Awal tahun 2024, beberapa wilayah di Indonesia diwarnai dengan peristiwa Angin Puting Beliung. Fenomena alam ini ditandai dengan angin yang bertiup kencang dan membentuk pusaran di salah satu titiknya. Segala benda yang dilewati pusaran angin ini akan tersedot ke atas dan terlempar jauh dari pusat pusaran. Kejadian ini kerap merusak pepohonan, menghancurkan atap rumah, bahkan menewaskan orang-orang yang berada di dekatnya.
Meskipun jarang terjadi, tetapi peristiwa Puting Beliung termasuk fenomena yang berdampak besar bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi mereka yang tinggal di kepulauan Nusantara untuk memahaminya. Paparan berikut disarikan dari wawancaran dengan Sonni Setiawan, M.Si., pakar Meteorologi di Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor (IPB).
Angin Puting Beliung lahir dari kondisi wilayah yang dinaungi oleh awan Supercell dengan skala Meso. Awan dengan skala ini memiliki diameter hingga ratusan Kilometer. Meskipun demikian, kondisi ini belum tentu menghadirkan fenomena Puting Beliung. Perlu satu faktor utama lainnya, yaitu angin.
Secara umum, angin terdiri dari dua jenis berdasarkan arah geraknya, yaitu: angin horizontal (wind shear) dan angin naik vertikal (updraft). Angin horizontal bergerak dalam bidang datar dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Arah dan kecepatan angin horizontal ini bisa berbeda antara satu jenjang dengan jenjang lainnya, tergantung ketinggiannya masing-masing. Bahkan, arah gerak angin bisa berbeda dan saling berlawanan arah antara angin yang berada di sekitar dataran dan di ketinggian. Misalnya, angin di sekitar dataran bergerak dari arah barat ke timur, sedangkan angin di area yang lebih tinggi bergerak sebaliknya: dari timur ke barat. Perbedaan arah gerak lapisan angin horizontal ini membentuk putaran angin secara horizontal.
Adapun angin naik vertikal bergerak dari bawah ke atas. Pergerakan angin ini disebabkan oleh udara panas dan lembab di permukaan yang naik dengan cepat ke atmosfer yang lebih tinggi ketika terjadinya badai petir. Kebalikan dari angin naik vertikal adalah angin turun vertikal (downdraft) yang bergerak turun dari ketinggian ke sekitaran daratan.
Pada fenomena Angin Puting Beliung, terjadi pertemuan antara angin horizontal dan angin naik vertikal. Angin naik vertikal memiringkan pusaran angin horizontal tersebut dan mengubahnya menjadi pusaran angin vertikal. Dalam peristiwa tersebut, kekuatan pusaran angin horizontal bersifat tetap dan tidak berubah sama sekali. Hanya saja, ketinggian angin horizontal tersebut berubah yang tadinya berputar di daratan dan atmosfir menjadi berputar di tingkat atmosfir semata. Pun terjadi perubahan arah gerak pada dua sisi yang saling berseberangan dari yang semula bergerak atas dan bawah menjadi searah mata angin. Dengan demikian, arah gerak angin horizontal ini berubah yang tadinya berkeliling dengan pusatnya di sebuah titik di antara permukaan bumi dan atmosfir, menjadi berkeliling dengan pusat di sebuah titik di atmosfir.
Fenomena pertemuan angin horizontal dan angin naik vertikal dapat dimodelkan dalam perangkat Giroskop. Perangkat ini merupakan gabungan dua buah roda yang memiliki tingkat kemiringan yang berbeda satu sama lain. Satu roda dimiringkan secara datar di permukaan bawahnya, sedangkan satu roda lainnya ditempatkan secara tegak di atasnya. Roda yang berada di atas bisa diubah tingkat kemiringannya dari tegak menjadi datar, dan kebalikannya.
Fenomena perubahan arah pusaran angin tersebut digambarkan dengan roda yang tegak di bagian atas diputar dengan kecepatan momentum sudut tertentu. Ketika roda tegak tersebut diubah tingkat kemiringannya menjadi horizontal, maka roda di bawahnya turut berputar ke arah yang sama dengan perputaran roda di atasnya. Hal yang sama akan berlaku ketika roda atas tersebut ditegakkan kembali dan dimiringkan ke arah sebaliknya hingga tingkat kemiringannya menjadi horizontal kembali. Pada fenomena ini, kecepatan dan arah momentum sudut pusaran roda di atasnya bersifat tetap, meskipun arahnya berlainan.
Hal yang sama juga terjadi ketika adanya perubahan kemiringan angin horizontal akibat pertemuan dengan angin naik vertikal. Kecepatan dan pergerakan arusnya relatif sama, meskipun tingkat kemiringannya berubah dari yang tadinya berpusat di titik di antara bumi dan atmosfir menjadi berpusat di sebuah titik di atmosfir.
Pada gilirannya, interaksi antara angin naik vertikal dan angin horizontal yang bertemu dengan awan Meso menyebabkan perputaran awan badai yang mengarah pada pembentukan Angin Puting Beliung. Di dalam badai petir tersebut, terjadi juga aliran udara vertikal yang turun dan membawa udara dingin. Aliran udara yang cukup kuat ini berjuluk downdraft dan terjadi bersebelahan dengan angin naik vertikal (updraft).
Interaksi antara updraft dan downdraft yang erat ini memperkuat rotasi dalam awan meso berjuluk Siklon Meso, sehingga rotasi geraknya turun ke permukaan bumi. Dalam kondisi yang tepat, siklon Meso yang kuat dan fokus menyebabkan terbentuknya Awan Funnel. Awan ini berbentuk corong yang muncul dari awan badai dan alirannya menjulur hingga ke permukaan tanah. Ketika mencapai permukaan tanah, maka terjadilah Angin Puting Beliung dengan kecepatan yang sangat tinggi dan berpotensi untuk menyebabkan kerusakan yang signifikan di area yang dilewatinya.
Keberadaan fenomena Angin Puting Beliung pun tidak harus terjadi di permukaan bumi yang datar. Pada 28 Maret 2021, tercatat terjadi angin puting beliung di area sekitar daerah Caringin Tilu, Desa Mekar Saluyu, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Wilayah ini merupakan punggungan bukit di sekitar Patahan Lembang yang dekat dengan area wisata Bukit Dermaga Bintang. Secara topografi wilayah, area ini berada di ketinggian sekitar 1.100 meter serta terdiri dari lembah dan bukit dengan jarak yang cukup rapat.
Tornado dan Puting Beliung
Prinsip pembentukan Angin Puting Beliung memiliki kesamaan dengan Tornado di daratan benua Amerika bagian utara. Namun, karena perbedaan iklim di masing-masing lokasi, skala dan durasi berlangsungnya Tornado lebih besar dan lama dibandingkan Angin Puting Beliung. Besarnya skala angin Tornado ini disebabkan oleh fenomena jetstream yang bergerak dengan kecepatan sekitar 250 Kilometer per jam di iklim subtropis.
Skala intensitas angin tornado berdasarkan dampaknya ini dikenal sebagai Skala Fujita atau Skala Fujita-Pearson. Setelah disempurnakan pada tahun 2007, terdapat enam ukuran skala Fujita dari F0 hingga F5. Kecepatan angin pada Skala F0 berkisar 105-137 Kilometer per jam. Dampak yang terjadi berupa kerusakan ringan dalam bentuk cabang pohon yang patah, papan iklan dan sebagian atap rumah yang rusak. Adapun Skala F5 memiliki kecepatan angin lebih dari 322 Kilometer per jam dengan tingkat kerusakan yang luar biasa berupa bangunan besar yang hancur, mobil-mobil terlempar jauh, serta kerusakan struktural berat pada bangunan bertingkat tinggi.
Adapun Angin Puting Beliung memiliki kecepatan di bawah F0. Pun durasi fenomena Angin Puting Beliung relatif singkat, hanya beberapa menit saja. Hal ini sangat berbeda dengan Tornado yang durasi terjadinya bisa mencapai 24 jam. Selain itu, skala gerak Tornado relatif jauh, hingga puluhan Kilometer. Hal ini berbeda dengan Angin Puting Beliung yang skala geraknya hanya beberapa Kilometer. Dengan demikian, Angin Puting Beliung bisa juga disebut sebagai mikro-tornado.
Merespon Angin Puting Beliung
Angin Puting Beliung merupakan “tornado” khas wilayah beriklim tropis di Indonesia. Fenomena ini kerap terjadi pada saat perubahan cuaca dari musim penghujan ke kemarau. Pada waktu tersebut, uap air sebagai bahan pembentukan awan relatif banyak. Selain itu, matahari sedang berada di wilayah tropis karena sedang beralih dari selatan ke utara. Momen ini membuat udara di wilayah tropis mendapatkan pemanasan yang luar biasa dibandingkan area sub-tropis. Hal ini membuat udara lebih ringan dan mudah naik ke atmosfir, sehingga terjadi kondensasi air yang diikuti dengan pembentukan awan super sel. Bila awan jenis ini bertemu dengan angin horizontal dan vertikal, maka besar kemungkinannya terjadi fenomena Angin Puting Beliung.
Meskipun peristiwa Angin Puting Beliung sulit untuk diprediksi, tetapi kita bisa menekan dampak kerusakannya. Salah satunya dengan menghadirkan objek-objek yang relatif tinggi dan bergaya gesek kuat, seperti pohon. Gedung-gedung tinggi pun relatif mampu menghambat pergeseran angin di permukaan.***