Bandung Raya terletak di atas cekungan besar akibat hasil erupsi Gunung api Sunda Purba dan dikelilingi oleh dataran tinggi Gunung api aktif di Utara hingga Selatan. Cekungan Bandung memiliki luas area sebesar 2.300 km2 yang meliputi empat kabupaten, yaitu: Kota Bandung, Bandung Barat, Cimahi, dan Sumedang.
Berdasarkan data BPS pada 2010 sampai tahun 2019, jumlah penduduk Kota Bandung mencapai 8.735.932 jiwa dengan kepadatan penduduk berkisar 8240.27 jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan industri di Bandung Raya menyebabkan Cekungan Bandung mengalami perubahan, baik dari permukaan hingga bawah permukaan akibat ekstraksi air tanah yang dibutuhkan untuk kehidupan dan operasi industri.
Beberapa kajian penurunan muka tanah telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu Abidin, dkk. (2013) dan Gumilar dkk. (2015) yang mengatakan bahwa terjadi penurunan permukaan tanah pada daerah Dayeuhkolot, Gedebage, Rancaekek, Majalaya, dan Cimahi sebesar 8 hingga 17 Cm per tahun dari tahun 2000 hingga 2011 menggunakan pengamatan GPS dan metode InSAR. Dampak yang terjadi akibat penurunan muka tanah terlihat dari kerusakan pada infrastruktur berupa retakan di jalan, jalan tol, jembatan bangunan bahkan terjadinya kemiringan pada bangunan. Adapun area yang mengalami dampak kerusakan akibat penurnan muka tanah terjadi pada wilayah Gedebage, Dayeuh Kolot dan Selatan Cimahi.
Abidin, dkk. (2009 & 2013) dan Gumilar dkk. (2015) mengatakan bahwa penurunan muka tanah diakibatkan olek ekstraksi air tanah berlebih yang menyebabkan terjadinya konsolidasi pada tanah alluvium. Berdasarkan data ekstraksi air tanah Bandung Raya yang dikeluarkan oleh Badan Geologi Indonesia, terjadi peningkatan ekstraksi air tanah dari tahun 1990 hingga tahun 2008 dari akuifer dalam 100 meter. Kenaikan volume ekstraksi air tanah dari tahun 1990 hingga tahun 2008 selaras dengan terjadinya kenaikan jumlah sumur air tanah yang digali. Kenaikkan jumlah sumur air tanah linier diakibatkan oleh kenaikkan jumlah penduduk dan meningkatnya industri di Bandung Raya.
Penelitian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan pengamatan jarak jauh berdasarkan citra satelit SAR. Adapun metode yang digunakan adalah SBAS InSAR (Small Baseline interferometry Synthethic Aperture Radar), yaitu deret waktu untuk mengamati perubahan permukaan tanah secara temporal. Sedangkan resolusi spasial yang dihasilkan menggunakan metode ini berkisar 100 x 100 meter dengan interval waktu berkisar 6 hari.
Pemrosesan metode ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak dari COMET – LiCS yaitu LiCSBAS. LiCSBAS merupakan perangkat lunak berbasis Bash dan Python yang terintegrasi dengan web portal COMET. Pemrosesan InSAR deret waktu membutuhkan perangkat keras dengan spesifikasi tinggi dan waktu yang lama dikarenakan citra satelit memiliki memori yang besar. Namun, perangkat LiCSBAS mampu mengefisiensikan pemrosesan data InSAR deret waktu lebih efisien dikarenakan terintegrasi dengan perangkat LiCSAR yang telah memproses citra satelit SAR menjadi interferogram.
Keunggulan metode ini adalah mengamati perubahan permukaan tanah secara temporal dengan interval 6 hari secara jarak jauh dan mampu menghasilkan perubahan permukaan tanah dengan ketelitian millimeter. Selain itu, perangkat LiCSBAS melakukan koreksi atmosfer pada citra fase interferogram untuk mempertajam informasi fase deformasi permukaan pada citra interferogram. Hasil InSAR deret waktu dari perangkat LiCSBAS merepresentasikan laju perubahan permukaan tanah dalam domain Line of Sight. Line of Sight menunjukkan perubahan permukaan tanah relatif terhadap arah pengamatan dari orbit citra yang digunakan.
Adapun data yang digunakan untuk menganalisis perubahan permukaan tanah pada area Cekungan Bandung dilakukan pada tahun 2014 hingga tahun 2022 dengan total citra interferogram yang digunakan sebanyak 740 buah dengan interval antar citra minimal 6 hari dan maksimal 12 hari (Gambar 3.a). Hasil yang diperoleh dari pemrosesan InSAR deret waktu menggunakan perangkat LiCSBAS dapat terlihat pada Gambar 3.b yang merepresentasikan laju perubahan permukaan tanah dengan satuan mm/tahun. Warna biru menunjukkan perubahan permukaan dalam nilai negatif yang diinterpretasikan sebagai penurunan permukaan tanah, sedangkan warna merah menandakan kenaikan permukaan tanah.
Hasil menunjukkan bahwa terjadi penurunan permukaan tanah pada bagian selatan Bandung Raya, yaitu: Margaasih, Ketapang, Baleendah, Bojongsoang, hingga Rancaekek dengan laju perubahan permukaan berkisar 40 hingga 100 mm/tahun. Adapun pada area pengamatan yang berlokasi di area perumahan Kiara Sari Asri yang terletak di Margasari, Buah Batu, menunjukkan terjadinya penurunan permukaan tanah hingga 600 mm (60 cm) dari tahun 2014 hingga 2022. Penurunan muka air tanah ini diduga dikarenakan ekstraksi air tanah berlebih di area Bandung Selatan dengan dugaan kedalaman akuifer intermediate hingga dalam.
Bagaimana mengaitkan perubahan permukaan tanah dengan ekstraksi air tanah berlebih? Secara umum, air tanah menempati pori-pori batuan di bawah permukaan. Ketika ada aktivitas pengambilan air tanah, pori-pori pada batuan mengalami kekosongan, sehingga beban pada permukaan menyebabkan terjadinya kompaksi pada batuan akuifer dan menyebabkan penurunan pada muka tanah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Delinom dan Suridarma (2010), zona resapan untuk Cekungan Bandung dibagi menjadi dua bagian, yaitu pegunungan bagian utara menjadi resapan bagi akuifer dangkal hingga intermedian 40 – 100 meter, sedangkan pegunungan selatan menjadi area resapan bagi akuifer dalam > 100 meter (Gambar 4). Cekungan Bandung bagian selatan yang mengalami penurunan muka tanah diduga akibat jauhnya area resapan akuifer dangkal hingga intermediate, sehingga ekstraksi air tanah pada kedalaman < 100 meter dapat menyebabkan terjadinya kompaksi pada batuan akuifer dan penurunan permukaan tanah.
Referensi:
- Gumilar, I., Abidin, H. Z., Hutasoit, L. M., Hakim, D. M., Sidiq, T. P., & Andreas, H. (2015). Land Subsidence in Bandung Basin and its Possible Caused Factors. Procedia Earth and Planetary Science, 12, 47–62. https://doi.org/10.1016/j.proeps.2015.03.026
- Abidin, H. Z., Gumilar, I., Andreas, H., Murdohardono, D., & Fukuda, Y. (2013). On causes and impacts of land subsidence in Bandung Basin, Indonesia. Environmental Earth Sciences, 68(6), 1545–1553. https://doi.org/10.1007/s12665-012-1848-z
- Delinom, R. M., & Suriadarma, A. (2010). Groundwater Flow System Of Bandung Basin Based On Hydraulic Head, Subsurface Temperature, And Stable Isotopes. Jurnal RISET Geologi Dan Pertambangan, 19(2), 55. https://doi.org/10.14203/risetgeotam2010.v20.34
- Delinom, R. M. (2009). Structural geology controls on groundwater flow: Lembang fault case study, West Java, Indonesia. Hydrogeology Journal, 17(4), 1011–1023. https://doi.org/10.1007/s10040-009-0453-z
- Morishita, Y. (2021). Nationwide urban ground deformation monitoring in Japan using Sentinel-1 LiCSAR products and LiCSBAS. Progress in Earth and Planetary Science, 8(1). https://doi.org/10.1186/s40645-020-00402-7
- Morishita, Y., Lazecky, M., Wright, T. J., Weiss, J. R., Elliott, J. R., & Hooper, A. (2020). LiCSBAS : An Open-Source InSAR Time Series Analysis Package Integrated with the LiCSAR Automated Sentinel-1 InSAR Processor. 5–8.
Lazecky, M. (2020). LiCSAR: An Automatic InSAR Tool for Measuring and Monitoring Tectonic and Volcanic Activity. Remote Sensing, 12(15), 1–27. https://doi.org/10.20944/preprints202005.0520.v1
Author Profile
- Periset Walungan di bidang Geologi dan air tanah. Meraih gelar Magister Teknik dari Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung pada tahun 2016. Dia terdaftar sebagai dosen tetap di program studi Teknik Geofisika Institut Teknologi Sumatera, Bandar Lampung, Sumatera Selatan. Saat ini, sedang menjalani studi doktoral di Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung.
Latest entries
- Akademik4 February 2023Deformasi Permukaan Tanah di Cekungan Bandung