“Bandung dilingkung ku gunung.” Demikian peribahasa Sunda yang menggambarkan Bandung dengan barisan pegunungan di sekelilingnya. Kondisi ini turut memperkuat kata “Cekungan” yang mengikuti nama kota ini dalam kajian kebumian. Lalu, apa itu Cekungan Bandung? Dan apa dampaknya bagi manusia? Berikut ini rangkuman tentang Cekungan Bandung dan DAS Citarum yang disarikan dari pemaparan Dr. Zamzam AJ Tanuwijaya, M.Si., dalam sebuah workshop tentang Cekungan Bandung di sebuah sekolah menengah di Kota Bandung.
Berbicara tentang “Cekungan”, kata ini erat kaitannya dengan daerah tangkapan hujan. Dalam bahasa Inggris, Cekungan bermakna Catchment area. Cambridge Dictionary mendefinisikan Catchment Area sebagai sebuah area daratan yang menjadi tempat bagi aliran air untuk mencapai sungai, danau, atau waduk. Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia mengartikan Catchment Area sebagai Daerah Tangkapan Air yang didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografis dibatasi oleh punggung-punggung gunung, menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui jaringan sungai.
Senada dengan Catchment Area adalah Basin. Cambridge Dictionary mendefinisikan Basin sebagai sebuah area daratan yang menjadi tempat bagi arus untuk mengalir menuju sungai, danau, atau laut. Basin juga bisa dimaknai sebagai wadah atau cekungan. Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Basin sebagai relief permukaan bumi berbentuk baskom atau belanga; depresi yang berukuran besar; cekungan; lembah; lubuk.
Dalam konteks Geologi, Basin memiliki hubungan erat dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut situs Konservasi DAS Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi berupa punggung bukit yang berfungsi untuk menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik tertentu (Outlet). Dalam konteks ini, DAS bukan hanya sekedar sungai dan area sekitarnya, tetapi juga melingkupi wilayah tangkapan air hujan, atau Catchment Area yang memiliki makna senada dengan Basin dalam pengertian Geologi.
Cekungan Bandung sendiri berhulu dari pegunungan di sekelilingnya. Di utara, Cekungan Bandung dibatasi oleh Bukit Tunggul, Tangkubanparahu, Burangrang, dan beberapa gunung lainnya. Batas di sebelah timur adalah Mandalawangi, dan beberapa gunung lainnya. Di sebelah selatan, Cekungan Bandung dibatasi oleh banyak gunung, beberapa di antaranya: Patuha, Tilu, Malabar, Sanggar, dan Guntur.
Adapun air yang mengalir di Cekungan Bandung berasal dari hujan yang mengguyur kawasan Bandung dan puncak pegunungan di sekelilingnya. Air ini kemudian mengalami proses infiltrasi dan keluar sebagai mata air di dinding gunung. Lalu, mata air ini mengalir hingga masuk ke lintasan aliran sungai-sungai di wilayah Bandung yang berujung di Sungai Citarum.
Peran sebuah Cekungan didefinisikan oleh nama sungai tempat bermuaranya aliran air dari pegunungan di sekelilingnya. Khusus untuk Bandung, hujan yang jatuh di wilayah ini akan bermuara di Sungai Citarum. Oleh karena itu, Cekungan Bandung juga dikenal sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Adapun titik keluar (outlet) Sungai Citarum berada di kawasan Rajamandala. Sedangkan sungai-sungai yang lebih kecil didefinisi sebagai sub-DAS dari Citarum. DAS Citarum sendiri memiliki tujuh DAS, yaitu: sub-DAS Cikapundung, sub-DAS Cirasea, sub-DAS Cihaur, sub-DAS Ciwidey, sub-DAS Cisangkui, sub-DAS Ciminyak, dan sub-DAS Citarik.
Ketujuh sub-DAS tersebut bisa dimaknai pula sebagai DAS dengan batasan titik keluarnya sebagai tempat bersatunya aliran air keseluruhan sub-DAS di bawahnya. Misalnya DAS Cikapundung Utara yang memiliki tiga sub-DAS, yaitu: Cikawari, Cigulung, dan Cikapundung Hulu dengan titik keluarnya di area Gandok. Pendefinisian DAS sendiri berdasarkan lokasi titik keluarnya. Semakin jauh titik keluarnya dari bagian pegunungan hulunya, maka semakin banyaknya pula sungai-sungai yang bersatu alirannya, serta semakin luas juga area DAS-nya.
Secara fisiografi, Cekungan Bandung berada di kawasan barat pulau Jawa. Kawasan bagian selatan Jawa Barat sendiri penuh dengan pegunungan hasil erupsi gunung berapi di bagian tengahnya dan pergerakan tektonik di bagian selatannya. Pergerakan tektonik sendiri berperan dalam mengangkat dasar laut menjadi daratan dengan karakter perbukitan yang sangat curam dan tinggi. Hal ini tampak dari kontur yang terjal di wilayah Cidaun, Cianjur. Adapun daerah lapang di sela-sela pegunungan tersebut membentuk Cekungan. Selain Cekungan Bandung, ada juga Cekungan Garut yang berada di sebelah tenggara wilayah Bandung.
Proses pembentukan Cekungan Bandung pun memiliki beberapa hipotesis yang belum terbukti sampai hari ini. Hipotesis pertama, Cekungan Bandung merupakan kaldera besar. Kaldera sendiri terbentuk akibat runtuhnya permukaan bagian tengah gunung berapi lantaran kosongnya kantung magma di bawahnya. Menurut hipotesis ini, Cekungan Bandung berada di tengah-tengah Gunung Sunda Purba yang membentuk kaldera. Hal ini tampak dari ditemukannya batuan beku intrusi pegunungan tua. Di dalamnya, tampak juga leher-leher lava dan produk vulkanik tua. Di tengah-tengah Cekungan Bandung, ada pegunungan tua yang membentang dari timur ke barat. Adapun di wilayah gunung Lagadar dan gunung Singa yang berada di sisi barat Cekungan Bandung, terdapat pegunungan tua yang membentang dari utara ke selatan.
Hipotesis kedua, Cekungan Bandung terjadi karena proses menurunnya patahan kulit bumi akibat depresi yang terletak di antara dua bagian yang lebih tinggi. Hipotesis ini menitikberatkan pada aktivitas tektonik yang terjadi di wilayah Cekungan Bandung dan sekitarnya. Adapun hipotesis ketiga menyatakan bahwa Cekungan Bandung merupakan dataran antar pegunungan tanpa melibatkan proses tektonik lainnya.
Bila dipetakan lebih lanjut, Cekungan Bandung juga pernah mengalami periode genangan yang cukup luas berjuluk Danau Bandung. Sebelum danau terbentuk, kawasan Cekungan Bandung merupakan Kaldera Gunung Sunda Purba. Adapun sungai Citarum Purba mengalir melewati sungai Cihaur dan Cimeta di sebelah utara wilayah Padalarang hari ini. Namun, aliran air ini terhambat material vulkanik Gunung Tangkuban Parahu yang terjadi sekitar 55 ribu tahun yang lalu. Material ini tumpah ke arah selatan dan membentuk Kipas Aluvial yang menyebar mulai dari wilayah Padalarang hingga Cicaheum. Budi Brahmantyo menyebutkan bahwa bahwa tinggi muka air Danau Bandung Purba kala itu sekitar 715 meter di atas permukaan laut.
Titik bobolnya Danau Bandung diperkirakan terjadi di tempat bernama Sang Hyangtikoro yang memiliki ketinggian 394 meter di atas permukaan laut. Lokasi ini terletak setelah Bendungan Saguling. Di antara Bendungan Saguling dan Sang Hyangtikoro ini terdapat dua bukit yang dipisahkan oleh lembah sungai. Keduanya adalah Pasir Kiara dengan ketinggian 732 meter di atas permukaan laut, dan Pasir Larang dengan ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Kedua bukit ini terletak di lintasan Sesar Cimandiri. Sebelum Bendungan Saguling dibangun, di antara kedua bukit tersebut terdapat air terjun berjuluk Curug Halimun.
Celah di antara Pasir Kiara dan Pasir Larang tersebut diperkirakan menjadi tempat jebolnya Danau Bandung Purba. Adapun penyebab jebolnya adalah aktivitas tektonik Sesar Cimandiri, sehingga memiliki daya yang cukup besar untuk memecahkan sumbatan Danau Bandung Purba dan mengeringkannya. Pecahnya sumbatan ini pula yang membuat jalur aliran Sungai Citarum berubah menjadi seperti hari ini.
Kini, wilayah Cekungan Bandung sudah berubah menjadi kawasan padat penduduk yang dihuni oleh lebih dari delapan juta orang. Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh penduduk Cekungan Bandung adalah air. Banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau merupakan salah satu indikasi perlunya peningkatan pengelolaan wilayah dan sumber daya air di Cekungan Bandung. Dalam hal ini, pemetaan dan pemahaman DAS Citarum beserta sub-DAS-nya menjadi salah satu aspek yang penting dalam menata kawasan Cekungan Bandung.
Salah satu kawasan yang perlu diperhatikan adalah punggungan Sesar Lembang ke arah selatan. Di area ini terdapat banyak mata air yang terbentuk dari sesar tersebut. Oleh karena itu, penting untuk membangun kembali hutan di punggung Sesar Lembang, sehingga mata airnya hidup dan jaringan air di bawah permukaannya tetap terjaga. Bagaimana pun, sumber air tanah Kota Bandung berasal dari area Sesar Lembang tersebut. Sedangkan sumber air permukaan Kota Kembang berasal dari Sungai Cikapundung. Untuk menjaganya, diperlukan upaya penataan DAS Cikapundung Hulu, termasuk penataan kawasan gunung Burangrang, gunung Tangkuban Parahu, dan gunung Bukit Tunggul.***