Dinginnya pagi khas Lembang perlahan memudar diterpa sinaran mentari yang mulai menanjak dari puncak pegunungan Bandung Utara. Pendaran sang surya mulai mengisi hamparan perkebunan sayuran yang membentang di antara lembah dan perbukitan. Biasanya, masyarakat Pasir Angling berbondong-bondong memenuhi ladang dan menorehkan cangkulnya di atas permukaan tanah. Namun, hari itu, sebagian besar penduduk memilih untuk berkumpul di sebuah kandang domba di tengah-tengah Desa Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Tak lupa, berbagai perkakas yang tajam dan beraneka ukuran turut mereka sandangkan di tangannya masing-masing.
Hari itu, Rabu, 19 Juni 2024 merupakan Hari Tasyrik kedua dalam bilangan kalender hijriah tahun 1445. Dengan penuh semangat dan kekhidmatan, mereka bersiap untuk menyembelih 28 ekor domba dan satu sapi sebagai bagian dari perayaan Idul Adha 1445H. Meskipun tampak biasa, tetapi aktivitas yang satu ini termasuk yang istimewa bagi masyarakat Pasir Angling dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Anda, Ketua RW 07 Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang, menyebutkan bahwa tradisi berkurban secara bersama-sama merupakan hal yang baru di Pasir Angling. Sebelumnya, masyarakat memilih untuk memotong hewan kurbannya sendiri-sendiri. Namun, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, masyarakat mulai bersama-sama melaksanakan penyembelihan hewan kurban di masjid pada hari raya Idul Adha. “Atas nama pribadi dan pengurus RW serta tokoh masyarakat, saya mengucapkan terima kasih,” ungkapnya.
Ungkapan terima kasih pun disampaikan oleh Ustadz Aji Pujiono, ketua Dewan Keluarga Masjid Al-Musyawarah Pasir Angling. Beliau menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat dan semua pihak yang membantu aktivitas berkurban di Pasir Angling. Bagaimana pun, lanjut Pujiono, masyarakat yang mengeluarkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk aktivitas berkurban ini pun termasuk mereka yang melaksanakan kurban, meskipun tidak mengurbankan hewan kurban.
Pujiono menasihati bahwa Allah ta’ala menerima ketakwaan orang-orang yang berkurban, dan bukan menerima daging dan darah hewan. “Semoga, kurban kita semua diterima oleh Allah ta’ala,” ungkapnya penuh harap.
Dalam kesempatan tersebut, Riki Ferdiansyah, Ketua Harian Walungan Bhakti Nagari, menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat yang telah meluangkan waktunya untuk melaksanakan kurban di Pasir Angling. Padahal, dalam kesehariannya, mereka harus pergi ke pasar dan kebun sebagai bagian dari rutinitas hariannya masing-masing.
Lebih lanjut, Riki menyampaikan bahwa selayaknya kita mengurbankan sesuatu yang kita cintai dan sayangi. Hal ini seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as yang mengurbankan anak yang dicintai dan disayanginya, Ismail as. Dalam praktiknya, masyarakat pun diajak untuk mengurbankan hal-hal yang dicintai dan disayanginya, termasuk waktu, tenaga, dan pikirannya. Hal inilah yang kemudian diwujudkan dalam aktivitas berkurban di Pasir Angling. “Semoga, langkah kita dicatat sebagai Amal Shalih oleh Allah ta’ala,” tutur Riki.
Berlandaskan Cinta dan Kasih
Aktivitas penyembelihan hewan kurban Walungan bersama masyarakat Pasir Angling sendiri diselenggarakan di Rumah Potong Hewan Mikro (RPH Mikro) Pasir Angling. Di dalamnya, Riki memastikan bahwa seluruh proses pemotongan hewan kurban dilandasi dengan rasa cinta dan kasih, terutama kepada domba dan sapi yang dikurbankan.
Rasa cinta dan kasih tersebut diwujudkan dalam alur pemotongan dan pemrosesan daging. Selama masih hidup dan bernafas, para hewan kurban dijauhkan dari nuansa darah dan daging. Sebisa mungkin, hewan kurban ditempatkan jauh dari tempat penyembelihan. Bahkan, mereka diupayakan untuk tidak melihat darah setetes pun. Dalam hal ini, tempat penyembelihan ditutupi secara penuh agar tidak terlihat oleh hewan kurbannya.
Ketika proses penyembelihan, hewan kurban dituntun dengan santun. Kemudian, mereka dipeluk sebelum digulingkan dan ditempatkan di tempat penyembelihan. Sebelum proses penyembelihan dimulai, hewan kurban pun diusap-usap terlebih dahulu hingga tenang. Lalu, sang penyembelih melantunkan doa terlebih dahulu yang isinya memohon Allah ta’ala untuk melancarkan proses penyembelihan dan membuat sang hewan ridho untuk disembelih. Setelahnya, barulah pisau menyayat leher dalam satu tarikan.
Terkait pisau ini, bapak dua anak ini menjelaskan bahwa pisau harus sangat tajam. Dalam bahasa Arab, tajamnya pisau ini seakar kata dengan kata Sakinah yang bermakna ketenangan. Dengan demikian, ketajaman pisau akan membawa ketenangan kepada hewan kurban yang disembelih. Oleh karena itu, Riki bersama tim penyembelihan berusaha mengasah pisau setajam mungkin hingga mampu menyayat sesuatu yang sehalus kertas dengan rapih.
Secara mikro, lulusan kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menjelaskan bahwa pisau yang tajam akan mengiris secara halus. Sebaliknya, pisau tumpul justru akan merobek permukaan kulit, sehingga membuat hewan berkontraksi dan merasa kesakitan. Rasa sakit sendiri, menurut Riki, akan menahan laju darah ke luar dari tubuh hewan kurban. Kondisi ini akan menahan banyak hormon di organ tubuh, sehingga membuat kualitas daging hewan pun buruk dan cenderung bau.
Dalam proses penyembelihannya, Riki menjabarkan cinta dan kasih dengan mensyaratkan para penyembelih untuk memotong tiga saluran sekaligus dalam satu kali sayatan, yaitu: kerongkongan yang merupakan saluran nafas, tenggorokan yang merupakan saluran makanan, serta vena dan arteri yang merupakan saluran darah. Hal ini bisa dicapai dengan melakukan sayatan penyembelihan sejauh setengah lingkaran leher hewan kurban.
Adapun posisi titik penyembelihan terbaik adalah tiga jari di bawah jakun untuk domba dan lima jari di bawah jakun untuk sapi. Menurut Riki, titik penyembelihan yang terlalu jauh dari posisi terbaik bisa menyumbat keluarnya darah, sehingga bisa memperlama proses kematian hewan kurban dan menyakitinya serta memperburuk kualitas dagingnya. Sebaliknya, titik penyembelihan yang tepat mampu memutus vena dan arteri hewan yang mengalirkan darah ke otak. Ketika aliran darah ke otak terhenti, maka rasa sakit hewan kurban pun hilang.
Setelah proses penyembelihan selesai, pisau harus dalam kondisi tetap tajam. Oleh karena itu, Riki dan tim selalu membasuh pisau tersebut dengan air panas setiap selesai menyembelih satu hewan kurban. Perlakuan ini ditujukan untuk menghilangkan darah dan lemak dari pisau, sehingga ketajaman pisau relatif terjaga. Bagaimana pun, darah dan lemak yang menempel di pisau akan menumpulkan pisau dan menyakiti hewan kurban.
Proses pengulitan dan pemotongan dimulai ketika hewan sudah berhenti bergerak dan benar-benar mati. Dalam hal ini, seorang pengolah daging harus benar-benar halus memperlakukan hewan yang dikulitinya. Pisau yang digunakan harus tajam dan menguliti hewan secara perlahan serta tidak terburu-buru.
Pada akhirnya, prosesi pemotongan dan pengolahan hewan kurban ditujukan untuk diberikan kepada masyarakat. Tentunya, daging yang diolah dengan rasa cinta dan kasih pun merepresentasikan rasa yang sama kepada masyarakat. Dengan kata lain, para panitia kurban turut berbagi cinta dan kasih kepada masyarakat yang lebih luas dengan mempersembahkan pekerjaan terbaik yang sepenuh hati untuk mengolah hewan kurban.***