Pada penghujung 2022 lalu, kami menutup tahun dengan menanam pohon pada Rabu, 28 November 2022. Secara nasional, masyarakat Indonesia juga turut merayakan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) yang telah dicanangkan sejak tahun 2008 silam. Walungan dan masyarakat Pasir Angling sendiri melakukan penanaman di salah satu satu titik tangkapan air hujan, di sebelah kiri Gunung Bukit Tunggul, persis di atas Curug Cibodas, Desa Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Curug Cibodas sendiri merupakan salah satu Wisata Hutan andalan Suntenjaya berbentuk air terjun. Air terjun sendiri sarat pengetahuan, khususnya tentang air dan siklus hidrologi. Di titik ini, kita bisa melihat seberapa baik hutan dan mata air di atasnya. Oleh karena itu, Curug Cibodas cocok menjadi wisata edukasi bagi masyarakat Bandung, bahkan Jawa Barat pada umumnya.
Gunung Bukit Tunggul sendiri memiliki ketinggian sekitar 2.209 meter. Gunung tertinggi di Jawa Barat ini merupakan salah saatu sisa letusan besar Gunung Sunda Purba pada zaman prasejarah. Kita bisa menengok lapisan bebatuan kawasan Bukit Tunggul ini di Curug Cibodas yang memperlihatkan sisa lava gunung berapi pada 200-500 ribu tahun yang lalu (Wisata Geologi ITB).
Berbicara tentang menanam pohon, ada tiga nilai yang terpaut di dalamnya, yaitu: Kultur, Ekonomi, dan Ekologi. Sebelum membahas aspek Kultur dan Ekonomi, mari kita coba uraikan terlebih dahulu aspek Ekologi.
Pada setiap aktivitas penanaman pohon, kami mempergunakan pupuk dasar guna menjaga daya hidup tumbuhan kala mulai dipindahkan dan ditanam di lokasi hutan. Pupuk ini berasal dari limbah sapi berupa feses yang diolah bersama-sama antara Karang Taruna Pasir Angling dan masyarakat setempat.
Limbahnya sendiri berasal dari peternakan sapi perah yang ada di Kampung Pasir Angling, Suntenjaya. Semua limbah yang masuk kami olah dengan cara komposing menggunakan Pupuk Kascing. Kascing sendiri akronim dari Bekas Cacing. Sesuai namanya, pupuk ini merupakan hasil aktivitas alam cacing tanah berjenis Lumbricus rubellus dan Lumbricus tiger. Bersama mikroba pengurai, spesies cacing ini mengurai feses sapi segar, sehingga menjadi pupuk berunsur hara tinggi dalam hitungan pekan.
Lambat laun, pohon yang ditanam membesar dan memberikan manfaat untuk lingkungan di sekitarnya, dan juga manusia. Setidaknya, ada tiga manfaat dari pohon-pohon yang tegak nan rindang di sebuah dataran, yaitu: Siklus Air, Pengawetan Tanah, serta Pengendalian Iklim.
Penanaman pohon tegakkan yang kami laksanakan secara rutin merupakan upaya dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Bagaimana pun, hutan merupakan gudang air kedua setelah samudera. Area ini memegang peranan penting dalam Siklus Hidrologi. Di dalamnya, berlangsung siklus perputaran air yang ada di permukaan bumi. Pepohonan hutan akan menangkap angin, kemudian menahan uap air yang terbawa oleh angin tersebut.
Hutan yang penuh pepohonan akan menghasilkan banyak serasah dedaunan. Daun dan ranting kecil pepohonan yang jatuh ke permukaan tanah akan melapuk dan terurai. Lapukan ini akan menahan air yang jatuh, sehingga tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah.
Di sisi lain, serasah dedaunan dan ranting ini akan terurai oleh mikroba dan cacing. Di dalamnya tertanam telur cacing yang akan menetas dan tumbuh sebagai cacing dewasa. Cacing-cacing ini akan masuk ke dalam tanah dan meninggalkan lubang-lubang poros yang penuh dengan sisa pelapukan pepohonan. Porositas tanah ini juga terbentuk dari sistem perakaran pepohonan di atasnya.
Keberadaan pohon dan serasah dedaunan ini akan membuat infiltrasi air hujan lebih optimal menyerap ke dalam tanah, sehingga tercipta perkolasi atau peristiwa bergeraknya air ke bawah dalam profil tanah (Arsyad, 1983). Air hujan yang optimal masuk ke dalam tanah akan menjaga suhu dan kelembaban tanah serta menahan luncuran air permukaan dan sedimentasi sungai. Dampaknya, keberadaan pohon mampu mencegah erosi, meningkatkan muka air tanah, serta mengurangi dampak negatif kekeringan pada musim kemarau.
Air hujan yang turun di sela-sela pepohonan ke lantai hutan akan tersimpan di dalam tanah dan masuk ke lapisan bebatuan. Di sela-sela dataran yang lebih rendah, air ini akan membentuk mata air yang mengalir jernih dan menyegarkan.
Di tingkat yang lebih makro, vegetasi pembentuk hutan mampu mengendalikan iklim dengan menjaga fluktuasi unsur-unsur iklim, seperti: temperatur, kelembaban, angin, dan curah hujan. Tentunya, unsur-unsur ini mempengaruhi kehidupan di permukaan bumi, termasuk aktivitas manusia. Bagi masyarakat pedesaan, air menjaga aktivitas pertanian dan peternakan, terasuk menjaga kesehatan dan kesuburan tanah. Ujung-ujungnya, alam yang baik akan menunjang kesejahteraan manusia.
Masyarakat desa di kaki gunung kerap mengandalkan mata air untuk pertanian dan peternakan serta rumah tangga. Mereka juga mendapatkan manfaat terbaiknya untuk agro-forestry dan wisata pedesaan dengan alam yang berkualitas. Pun bagi masyarakat perkotaan, mereka memiliki kebergantungan yang sangat tinggi terhadap kualitas alam di sekitarnya. Di Bandung, aliran Sungai Cikapundung dari Gunung Bukit Tunggul dimanfaatkan sebagai bahan baku air dan penggerak motor listrik bagi lingkungan perkotaan.
Oleh karena itu, Sedekah Bumi dengan cara menanam pohon merupakan salah satu upaya untuk mengundang Rahmat-Nya, dan menjauhkan manusia dari Adzab-Nya. Salah satu kuncinya adalah hutan di gunung sebagai salah satu pengendali keseimbangan bumi. Sebagaimana tercantum dalam QS. an-Naba [78] ayat 6-7, “Bukankah Kami telah menjadikan bumi hamparan dan gunung-gunung [sebagai] pasak?”***
Author Profile
- Ketua Walungan. Meraih gelar dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang Peternakan–Pertanian Terintegrasi selama dua dasawarsa terakhir.
Latest entries
- Catatan1 September 2024Jurnal Perjalanan: Menengok Pertemuan Dua Sungai dari Siklus Hidrologi Gunung Bukit Tunggul
- Catatan2 January 2023Sedekah Bumi: Tegakkan Pohonnya, Bangun Hutannya, Harapkan Rahmat-Nya
- Catatan8 August 2022Menengok Kunci Hidrologi Cekungan Bandung di Gunung Bukit Tunggul, Sebuah Jurnal Perjalanan