Sore itu, hujan baru saja menjejakkan kaki di Kampung Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang. Kabut yang pekat memilih bertengger di puncak Gunung Bukit Tunggul, alih-alih turun menuju perkampungan di kaki gunung. Cahaya matahari dengan malu-malu menutupi teriknya di balik awan. Warga Pasir Angling memilih untuk keluar rumah sambil berusaha menggugurkan kejenuhannya sore itu.
Pun demikian dengan Aji yang memilih melangkahkan kaki ke pekarangannya. Di tangannya, sejumput sisa makanan memenuhi wadah kecil yang bertengger di tangan kanannya. Tak sampai belasan langkah, sisa makanan tersebut dilemparkannya ke lahan datar yang dipagari bilah bambu. Seketika, lima itik serati berebutan melahap sisa makanan berbentuk sampah organik dapur tersebut. “Entog (itik serati) itu cocok hidup di dataran tinggi,” tutur Aji, mendobrak pemahaman awam.
Itik serati sendiri bukan hewan yang umum diternakkan di Pasir Angling dan dataran tinggi lainnya di Indonesia. Namun, Aji membudidayakan jenis bebek yang satu ini sebagai bagian dari tani pekarangan di lingkungan rumahnya. Bagaimana pun, itik serati sangat kemaruk dalam melahap sampah organik dapur di rumahnya. “Saya perlu bekas nasi dari empat keluarga (untuk pakan itik),” ungkap kakek dua cucu ini.
Selain berasal dari dapur, Aji juga kerap menyuguhkan sampah organik dari sayuran yang ditanam di pekarangannya. Di lahan seluas sekitar 10 tumbak (140 meter persegi), dia menanam berbagai jenis sayuran. Sebagian sayuran dipetiknya untuk kebutuhan keluarga. Sebagian besar sisanya, dia jual untuk menambah pemasukkan keluarga.
Di samping sayuran, ketua Karang Taruna RW 16 Pasir Angling ini melengkapi lahannya dengan tanaman obat dan bunga-bungaan di sela-sela petak sayuran. Tanaman obat sendiri berperan sebagai apotik hidup yang menyediakan nutrisi tambahan guna menunjang kesehatan anggota keluarganya. Aji banyak menanam tumbuhan rempah-rempahan sebagai bahan baku obat tradisional, seperti: jahe dan kunyit. Adapun tanaman bunga berperan untuk menarik serangga yang bermanfaat bagi tanaman, serta menjauhkan hewan kecil yang berpotensi menularkan penyakit bagi tumbuhan di pekarangan.
Melengkapi tani pekarangan di halaman rumahnya, Aji turut memelihara kelinci. Urin kelinci kerap ditampungnya untuk diolah menjadi pupuk tanaman. Bagaimana pun, menurut Aji, urin hewan mamalia yang satu ini tinggi unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman di pekarangannya. Bila persediaan pasokan urin kelinci berlebih, maka biasa Aji jual seharga 50 ribu Rupiah per tong. “Lumayan nambah-nambah uang untuk keluarga,” tuturnya.
Pamor Tani Pekarangan sendiri mulai merangkak naik di wilayah perkotaan dalam satu dekade terakhir ini. Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, meluncurkan program Buruan SAE (Sabibilulungan Asri dan Ekonomis) pada tahun 2018. Program ini sebagai inisiatif untuk mendorong pertanian di area perkotaan sekaligus ketahanan pangan lokal bagi masyarakat kota Bandung. Di dalamnya, masyarakat diharapkan mampu menghasilkan pangan berdasarkan tujuh aktivitas, yaitu: budidaya ikan, budidaya sayur, proses pengomposan, budidaya ternak unggas, pembibitan, tanaman obat keluarga (toga), serta budidaya buah.
Program Buruan SAE ini memiliki semboyan Sehat, Alami, dan Ekonomis. Sehat sendiri merujuk kepada pangan yang dikelola mandiri secara langsung, sehingga terjaga dari unsur kimia yang berbahaya bagi tubuh dan lingkungan. Adapun Alami bermakna bahwa pangan ini berasal dari alam dengan memanfaatkan media tanam, pupuk, serta pestisida alami. Sedangkan Ekonomis ditujukan sebagai harapan bahwa pangan yang dihasilkan bisa dikonsumsi mandiri atau dijual dalam jumlah mikro.
Buruan sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sunda yang bermakna pekarangan. Dalam catatannya, Riki Frediansyah, ketua harian Walungan Bhakti Nagari, memaparkan bahwa pekarangan merupakan lahan yang berada di halaman rumah, baik di belakang maupun depan. Masyarakat Sunda kerap menggunakan pekarangan sebagai tempat bersosialisasi dengan warga lainnya. Umumnya, mereka memanfaatkan pekarangan pada waktu senggang selepas bekerja, bertani, beternak, dan aktivitas fisik lainnya untuk berdiskusi, berbincang-bincang, hingga mencicipi kudapan ringan. Hal ini selaras dengan makna Pekarangan dalam bahasa Indonesia, yaitu tempat bagi munculnya buah pikiran.
Selain sebagai tempat berkumpul, lanjut Riki, masyarakat Sunda kerap memanfaatkan lahan kosong pekarangan untuk bertanam tumbuhan untuk kebutuhan rumah tangga dan hewan ternak kecil dalam skala kecil dengan perawatan yang relatif ringan, seperti yang Aji contohkan. Tumbuhan yang ditanam biasanya berupa rempah-rempahan yang mudah ditanam dengan ukuran yang relatif kecil. Biasanya, tumbuh-tumbuhan ini digunakan untuk kebutuhan dapur dan pengobatan herbal keluarga. Sedangkan hewan ternak kecil berperan untuk menyantap sisa makanan dan sampah organik dapur. Ketika sudah cukup matang usianya, hewan ternak ini biasa disantap sebagai penambah protein keluarga. Khusus jenis unggas, hewan ternak yang satu ini juga biasa diambil telurnya untuk dikonsumsi oleh keluarga.
Selaras dengan konsep Tani Pekarangan tersebut, Organisasi Pertanian dan Makanan (Food and Agriculture Organization – FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut merumuskan perkebunan keluarga (family farming) yang merujuk kepada kegiatan pertanian yang dijalankan oleh keluarga mulai dari skala kecil hingga besar dengan berbagai jenis produksi, mulai dari tanaman pangan, holtikultura, peternakan, dan perikanan hingga kehutanan.
Lebih lanjut, FAO menyebutkan setidaknya ada empat manfaat dari perkebunan keluarga, yaitu: keamanan pangan dalam konteks lokal dan nasional, pembangunan ekonomi bagi keluarga petani dan masyarakat sekitarnya, keberlanjutan lingkungan dengan menjaga kesuburan tanah dan melestarikan keanekaragaman hayati, serta keberlanjutan sosial dalam konteks tradisi dan budaya lokal. Sedangkan bentuk pertanian keluarga, di antaranya: pertanian tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri dan pasar lokal, holtikultura untuk konsumsi lokal dan penjualan, peternakan dalam skala kecil hingga menengah, perikanan dalam kolam buatan maupun perairan alami, serta kehutanan dengan produk kayu dan non-kayu.
Secara metode, FAO menggariskan tiga metode dalam pertanian keluarga, yaitu: pertanian terpadu yang menggabungkan berbagai jenis produksi pertanian dalam satu sistem yang saling mendukung, pengelolaan sumber daya alam berbasis praktik konservasi untuk menjaga kesuburan tanah dan keberlanjutan lingkungan, serta agroekologi yang menerapkan prinsip ekologi untuk menciptakan sistem pertanian yang sehat dan produktif.
Tani pekarangan merupakan salah satu kearifan lokal di Nusantara, khususnya masyarakat Sunda. Sejak lama, masyarakat Nusantara memanfaatkan tani pekarangan untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri karena ditunjang dengan luasnya lahan pekarangan. Namun, seiring perkembangan zaman, lahan yang sempit menjadi tantangan tersendiri bagi tani pekarangan, khususnya di masyarakat perkotaan. Lalu, bagaimana konsep ini benar-benar bisa menunjang ketahanan pangan secara lokal bagi masyarakat Nusantara? Tentunya, hal ini membutuhkan riset lebih mendalam, khususnya dalam konteks penataan wilayah dan lingkungan di Indonesia.***
Author Profile
- Pengkaji Media for Community Development. Pernah belajar di Jurnalistik STIKOM Bandung. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang pengembangan dan manajemen media online.
Latest entries
- Catatan1 October 2024Menengok Tani Pekarangan dalam Kacamata Lokal, Nasional, dan Internasional
- Kabar1 July 2024Walungan Mulai Kembangkan Perangkat Instrumentasi Pertanian Presisi
- Kabar22 June 2024Berbagi Cinta dan Kasih dalam Prosesi Ibadah Kurban 1445H di Pasir Angling
- Catatan16 June 2024Angin Puting Beliung, Si Mikro-Tornado Khas Nusantara