Menengok Kunci Hidrologi Cekungan Bandung di Gunung Bukit Tunggul, Sebuah Jurnal Perjalanan

Gunung Bukit Tunggul merupakan salah satu area kunci siklus hidrologi kawasan cekungan Bandung. Aliran air dari gunung tertinggi di Bandung Utara ini mengalir hingga Sungai Cikapundung dan menjadi bahan baku utama air minum bagi penduduk Kota Kembang. Peran besar aliran air Gunung Bukit Tunggul inilah yang coba ditelusuri oleh tim survei hidrologi Walungan pada Rabu, 3 Agustus 2022 lalu.

Perjalanan ini merupakan survei pertama usai pandemi, setelah dua tahun sebelumnya melakukan survei ke area yang lebih bawah. Perjalanan dimulai pada jam 08:25 WIB, setelah briefing sekitar 30 menit di Basecamp Walungan. Selain saya, tim Walungan beranggotakan Hany Zaim yang punya banyak pengalaman dalam bidang survei hidrologi. Ada juga tiga orang penduduk lokal dan dua praktisi survei hidrologi yang menyertai perjalanan kami. Mereka akan memandu perjalanan dan juga membantu dokumentasi survei dan aktivitasnya.

Setelah tiga puluh menit berjalan, kami tiba di Kawasan Tereptep. Kawasan ini banyak tumbuh vegetasi asli Gunung Bukit Tunggul, seperti Kiara, Puspa, dan bambu. Tiga puluh menit kedua, kami tiba di kawasan sebelah kiri Batu Ampar. Disebut Batu Ampar karena kawasan ini umumnya berbatu dan cukup datar. Pemandu lokal menunjuk sebuah pohon Gadog yang menjulang kokoh hingga berpuluh-puluh meter tingginya. Menurut pemandu lokal, pohon tersebut sudah berusia ratusan tahun.

Tak jauh dari Batu Ampar, jalan mulai menanjak dan cukup curam. Lebar jalannya pun hanya sekitar satu meter. Perjalanan yang tadinya penuh obrolan dan tawa, mulai riuh dengan tarikan nafas yang berat. Bukan hanya kami yang biasa berjalan di area yang datar yang terasa berat. Para pemandu lokal pun cukup kepayahan mengarungi jalanan yang mulai memasuki kawasan atas kaki Gunung Bukit Tunggul.

Sekitar jam 10 WIB, kami semua beristirahat di dataran yang lebih rata dengan kerapatan vegetasi yang lebih rengang. Kami mulai mengeluarkan sedikit bekal untuk mengisi energi dan memumpuk semangat. Tiba-tiba saja, seekor Burung Puyung Gonggong datang mendekat. Paruhnya sibuk menyisir makanan yang ada di lantai hutan. Begitu jinak, hingga kami pun berhasil menangkapnya. Tentunya, kami hanya ingin melihat dari dekat burung ini, sebelum akhirnya kami melepaskannya kembali.

Salah seorang pemandu lokal menyampaikan bahwa tempat beristirahat kami berjuluk area Taritih. Disebut demikian, karena di kawasan tersebut banyak tumbuh pohon Taritin. Kayu pohonnya sangat keras dan salah satu berkualitas terbaik di Jawa Barat. Menurutnya, nama pohon ini diambil dari kata “Tatih” dalam bahasa Sunda yang bermakna tegak. Ada juga yang mengarahkan asal katanya dengan “Matih” yang berarti mujarab dalam bahasa Sunda. Masyarakat kerap menjadikan kayu pohon ini sebagai bahan baku arang.

Di sela-sela kawasan tersebut, tumbuh juga Pohon Mara. Pohon ini hampir mirip Pohon Taritih, hanya saja daunnya lebih lebar. Ada juga tanaman Glandula yang disenangi burung-burung pemakan biji-bijian. Jika diperah, maka tanaman ini akan berwarna merah dan tumbuh lebih baik.

Selesai beristirahat, kami meneruskan perjalanan ke arah atas. Menjelang jam 13 WIB, kami mencapai kawasan Pasir Buleud, tingkat kerapatan vegetasi mulai meninggi. Kawasan ini cenderung basah dengan kelembaban yang tinggi. Saking lembabnya, kabut senantiasa menyelimuti kawasan ini.

Selain itu, kita bisa menjumpai Jamur Kuping yang biasa tumbuh di sela-sela tanaman atau batang pohon yang sudah lapuk. Salah seorang pemandu lainnya mengambil jamur kuping tersebut dan mengunyahnya dengan cekatan serta menelannya. Rasanya enak dan segar, katanya. Bagi masyarakat Pasir Angling, Jamur Kuping ini enak dimakan dan bisa jadi sumber ekonomi desa. Hanya saja, mereka memang belum terpikir untuk membudidayakannya di desa.

Agar jalur yang kami lalui lebih landai dan aman, Hany Zaim menyarankan tim untuk menempuh jalur punggungan gunung. Tiga puluh menit berjalan, akhirnya kami menemukan titik perpaduan dua sungai. Kualitas airnya cukup jernih dan debitnya juga cukup besar, sekitar 15-20 liter per detik. Lelah kami terbayarkan sudah ketika mendengarkan deru dan gemericiknya aliran air.

Hany Zaim menyampaikan bahwa lokasi tersebut setinggi 1.734 meter di atas permukaan laut. Hanya saja, dia masih merasa belum puas karena tidak mencapai ketinggian yang ditargetkan sebelumnya, yaitu 1800 mdpl. Tak jauh dari lokasi pertemuan ini, debit air menurun drastis. Hany Zaim menduga sebagian debit aliran tersebut masuk ke patahan batuan geologi. Menurutnya, air dari kedua sungai tersebut mengairi Curug Luhur, Cikawari, serta beberapa sungai lainnya di kawasan Bandung Utara.

“Sepertinya kita harus survei lagi,” celetuk Hany Zaim dengan wajah sumringah berbalut rasa penasaran. Jujur, saya pribadi begitu menikmati perjalanan ini. Meskipun medannya berat dan licin, dan anggota tim banyak yang terjatuh dan terpeleset, termasuk pemandu lokal, tetapi kami cukup menikmatinya.

Setelah menghabiskan satu jam di lokasi, kami pun segera menuju jalan pulang ke Basecamp Walungan. Kami sempat tersasar karena salah mengambil jalan pulang. Meskipun demikian, pada jam 17:25 WIB kami berhasil mencapai Kampung Pasir Angling. Lelah memang badan ini, tetapi tak seberapa bila dibandingkan dengan kebahagiaan atas kondisi Gunung Bukit Tunggul yang terjaga hutannya dan mata airnya.***

Author Profile

Riki Frediansyah
Riki Frediansyah
Ketua Walungan. Meraih gelar dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang Peternakan–Pertanian Terintegrasi selama dua dasawarsa terakhir.

Post a comment