Memahami Elnino dan Dipole Mode serta Pengaruhnya Terhadap Iklim di Indonesia

Pada pertengahan tahun ini, kemarau dengan cuaca panas yang relatif tinggi melanda seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, musim hujan pun tertunda beberapa bulan dari yang seharusnya. Fenomena ini berjuluk Elnino, dan dampaknya semakin terasa dalam waktu beberapa dekade terakhir.

Lalu, apa itu Elnino? Sejak kapan fenomena ini melanda Indonesia dan dunia? Lalu, bagaimana kita menghadapi peristiwa tersebut?

Sonni Setiawan, M.Si., Pakar Meteorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Insitut Pertanian Bogor, dalam wawancarannya dengan Walungan.org menjelaskan bahwa Elnino merupakan fenomena alam yang memperlihatkan interaksi antara laut dan atmosfir di kawasan tropis. Fenomena berjulukan lengkap Elnino and Southern Osilation (ENSO) ini terjadi hanya di wilayah kepulauan Nusantara; dan area utara Amerika Latin di wilayah Ekuador, Kolombia, Venezuela, Guyana, Suriname, Peru, dan Brasil. Kebalikan dari peristiwa Elnino adalah Lanina. Peristiwa serupa berjuluk Dipole Mode yang terjadi di area tengah Afrika di wilayah Somalia, Kenya, Kongo, dan Gabon.

Fenomena Elnino erat kaitannya dengan area lautan yang berada di wilayah tropis. Di antara ketiga daratan tropis tersebut, terdapat tiga samudera, yaitu: Samudera Hindia di antara wilayah Nusantara dan benua Afrika, Samudera Pasifik di antara Nusantara dan benua Amerika, serta Samudera Atlantik di antara Amerika dan Afrika. Ketiga samudera ini membentuk interaksi iklim dengan tiga area dataran di antaranya. Interaksi ini disebut dengan Sirkulasi Walker.

Sirkulasi Walker menggambarkan tentang interaksi iklim yang terjadi di tiga area samudera dan tiga benua tropis.

Secara sederhana, cahaya matahari akan memanaskan permukaan daratan di wilayah tropis. Arus panas ini kemudian akan naik ke lapisan atmosfir (up-draft) dan berbelok ke samudera dalam arah zonal, yakni: barat dan timur. Ketika arus panas ini mencapai lapisan atmosfir di atas lautan, arus tersebut akan turun (down-draft) dan berbelok kembali arah daratan di sekitar samudera.

Fenomena ini terjadi karena perbedaan kemampuan daratan dan lautan dalam menerima panas matahari. Area daratan sendiri lebih sedikit menerima panas dibandingkan lautan. Akibatnya, kelebihan panas matahari di atas daratan lebih banyak, sehingga mampu memuai lebih cepat dibandingkan area lautan. Penguapan inilah yang kemudian mampu menumbuhkan awan di daratan. Sedangkan wilayah lautan sendiri tidak terjadi pembentukan awan karena arus udara yang cenderung turun. Sirkulasi udara inilah yang kemudian disebut Sirkulasi Walker.

Fenomena Elnino atau ENSO sendiri merupakan peristiwa penghangatan permukaan laut di lautan tropis sebelah timur benua Amerika, sehingga menumbuhkan awan di sekitar wilayah Amerika Latin. Akibatnya, negara Brasil dan sekitarnya akan dilanda hujan yang cukup lebat. Sebaliknya, awan tidak terjadi di daratan Indonesia lantaran di wilayah Nusantara terjadi penurunan arus udara (down-draft). Peristiwa ini membuat langit Indonesia cerah dan terik, sehingga menyebabkan kekeringan di hampir seluruh wilayah.

Fenomena Elnino terjadi karena peristiwa penghangatan di Samudera Pasifik sebelah timur dan menyebabkan curah hujan yang melimpah di Benua Amerika. Sebaliknya, di Indonesia, Elnino ditandai dengan cuaca yang panas dan bersuhu relatif tinggi.

Sebaliknya, fenomena Lanina membuat permukaan laut di sekitar wilayah timur Indonesia memanas, sehingga terbentuk banyak awan di Kepulauan Nusantara. Hal ini membuat Indonesia dan negara di sekitarnya diguyur curah hujan yang cukup lebat. Di saat yang sama, wilayah Amerika Latin justru terpapar dengan kekeringan, karena tidak adanya awan yang tumbuh di atasnya.

Fenomena Lanina ditandai dengan penghangatan di bagian barat Samudera Pasifik yang menyebabkan curah hujan yang melimpah di wilayah Indonesia. Sebaliknya, di Benua Amerika terjadi cuaca panas dengan suhu udara yang relatif tinggi.

Serupa Elnino dan Lanina, ada juga fenomena Dipole Mode yang terjadi di Samudera Hindia di antara daratan Indonesia dan Afrika. Umumnya, fenomena ini berdampak besar di sebagian besar wilayah Sumatera. Perubahan musim ke arah hujan terjadi bila Dipole Mode negatif. Sebaliknya, bila Dipole Mode positif, maka wilayah Indonesia akan mengalami kekeringan, mirip dengan fenomena Elnino.

Menariknya, Elnino dan Lanina serta Dipole Mode terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang. Elnino dan Lanina sendiri melanda Indonesia antara empat sampai lima tahun sekali. Adapun Dipole Mode melanda Sumatera dalam rentang waktu tiga tahun sekali. Perbedaan puncak fenomena tersebut karena adanya pergerakan Gelombang Kelvin di lautan di wilayah tropis.

Pertemuan fenomena Lanina dan Dipole Mode Negatif menyebabkan curah hujan yang relatif tinggi di wilayah Indonesia.

Garis Khatulistiwa sendiri memiliki pergerakan angin permukaan yang berjuluk Angin Pasat. Angin ini bertiup dari wilayah utara dan selatan bumi yang keduanya berbelok ke arah barat di wilayah tropis. Arus udara panas yang naik ke atas (up-draft) akan dihembuskan ke arah barat oleh Angin Pasat. Adapun laut yang memanas akan memiliki tingkat permukaan yang lebih tinggi dibandingkan area lautan yang tidak terpanasi. Perbedaan tinggi ini disebabkan oleh penumpukan volume air akibat paparan cahaya matahari. Fenomena ini akan menyebabkan penyebaran arus laut ke arah utara dan selatan kemudian bergerak ke arah timur. Namun, pergerakan arus ini belum mampu menyebar secara merata, sehingga terjadi pergerakan gelombang laut di garis Khatulistiwa yang mengarah ke arah timur yang tingkat permukaan lautnya lebih rendah.

Pergerakan arus inilah yang dijuluki sebagai Gelombang Kelvin. Adapun kecepatan pergerakan gelombangnya bisa mencapai empat sampai lima tahun di Samudera Pasifik. Bila puncak Gelombang Kelvin tersebut terjadi di sekitar Nusantara, maka Indonesia mengalami Lanina yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi. Sebaliknya, bila puncak gelombang berada di sekitar Amerika Latin, maka Indonesia akan mengalami kekeringan yang cukup panjang.

Indonesia sendiri mengalami Elnino dengan tingkat paling parah pada tahun 1982. Tingkat keparahan ini disusul dengan Elnino pada tahun 2015 dan tahun 1997. Meskipun demikian, hal yang harus dipahami, bahwa peristiwa Elnino dan Lanina serta Dipole Mode sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, catatan tentang fenomena tersebut sudah ada sejak tahun 1500, ketika penjelajahan laut bangsa Eropa mulai memasuki wilayah Nusantara. Hanya saja, fenomena ini baru dipahami seiring perkembangan ilmu meteorologi yang baru intensif dikembangkan pada era perang dunia.

Ke depannya, Indonesia dan berbagai negara di dunia perlu lebih memperhatikan Elnino, Lanina, dan Dipole Mode dengan memetakan indeks fenomena tersebut lebih baik lagi. Selain itu, perlu membangun mitigasi bencana dan penataan wilayah yang lebih baik lagi, khususnya penataan kawasan hutan. Hal ini diharapkan bisa menekan dampak buruk dari fenomena iklim tersebut.***

Author Profile

Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar
Staf Kesekretariatan & Humas Walungan. Pengkaji Media for Community Development. Pernah belajar di Jurnalistik STIKOM Bandung. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang pengembangan dan manajemen media online.

Post a comment