Bagaimana Sosiologi Memandang Desa dalam Konteks Masyarakat Indonesia?

Pertanyaan pada judul tersebut sebenarnya cukup sulit dijawab.

Harus diakui bahwa sosiologi tidak memiliki kerangka pemikiran ‘yang pas’ untuk menjelaskan desa. Sebabnya sederhana. Pada mulanya, sosiologi bertujuan untuk menyelidiki masyarakat modern, termasuk penjelasannya tentang perubahan sosial masyarakat Barat yang dihasilkan dari transisi mode ekonomi. Barangkali kita bisa berangkat dari pemahaman yang umum terkait cara memandang Sosiologi terhadap desa.

Secara garis besar, menurut penyelenggaraan kehidupannya, desa dibagi menjadi dua, yaitu desa administratif dan desa adat. Desa administratif lahir dari tata aturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Melalui undang-undang ini, desa diakui oleh negara sebagai suatu wilayah kesatuan hukum yang berada pada tingkat pemerintahan terendah yang dipimpin oleh seorang camat untuk menjalankan rumah tangga desa.

Pembagian ini juga digunakan oleh beberapa kementerian dalam mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat di kawasan perdesaan, di antaranya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT)
serta Kementerian Sosial melalui Dirjen Komunitas Adat Terpencil. Dalam pandangan Kementerian Desa PDTT, desa-desa di Indonesia mesti berkembang secara linier dengan jalannya pemerintahan di Indonesia. Hal ini membuat kementerian tersebut mengklasifikasi desa dalam tiga bagian, yaitu: Desa Swadaya, Desa Swakarya, dan Desa Swasembada. Pembagian ketiganya dirunut berdasarkan keterisoliran lokasi, karakter mata pencaharian masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan penggunaan teknologi.

Sementara itu, Dirjen Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial fokus melihat desa sebagai komunitas adat terpencil sebagai bagian dari desa ‘tradisional’, sehingga perlu dibina dan diberi ‘penghidupan yang layak’ agar komunitas adat tersebut dapat menyelenggarakan kehidupannya menurut cara-cara yang sudah berkembang pada masyarakat modern. Meskipun demikian, peraturan baru dalam bentuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 sudah sedikit ‘ramah’ terhadap ke-otonom-an desa, baik itu desa adat maupun desa administratif.

Cara pandang negara terhadap desa ini menunjukkan bahwa konteks peraturan menentukan definisi tentang desa. Hal ini juga berlaku pada masa pemerintah Hindia Belanda. Kala itu, desa diartikan sebagai kesatuan wilayah yang patuh terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Dalam kurun waktu tersebut, desa tidak mengalami penyeragaman istilah maupun bentuk administrasi. Pada saat itu, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan sistem pemerintahan kepada masing-masing pemimpin wilayah berdasarkan hukum adat setempat yang berlaku. Hal ini berlaku pula dalam penggunaan nama ‘desa’ yang beragam di setiap daerah, seperti istilah ‘Nagari’ untuk daerah Minangkabau, Desa yang menunjuk persekutuan masyarakat asli Jawa, ataupun ‘Marga’ yang menamai wilayah bekas karesidenan Palembang.

Literatur berikut ini mungkin dapat mendeskripsikan tentang struktur sosial masyarakat pedesaan. Pertama, studi Gunawan (2013) mengenai perubahan struktur sosial pedesaan di Bali. Seperti desa adat pada umumnya, desa di Bali memiliki sebuah konsep dasar berjuluk Tri Hita Karana sebagai sumber nilai utama dan perangkat hukum adat yang menjadi landasan keberadaan desa. Konsep dasar ini bertujuan untuk mengurusi kehidupan dan mengatur kelembagaan masyarakat. Pada praktiknya, Tri Hita Karana menjadi bagian masyarakat Bali dalam dimensi material maupun spiritual yang mengatur hubungan manusia dengan Hyang Widi Wasa, hubungan manusia dengan wilayah tempat tinggal dan alam sekitarnya, dan hubungan sesama manusia. Perubahan pada institusi desa di Bali memunculkan struktur ganda yang bersifat dualitas (non-dikotomis) terhadap dinamika politik dan situasi ekonomi. Hal ini disebabkan karena konsep dasar telah memandu tindakan sosial masyarakat Bali dalam merespon perubahan zaman.

Sementara itu, pemikiran Tjondronegoro dan Sajogyo sama-sama berpokok kepada isu agraria sebagai sentral dari pembahasan pembangunan desa berbasis pertanian. Pemikirannya banyak membahas tentang struktur relasi penguasaan agraria yang menunjukkan tentang pola relasi masyarakat desa yang diatur melalui sistem kepemilikan dan akses penguasaan lahan.

Bisa dikatakan, kedua pemikiran ini mewakili arah kajian mainstream sosiologi perdesaan di Indonesia. Tentunya, hal ini menjadi tantangan untuk merumuskan kembali sosiologi pedesaan khas Indonesia, terutama terkait kejatidirian masyarakat Indonesia, khususnya yang berbasis pedesaan.

Di luar negeri, sosiologi perdesaan pada ranah akademis sudah berkembang, tetapi hanya menekankan kepentingan praktis. Munculnya sosiologi perdesaan terkait dengan pendirian jurnal Rural Sociology di Amerika. Oleh karena itu, kepentingan sosiologi perdesaan ditujukan untuk mengembangkan penelitian lapangan dan pengajaran. Alhasil, desa hanya dimaknai sebagai lokus pertemuan antara beragam isu penelitian dan kebijakan. Fokusnya hanya dominan kepada pengkajian implikasi urbanisasi, modernisasi, dan perkembangan ekonomi yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan desa. Apabila dirangkum dengan perspektif ini, maka desa hanya diartikan sebagai komunitas perdesaan dengan masyarakatnya yang hidup secara komunal (kelembagaan yang khas), terikat dalam satu wilayah tertentu, memiliki identitas yang cenderung homogen, dan mata pencahariannya kurang terspesialisasi.[]

Author Profile

Rahmalia Rifandini, S.Sos.
Rahmalia Rifandini, S.Sos.Periset Sosial
Staf Kesekretariatan & Humas Walungan. Periset Sosiologi Pedesaan. Meraih gelar Sarjana dari jurusan Sosiologi Universitas Indonesia pada tahun 2018. Sedang menempuh pendidikan Magister Sosiologi di perguruan tinggi yang sama.

Post a comment