Matahari baru saja hinggap di atas kepala di Kota Tasikmalaya siang itu. Namun, kondisi cuaca yang panas tersebut tidak menyurutkan tekad Syarif Azis untuk memberi makan kepada ayam-ayam peliharaannya di kandang. Aktivitas yang tampak biasa memang, tetapi cukup mengernyitkan dahi para peternak pada umumnya ketika mengetahui komposisi terbesar pakannya: sampah buah-buahan.
“Kami sedang mencoba formula baru untuk pakan ayam kampung,” papar penyandang gelar sarjana peternakan dari Universitas Padjadjaran Bandung ini. Dia mencampur sampah organik dengan dedak dan pelet. Komposisinya pun terbilang besar, yaitu: 60 persen sampah organik, 30 persen dedak, dan 10 persen pelet premium. Ayam-ayam kampung peliharaan Syarif pun makan dengan lahapnya.
Berbicara peternakan, perkara pakan memang memakan biaya yang cukup besar. Namun, Syarif sendiri melihat bahwa sampah organik ternyata menawarkan solusi atas tingginya pakan dalam peternakan ayam kampung. Dia mampu mereduksi harga pakan hingga 50 persen. Hasil lainnya, Syarif melihat bobot ayam pun meningkat di atas rata-rata pada umumnya. Pada usia sekitar 42 hari atau 6 pekan, rata-rata ayam kampung peliharaan Syarif memiliki bobot kisaran 600-700 gram. Hal ini cukup baik bila dibandingkan rata-rata bobot ayam kampung hasil penelusuran literaturnya yang hanya mencapai kisaran 450-500 gram pada usia yang sama.
Ke depan, Syarif menargetkan bahwa timnya mampu mengupayakan bahan baku yang tersedia di alam sebagai pakan ayam kampung. Pakan dedak akan digantikan dengan tepung magot secara bertahap. Konsentrat pun berusaha dia dan timnya kurangi dari 10 persen, kemudian jadi lima persen. “Mudah-mudahan bisa turun hingga nol persen,” ucapnya penuh harap.
Aktivitas Syarif ini merupakan rangkaian dari riset pengolahan sampah organik perkotaan. Sentral aktivitasnya berada di Pusat Riset Pengolahan Sampah Organik Walungan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Letaknya pun cukup strategis, yaitu bersebelahan dengan pasar induk terbesar di Kota Santri. Hal ini mempermudah Syarif dan timnya untuk memindahkan sampah organik dari area sayur-sayuran dan buah-buahan ke area pengolahan sampah.
Berbicara tentang sampah, pada tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa sampah terbanyak di masyarakat berjenis sampah organik, yaitu hingga 42,8 persen. Rumah tangga dan area pasar tradisional merupakan penyumbang sampah terbesar dengan besaran masing-masing 45,7 persen dan 22,7 persen. Limbah inilah yang coba Syarif sulap menjadi tantangan, peluang, dan bahkan berkah.
Lebih lanjut, bapak dua anak ini memaparkan bahwa riset pengolahan sampahnya fokus ke pengembangan larva Lalat Prajurit Hitam (Black Soldier Fly) sebagai mesin pengolah sampah organik. Menurutnya, larva berjuluk magot ini mampu mengkonsumsi sampah organik dengan ukuran besar dalam waktu cepat. Sebagai ilustrasi, satu Kilogram magot bisa menghabiskan 10 Kilogram sampah per hari. Dalam waktu 30 hari, jumlah magot yang sama mampu menghabiskan 300 Kilogram sampah organik.
Variasi sampah organiknya pun cukup luas. Syarif sendiri kerap menggunakan sampah buah-buahan, seperti: buah naga, semangka, dan pisang, serta sayur-sayuran, seperti: kol, tomat, kubis, wortel, dan brokoli. Buah-buahan sendiri relatif lebih mudah dikonsumsi oleh magot lantaran kondisinya sudah membusuk. Namun, khusus untuk sayuran, Syarif biasanya mencacahnya terlebih dahulu agar mampu dikonsumsi lebih baik oleh magot. Jumlah yang diolahnya pun mencapai 1,5 hingga 2 ton sampah organik. “Namun, jumlah tersebut belum maksimal,” paparnya.
Menurutnya, timnya masih terkendala masalah pengangkutan yang masih terbatas. Tantangan lainnya, pria kelahiran Tasik ini juga masih harus mempersiapkan rangkaian pengolahan magot dan hasil pengolahan sampahnya dalam jumlah yang besar. Dia masih harus berjuang untuk memisahkan magot yang sudah mulai memasuki fase pupa dari medianya lantaran alat pengolahan yang masih hanya untuk skala kecil.
Pada usia 40 hingga 45 hari, larva BSF sendiri akan berubah menjadi pupa untuk kemudian bertransformasi menjadi lalat beberapa hari kemudian. Pada fase ini, para peternak magot kerap memisahkannya dari sampah organik yang mulai menjadi kompos dan kasgot. Kompos dan kasgot merupakan produk sampingan budidaya magot. Kasgot sendiri merupakan kependekan dari Bekas Magot yang merupakan serpihan hasil residu sang larva. Media ini cukup subur dan baik sebagai pupuk bagi tanaman. Sedangkan kompos merupakan bagian residu yang lebih besar dari magot dan cocok sebagai campuran untuk bercocok tanam.
Dalam konteks sebagai pakan, magot BSF baru digunakan sebagai pakan ayam semata. Bila jumlah magotnya berlimpah, komposisi pakan pun diubah menjadi 20 persen magot, 40 persen sampah organik, serta 30 persen dedak dan 10 persen konsentrat. Ke depan, Syarif menargetkan untuk memperluas penyaluran magot ke ikan. Pasalnya, kebutuhan protein ikan lebih banyak dibandingkan ayam, sehingga ikan memadai untuk mengkonsumsi magot lebih banyak dibandingkan ayam.
Tantangan lainnya, Syarif masih harus menelusuri perkembangan magot yang sangat berkorelasi dengan cuaca dan iklim tempatnya berkembang biak. Perlu waktu memang, tetapi dirinya terus berjuang untuk mewujudkan mesin pengolah sampah alami tersebut yang mampu menyulap sampah menjadi berkah.***