk dalam sebuah relasi yang adil dan bermartabat. Jadilah sebuah logo dan nama perusahaan yang mengandung visi tersebut. Namanya juga visi, mesti sangat jauh ke depan.
Satu lagi wadah di jalur porfesional yang saya dan kawan-kawan dirikan: Prabatech yang merupakan kependekan dari Praba Teknologi Nusantara. Kata Nusantara menjadi penanda “geografis”. Ada orientasi kewilayahan juga di sana. Praba bermakna harfiah: cahaya. Sebuah mimpi agar cahaya iman bisa menerangi Nusantara dengan media teknologi.
Dalam jalur pemberdayaan masyarakat, saya dan kawan-kawan juga mendirikan Yayasan Walungan. Nama yang masih terkait geografi dan kewilayahan. Lembaga ini sejatinya menyiratkan konsep penataan wilayah yang lebih praktikal. Walungan ini dalam Bahasa Sunda bermakna sungai. Dia merujuk kepada sebuah konsep penataan wilayah dan pembangunan berbasis DAS, khususnya terkait dengan penataan air (tata tirta).
* * *
Suatu hari, beberapa bulan lalu, seorang kawan semasa mahasiswa mengunjungi saya di apartemen sewaan di bilangan Jakarta Selatan. Dia merupakan kawan yang sangat cerdas dan berstatus sebagai konsultan di beberapa kementerian dan lembaga tinggi negara. Kebetulan, saat itu, saya sedang menggarap sebuah konsep dan turunannya tentang cara mengukur capaian dan kinerja badan negara. Dia antusias dengan apa yang saya kerjakan, dan tentu saja mengajak kerjasama. Dia lalu menyusun secara detil roadmap kerjasamanya dengan begitu bersemangat. Saya memegang visi dan aspek praktikal di aras teknologinya, dia memiliki relasi kuat dan konsep yang baik di aspek manajerial.
Semangat dan kata-katanya demikian berapi-api, seolah negeri dan jalannya negara berada dalam genggamannya. Saya sendiri belum begitu antusias lantaran banyak pertimbangan dan sekian hal yang belum tercerna dengan baik. Agak memaksa, dia membawa dokumen kerjasama, berikut konsep bagi hasil revenue dan kepemilikan. Saya diam sambil sedikit bergumam kepadanya, “hidup manusia teramat singkat, mimpi dan angan-angan melambung tinggi, tapi apa kita yakin ini semua yang Tuhan inginkan? Ridhokah Dia kepada kita? Lantas bagaimana kita meletakkan akhirat?”
Dia tercekat dan diam, saya pun hening. Sering saya mengingatkan diri sendiri, bahwa anggapan kita sebagai pemakmur bumi yang kaitannya dengan rumusan strategis, arah, dan konsep yang dikembangkan, membuat kita seolah sedang ada di jalur yang benar, yakni “sedang membangun.” Namun, apakah kita pernah bertanya secuil saja, apakah kita benar-benar sedang memakmurkan bumi? Apakah kita tidak sedang merusaknya, seperti yang sering disitir dalam Kitab Suci? Saking butanya kita dalam membaca apa yang Dia hendaki. Ini prinsip tauhid.
Setelah sekian lama, dia berkomentar membenarkan, “Betul, bahkan kerusakan-kerusakan negeri ini kebanyakan berasal dari anggapan bahwa para teknokrat dan para perumus pembangunan meyakini bahwa apa yang mereka kerjakan itu demi negeri, demi kebaikan, dan demi masyarakat.”
Hening berlanjut, sampai dia pamit kemudian.
Setelah pertemuan itu, takdir usianya tidak lama. Beberapa bulan kemudian, dia meninggal dunia serta mewariskan segudang konsep dan roadmap yang hendak dia jalankan, serta konsep dokumen yang masih belum disepakati dan ditandatangani. Ah, hidup memang singkat. Vita Brevis.
Salahkah jika visi “pemakmuran” punya cita-cita dalam membangun bangsa dan negeri?
Menurut hemat saya, tidak salah jika diletakkan dalam konsep “iman,” visi akhirat, dan tauhid sebagai pandangan dunia seorang muslim sebagai prinsip hidup yang tak bisa ditawar. Konsep geopolitik: pemakmuran bumi, negeri, dan bangsa diletakkan sebagai subset visi keimanan di atasnya. Hidup begitu singkat, amal saleh akan panjang dan abadi: Ars longa, vita brevis.
Tulisan ini sebagai pengingat saya pribadi, di era saat ruh dan visi seakan tidak penting dan tercampakkan, karena tak terlihat kasat mata. Orang-orang lebih memandang yang tampak, yang indrawi, yang mewujud singkat dan cepat, yang mendesak hari ini. Dan tulisan ini juga sebagai wujud sebuah doa yang dilisankan, semoga ‘iman yang hakiki’ Dia kuatkan, berikut ‘ruh visi’ yang terarah dan menjadi petunjuk, Dia tanamkan dan alirkan dalam setiap langkah dan tindakan. Amin ya rabbal ‘alamiin.***
Author Profile
- Ketua Walungan. Meraih gelar sarjana dari jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Tertarik pada bidang sosial-budaya, isu-isu lingkungan dan pembangunan wilayah.
Latest entries
- Perspektif21 February 2022Ilmu Sosial Profetik: Refleksi atas Keluhuran Masyarakat Nusantara
- Perspektif18 January 2022Sayang Ka’ak: Menyusuri Pemetaan Modern, Mengurai Tata Kelola Wilayah
- Perspektif5 January 2022Membangun Paradigma
- Perspektif27 December 2021Yunus dan Grameen di Negeri Bencana