Mengenal Sistem Kalender di Bumi dan Perannya bagi Kehidupan Manusia

Tahun 2023 telah berakhir, dan 2024 baru saja menapaki hari-hari pertamanya. Pergantian tahun ini menjadi bagian dari kehidupan manusia di bumi. Meskipun tampak biasa dan bagian dari kebiasaan, tetapi penanggalan dan siklus pergantian tahun merupakan bagian dari penelusuran manusia terhadap matahari dan bulan serta kaitannya dengan kehidupan di bumi.

Sebagai penghuni bumi, manusia menggunakan fenomena benda langit sebagai tolak ukur penentuan waktu. Dimulai dari pergantian hari, bulan, sampai tahun. Lalu, bagaimana sistem penanggalan tersebut terbentuk? Apa tujuan pembuatan penanggalan tersebut? Dan bagaimana manusia menggunakannya dalam kehidupannya sehari-hari? Berikut ini uraian tentang sistem kalender berbasis matahari dan bulan berdasarkan pemaparan Dr. rer. nat. Mochamad Ikbal Arifyanto, S.Si., M.Sc. kepada Walungan.

Bumi sendiri merupakan planet ketiga di sistem tata surya yang beranggotakan delapan planet dengan matahari sebagai pusat tata surya. Planet-planet tersebut mengelilingi matahari dalam kurun waktu yang berbeda-beda, tergantung dari jaraknya dengan matahari serta ukuran masing-masing planet. Kebanyakan planet anggota tata surya memiliki satelit. Bumi sendiri memiliki satelit berjuluk Bulan.

Secara sederhana, tata surya bisa didefinisikan dengan memahami hubungan antara Matahari dan planet anggotanya, khususnya Bumi. Matahari sendiri memiliki ukuran radius sekitar 700 ribu Kilometer, atau diameter sekitar 1,4 juta Kilometer. Adapun bumi memiliki ukuran radius sekitar enam ribu Kilometer, atau diameter sekitar 12 ribu Kilometer. Dengan kata lain, ukuran matahari seratus kali lipat lebih besar dibandingkan bumi. Hanya saja, jarak keduanya yang mencapai 150 juta Kilometer membuat matahari tampak seperti bulatan yang bercahaya di langit bumi. Sedangkan ukuran bulan sekitar sepertiga ukuran bumi, dengan jarak keduanya sekitar 384 ribu Kilometer. Karena jaraknya lebih dekat dengan bumi, ukuran bulan tampak setara dengan ukuran matahari di langit bumi.

Setiap anggota tata surya berputar sesuai dengan orbit atau garis edarnya. Bumi sendiri berputar di sumbunya sebagai penanda satu hari bagi manusia di dalamnya. Putaran ini disebut sebagai Periode Rotasi dan berlangsung selama 23 jam 56 menit 4 detik.

Sebagai anggota tata surya, bumi tunduk terhadap tarikan gravitasi matahari sebagai pusatnya. Bumi berputar mengelilingi matahari selama satu tahun lamanya. Siklus perputaran ini disebut sebagai Evolusi yang berlangsung sekitar 365,2422518 hari. Masyarakat di bumi memanfaatkan siklus ini sebagai sistem penanda waktu berdasarkan matahari yang dikenal sebagai Kalender Solar, atau juga Kalender Syamsiah. Sistem ini digunakan oleh kebanyakan manusia di bumi pada saat ini.

Adapun pembagian bulan menjadi 12 bulan merujuk kepada pembagian bulan bangsa Babilonia. Mereka membagi masa di antara satu Evolusi bumi terhadap matahari berdasarkan 12 rasi bintang yang tampak di langit selama satu tahun. Berdasarkan perhitungan tersebut, durasi satu bulan dalam kalender matahari adalah 30,4 hari. Jumlah hari tersebut dibulatkan, sehingga durasi satu bulan menjadi antara 30 dan 31 hari.

Siklus Evolusi sendiri memiliki dampak yang besar terhadap kondisi alam di permukaan bumi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, posisi Bumi tidak tegak lurus terhadap bidang ekliptika matahari, melainkan memiliki kemiringan sekitar 23,5 derajat. Tingkat kemiringan ini menyebabkan perbedaan paparan sinar matahari di permukaan bumi yang mengakibatkan perubahan musim di Planet Biru tersebut dalam jangka waktu satu tahun.

Bahkan, wilayah subtropis di utara dan selatan bumi mengalami empat musim. Sebagai ilustrasi, ketika matahari lebih banyak menerpa sisi utara bumi, maka wilayah tersebut akan menerima cahaya matahari lebih banyak dibandingkan bagian selatan. Akibatnya, di wilayah tersebut terjadi musim panas, dan di bagian lainnya menerima musim dingin. Hal sebaliknya terjadi ketika matahari lebih lama menerpa sisi selatan bumi. Fenomena ini disebut sebagai Ekskursi atau Titik Balik dan terjadi pada bulan Juni untuk Ekskursi Utara dan bulan Desember untuk Ekskursi Selatan.

Ada kalanya, matahari menyinari permukaan bumi utara, tengah, dan selatan dengan intensitas yang merata. Posisi ini disebut Ekuinoks dan terjadi sebanyak dua kali setiap tahunnya pada bulan Maret dan September. Fenomena Ekuinoks pada bulan Maret menyebabkan terjadinya musim semi di belahan bumi utara, dan musim gugur di belahan bumi selatan. Hal sebaliknya akan berlaku ketika fenomena Ekuinoks terjadi pada bulan September setiap tahunnya.

Kedua, orbit bumi mengelilingi matahari dalam satu tahun berbentuk elips. Artinya, jarak antara bumi dan matahari bisa berbeda-beda setiap bulannya. Hal ini berdampak terhadap kecepatan rotasi bumi, serta intensitas radiasi matahari yang diterima di permukaan bumi. Semakin dekat jaraknya ke matahari, maka intensitas radiasi matahari di permukaan bumi akan semakin banyak. Pada saat yang sama, pergerakan rotasi bumi juga lebih cepat dibandingkan waktu lainnya. Umumnya, jarak terdekat bumi ke matahari terjadi pada bulan Januari dan Februari.

Sebaliknya, semakin jauh jarak bumi ke matahari, maka intensitas radiasi matahari semakin sedikit. Selain itu, pergerakan rotasi bumi juga lebih lambat dibandingkan waktu lainnya. Umumnya, jarak terjauh bumi ke matahari ini terjadi pada bulan Oktober dan November setiap tahunnya.

Manusia menggunakan kalender matahari untuk menandai peristiwa alam yang penting dan berdampak besar di permukaan bumi, khususnya musim. Pengetahuan ini membantu manusia untuk menentukan masa tanam dan panen, juga perubahan arah angin untuk menentukan arah pelayaran di laut.

Selain matahari, manusia juga menggunakan satelit bumi sebagai patokan penanggalan. Sesuai namanya, kalender jenis ini memanfaatkan siklus perputaran Bulan dalam mengelilingi Bumi selama 29,53 hari. Sebagai pembulatan, satu bulan bisa berdurasi 29 atau 30 hari. Dalam satu tahun setara dengan 12 kali siklus bulan mengelilingi bumi, yakni sekitar 354,36 hari. Sistem penanggalan ini disebut sebagai Kalender Hijriah, atau juga Kalender Lunar. Sistem ini banyak digunakan sebagai penanda aktivitas keagamaan, termasuk Islam.

Sistem penanggalan bulan sendiri lebih mudah diamati oleh mata manusia. Bulan sendiri bersinar karena adanya pantulan cahaya matahari ke permukaan bulan. Pantulan cahaya ini berbeda-beda setiap harinya, tergantung luas permukaan yang memantulkan cahaya. Awal bulan sendiri ditandai dengan fase bulan baru. Pada titik ini, pantulan cahaya matahari ke permukaan bulan sangat tipis. Hal ini disebabkan posisi bulan yang berada di antara bumi dan matahari, sehingga cahaya matahari hanya terpantul di permukaan bulan terujung.

Semakin lama, pantulan cahaya matahari di permukaan bulan akan semakin meluas. Hal ini disebabkan posisi bulan yang bergerak mengelilingi bumi berlawanan arah jarum jam, sehingga permukaan yang menghadap ke bumi bisa menerima cahaya matahari lebih banyak. Puncaknya, posisi bulan berada di belakang matahari yang menyebabkannya berada pada fase purnama. Pada titik ini, seluruh permukaan bulan yang menghadap ke bumi memantulkan cahaya matahari. Pada titik ini pula kerap terjadi Gerhana Bulan. Fenomena ini terjadi ketika matahari, bumi, dan bulan berada pada garis yang lurus, sehingga cahaya matahari terhalang oleh bumi dan tidak bisa memantul secara sempurna di permukaan bulan.

Selepas fase purnama, bulan akan bergerak menuju posisinya di antara bumi dan matahari. Semakin lama, permukaan yang memantulkan cahaya matahari akan semakin menyempit, hingga hilang ketika berada di antara bumi dan matahari. Pada posisi ini, kerap terjadi fenomena gerhana matahari yang disebabkan oleh terhalangnya paparan cahaya matahari ke permukaan bumi oleh bulan. Pada titik ini, bulan memasuki siklus berikutnya dan mengawali fase bulan baru.

Lingkaran orbit bulan terhadap bumi sendiri berbentuk bulat agak lonjong. Hal ini membuat besaran bulan di langit malam bisa berubah-rubah dalam kurun waktu tahunan. Selain itu, kemiringan bulan terhadap bidang ekliptika bumi pun sekitar 5,2 derajat. Hal ini menyebabkan posisi bulan akan tampak berpindah-pindah bila dipandang dari langit bumi.

Di samping kedua penanggalan tersebut, sebagian masyarakat melakukan penanggalan dengan menggabungkan peredaran matahari dan bulan. Sistem kalender berjuluk Luni-Solar ini menggunakan siklus Evolusi Bumi terhadap Matahari sebagai penanda waktu dalam satu tahun. Adapun penanda waktu dalam satu bulan menggunakan siklus Evolusi Bulan terhadap Bumi. Dengan demikian, pada setiap tiga tahun, Kalender Luni-Solar beranggotakan 13 bulan dalam satu tahun. Adapun pada dua tahun lainnya tetap terbagi menjadi 12 bulan per tahunnya.

Sistem Kalender Luni-Solar sendiri digunakan untuk menandai musim berdasarkan siklus Evolusi bumi terhadap matahari, sekaligus memudahkan penghitungan hari dalam satu bulan berdasarkan evolusi bulan terhadap bumi. Dengan kata lain, Kalender Luni-Solar memiliki konsistensi perhitungan musim sekaligus perhitungan ibadah. Saat ini, Kalender Luni-Solar digunakan oleh Tionghoa dan Yahudi. Kalender Saka juga menggunakan sistem Luni-Solar sebagai dasar perhitungannya.

Sistem ini juga pernah digunakan oleh masyarakat Arab sebelum Islam. Dulu, masyarakat Arab menandai awal musim gugur pada sekitar September dengan nama Muharam. Selanjutnya, bulan Shafar yang ditandai dengan mulai menguningnya dedaunan pada sekitar Oktober. Shafar sendiri berarti “Kuning” dalam bahasa Arab. Kemudian, memasuki musim gugur pada sekitar November dan Desember yang dinamai dengan Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul Akhir. Rabi’ sendiri bermakna musim gugur.

Musim dingin atau beku ditandai dengan awalan kata “Jumad” dalam bulan Jumadil Awwal dan Jumadil Akhir pada sekitar bulan Januari dan Februari. Selanjutnya, Rajab yang bermakna “Cair” menandai akhir musim dingin pada bulan Maret dengan salju yang mulai mencair. Pada bulan April, musim semi hadir dan masyarakat mulai turun ke lembah untuk bercocok tanam. Oleh karena itu, periode ini disebut sebagai Sya’ban yang berasal dari kata “Syi’b” yang berarti “Lembah”.

Pada bulan Mei, suhu di tanah Arab mulai membakar kulit, dan semakin meningkat suhunya pada bulan Juni. Periode ini dijuluki sebagai Ramadhan yang bermakna “Pembakaran”, dan bulan Syawwal yang bermakna “Peningkatan”. Puncak musim panas sendiri terjadi pada sekitar bulan Juli yang membuat masyarakat Arab lebih senang duduk di rumahnya daripada harus bepergian melewati padang tandus. Periode ini disebut sebagai Dzul-qa’idah yang berasal dari kata “Qa’id” yang bermakna “Duduk”. Selanjutnya, pada bulan Agustus, masyarakat Arab menunaikan ibadah haji yang merupakan warisan Ibrahim as. Oleh karena itu, bulan ini berjuluk Dzul-hijjah.

Karena berbasis Luni-solar, ada penambahan satu bulan setiap tiga tahun sekali pada sistem kalender masyarakat Arab pra-Islam. Namun, setelah kedatangan Islam, sistem tersebut berubah menjadi berbasiskan bulan. Hal ini berdasarkan QS. at-Taubah [9] ayat 36 yang menetapkan kembali bilangan bulan menjadi 12 bulan.***

Author Profile

Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar
Staf Kesekretariatan & Humas Walungan. Pengkaji Media for Community Development. Pernah belajar di Jurnalistik STIKOM Bandung. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang pengembangan dan manajemen media online.

Post a comment