Mengurai Jati Diri Wilayah dalam Pembangunan Desa Berbasis Pertanian dan Peternakan

Proses membangun desa berbasis peternakan dan pertanian membutuhkan kerja keras dan kecermatan para kepala desa dan masyarakatnya. Dalam konteks kecermatan, para penggerak desa harus mampu membangun desa berbasis jati diri wilayahnya. Jati diri ini terurai dalam empat tahapan kebidangan, yaitu: Ekologi, Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Demikian diskusi yang mengemuka kala Desa Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, menerima kunjungan 45 kepala desa dari Padang Lawas, Sumatera Utara, pada akhir September 2022 silam. Pada kesempatan tersebut, Riki Frediansyah mewakili Walungan diajak untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman tentang pembangunan pertanian dan peternakan di desa berbasis jati diri wilayah.

Lebih lanjut Riki menjelaskan bahwa penelusuran Ekologi bisa dimulai dengan mengenali tanaman dan ternak yang cocok dikembangkan di sebuah desa. Tentunya, masyarakat desa harus memperhatikan berbagai aspek alam, termasuk: ketinggian dataran, curah hujan, suhu, angin, jenis tanah, dan lain sebagainya.

Riki mencontohkan dengan tanaman kopi misalnya. Kopi Arabica tentunya lebih subur tumbuh di dataran tinggi yang dingin dibandingkan di dataran rendah dan dekat pantai yang bersuhu panas. Adapun pohon kelapa akan menghasilkan banyak buah bila ditanam di dataran rendah dibandingkan ditanami daerah pegunungan berdataran tinggi seperti Pasir Angling.

Tahap selanjutnya, para peserta diajak untuk menakar manfaat dan resiko tanaman dan ternak yang akan dikembangkannya. Bila resikonya lebih besar dibandingkan manfaatnya, sebaiknya tanaman dan ternak tersebut dicoret dari pilihan program. Sebaliknya, bila tanaman dan ternak tersebut dinilai lebih banyak manfaatnya, Riki mengajak para kepala desa untuk membuktikannya.

Ciri keberhasilan pembuktian tersebut terletak pada manfaatnya yang terasa oleh warga. Manfaat ini pun banyak aspeknya, mulai dari kemudahan untuk memeliharanya, biayanya yang terjangkau, resikonya yang minimalis, sampai hasil panen yang bisa diserap oleh petani dan peternaknya secara pribadi.

Terakhir, dalam konteks usaha tani-ternak, para kepala desa dan masyarakatnya harus mampu mendatangkan untung dari panen tanaman dan ternaknya. Para kepala desa harus mengupayakan agar komoditas di desanya bisa memenuhi kebutuhan pasar dengan harga yang baik. Dalam konteks ini, para kepala desa bisa mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk membangun aspek ekonomi.

Dalam kontes masyarakat Sunda, Riki memaparkan bahwa pembangunan aspek Ekologi dan Ekonomi tersebut dirumuskan ke dalam empat kata dalam Bahasa Sunda, yaitu: kahartos (tertakar dan terpahami), karaos (terasa manfaatnya), kabuktos (terbukti), janten artos (jadi uang).

Bila sudah mampu menggerakkan ekonomi, maka para kepala desa perlu membangun gerakannya di masyarakat secara sosial dan budaya. Misalnya saja, para pemuda yang enggan bertani dan beternak, diajak untuk melihat keberhasilan di bidang pertanian dan peternakan. Secara budaya pun bisa dibangun aktivitas yang lebih ramah lingkungan dan minim tenaga. Misalnya saja, kotoran hewannya bisa dijadikan pupuk berbentuk cair. Adapun proses penyemprotannya bisa menggunakan teknologi robot, sehingga para petani hanya perlu memantaunya dari jarak jauh.

Riki percaya bahwa keempat tahapan pembangunan desa tersebut bisa berhasil bila masyarakat melakukannya secara bertahap, tekun dalam jangka waktu yang cukup panjang, kerja keras untuk memberikan hasil yang terbaik, serta gotong royong untuk mencapai tujuan bersama. Setelahnya, semoga ekonomi desa bisa berkembang dengan kesejahteraan yang dicicipi bersama.***

Post a comment