Tata Kandang Ayam Kampung Berbasis Sirkular Ekonomi

Ayam Kampung dan maggot Black Soldier Fly (BSF) bisa menjadi salah satu solusi bagi sampah organik dapur (SOD) di perkotaan. Dalam dua tahun terakhir ini, Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan mencoba beternak ayam kampung pedaging dengan memanfaatkan SOD hotel dan restoran untuk kebutuhan pakannya dengan pendekatan Sirkular Ekonomi. Meskipun demikian, konsep tersebut harus ditunjang dengan tata kandang ayam kampung pedaging yang baik agar bisa mengoptimalkan pertumbuhan ternak, efisiensi pakan, menekan stress pada ternak, serta mencegah penyebaran penyakit menular.

Saat ini, Walungan mengembangkan ayam kampung dengan sistem kandang intensif. Disebut demikian, karena setiap ayam ditempatkan di kandang terpisah sesuai dengan usia pertumbuhannya. Setidaknya, ada empat tujuan penerapan sistem kandang ini. Pertama, memberikan lingkungan terbaik bagi ternak berupa suhu, ruang gerak, cahaya, dan pakan sesuai dengan usianya. Kedua, meminimalisir kompetisi dan agresi berlebihan dalam ekosistem ternak. Bagaimana pun, perbedaan usia ternak bisa membuat ayam yang lebih besar mendominasi perolehan pakan dibandingkan dengan ayam yang lebih kecil.

Ketiga, memudahkan pemantauan pertumbuhan dan kesehatan ternak. Sistem ini memungkinkan pencegahan penyebaran penyakit kepada ternak yang lebih rentan, misalnya ayam yang usianya lebih muda. Ayam yang pertumbuhannya terhambat atau terjangkit penyakit bisa segera terpantau dan dipisahkan dengan lebih cepat. Setelah satu siklus panen selesai, sistem kandang intensif juga memungkinkan pengosongan kandang untuk pembersihan dan disinfeksi.

Terakhir, meningkatkan kualitas daging yang lebih optimal. Bagaimana pun, sistem ini memungkinkan peternak memberikan pakan yang sesuai dengan usia ternaknya, sehingga nutrisi ayam relatif terpantau. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas daging ayam yang lebih optimal.

Syarif Azis, Manajer Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan, membagi sistem kandang intensif ke dalam tujuh kelompok. Pertama, Kandang Indukan yang berisi ayam kampung yang siap kawin dan bertelur. Umumnya, kandang ini relatif terbuka dan terbuat dari bilah-bilah bambu dengan tinggi 100 Centimeter serta luas minimal sekitar 150 x 150 Centimeter. Bagian atasnya terbuat dari atap yang mampu melindunginya dari hujan dan panas. Sedangkan bagian bawahnya terbuat dari susunan bilah bambu yang agak rapat. Namun, tak jarang para peternak membuat kandang indukan di tanah berpasir atau beralaskan sekam. Hal ini memberikan kesempatan untuk induk ayam bergerak secara leluasa, sehingga bisa meminimalisir stress.

Dalam satu kandang, terdapat satu ayam jantan dan lima betina. Rasio ini diharapkan mampu menjaga produksi telur yang berkualitas setiap harinya. Oleh karena itu, kandang indukan biasanya dilengkapi dengan wadah penampung jerami sebagai tempat ayam-ayam betina menaruh telurnya. Telur-telur ini kemudian ditetaskan dengan menggunakan mesin penetasan selama 20 hari. Di dalam mesin penetasan, telur dihangatkan dengan suhu antara 37,5-38 derajat Celcius.

Kedua adalah Kandang DOC (Day Old Chick) yang berisi ayam berusia 0-7 hari yang masih berbulu halus dan membutuhkan kehangatan. Kandang ini dibuat secara tertutup lengkap dengan lampu untuk menjaga suhu tetap hangat di dalam kandang. Tingkat kepadatan ayam di kandang ini sekitar 40-50 ekor per meter persegi. Ayam kampung ini diberikan pakan berupa jagung dan gabah yang telah digiling halus serta dicampur dengan pakan lainnya sehingga kandungan protein dari keseluruhan pakan mencapai sekitar 20 persen.

Ketiga adalah Kandang Starter Awal yang berisi ayam berusia 7-21 hari. Pada fase ini, umumnya ayam-ayam kampung mulai tumbuh tinggi dengan bulu kasar yang mulai tumbuh di sebagian besar tubuhnya. Ayam pada fase ini mulai aktif bergerak, sehingga tingkat kepadatannya perlu dikurangi hingga 30-40 ekor per meter persegi. Meskipun demikian, kandang tetap harus tertutup rapat dengan suhu yang relatif hangat dan terjaga. Adapun pakan pada ayam fase ini mulai dicampur dengan SOD dengan rasio antara SOD, jagung giling, dan konsentrat adalah 18:1:1.

Keempat adalah Kandang Starter Lanjutan yang berisi ayam berusia 3-5 pekan. Pada fase ini, ayam mulai lebih aktif dan berkembang lebih pesat. Oleh karena itu, kepadatan ayam kampung pada kandang ini perlu dikurangi hingga sekitar 25-30 ekor per meter persegi. Kandang pun dibuat lebih terbuka dengan tetap memperhatikan suhu di dalam kandang yang hangat dan terjaga. Adapun pakan ayam pada fase ini berupa SOD yang dicampur dengan maggot BSF dengan perbandingan 3:2.

Kelima adalah Kandang Grower Awal yang berisi ayam kampung berusia 5-7 pekan. Ayam kampung pada fase ini mulai tampak lebih besar serta memperlihatkan perbedaan jantan dan betina. Oleh karena itu, kepadatan ayam kampung di kandang ini perlu diperkecil hingga 15-20 ekor per meter persegi. Kandang pun dibuat lebih terbuka karena ayam pada fase ini relatif tahan terhadap suhu dan cuaca yang dingin. Fokus pada tahapan ini adalah pertumbuhan daging yang lebih cepat dibandingkan kelompok kandang sebelumnya. Hal ini membuat pemberian pakan SOD dan maggot BSF pada ayam fase ini relatif lebih banyak dibandingkan fase sebelumnya.

Keenam adalah Kandang Grower Lanjutan yang berisi ayam kampung berusia 7-9 pekan. Pada fase ini, ayam kampung relatif sudah besar dan mulai mencapai ukuran panen, sekitar 800-900 gram per ayam kampung hidup. Tingkat kepadatan ayam perlu diperkecil hingga 10-15 ekor per meter persegi untuk meningkatkan aktivitas fisik.

Ketujuh adalah Kandang Finisher untuk ayam kampung yang siap panen pada usia 9-10 pekan. Ayam kampung pada fase ini diharapkan memiliki bobot minimal satu kilogram per ayam hidup. Tingkat kepadatan ayam pun relatif lebih kecil, yakni mencapai 8-12 ekor per meter persegi. Hal ini ditujukan untuk menjaga asupan pakan agar berat badan ayam kampung sesuai ketika waktu panen tiba.

Dalam konteks sirkular ekonomi, sebagian besar kandang ayam kampung ditata di atas biopond manggot BSF. Hal ini ditujukan untuk menekan limbah yang dihasilkan dari peternakan ayam kampung. Penempatan biopond maggot di bawah kandang ayam memungkinkan maggot BSF mengkonsumsi kotoran ayam dan sisa pakan SOD. Salah satu kelebihannya, maggot BSF yang diberikan campuran kotoran ayam berukuran dua kali lebih besar dibandingkan maggot yang hanya memakan sampah sayuran dan buah.

Penempatan biopond maggot BSF di bawah kandang ayam kampung bisa dilakukan sejak Kandang Starter Lanjutan, ketika ayam kampung berusia sekitar 21 hari. Pada fase tersebut, ayam sudah mulai besar dengan daya tahan tubuh yang jauh lebih kuat, sehingga kandangnya relatif terbuka. Selain itu, asupan makanan pun relatif banyak, sehingga kuantitas kotoran ayam yang keluar relatif mencukupi untuk pakan maggot BSF.***

Author Profile

Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar
Pengkaji Media for Community Development. Pernah belajar di Jurnalistik STIKOM Bandung. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang pengembangan dan manajemen media online.

Post a comment

Discover more from Walungan

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading