Wisata Edukasi Khas Pasir Angling: Menyemai Prinsip Ekologi, Menuai Kemakmuran Ekonomi

Cuaca siang yang terik di Lembang membawa pertanyaan tersendiri bagi siswa yang baru saja menginjakkan kaki di Pasir Angling. Alih-alih panas dan gersang, justru cuaca siang itu bertaburkan gerimis tipis serta berselimut kabut yang dingin dan sejuk. Sebuah pengalaman yang tak pernah mereka rasakan di kota besar di pesisir utara pulau Jawa. Meskipun begitu, wajah mereka tampak merona gembira mendapati “gerbang” petualangan baru yang luar biasa selama lima hari ke depan.

Namun, ketegangan justru tampak tersirat di wajah pemuda desa Abdul Mutholib. Dari pagi, dia berusaha memastikan timnya yang berjumlah 15 orang untuk menyambut kedatangan ratusan orang kota ke kampungnya. Mereka akan menginap selama lima hari di rumah warga di Pasir Angling. Artinya, dia bersama timnya harus mengawal dan memenuhi kebutuhan tamunya, termasuk makan tiga kali sehari. Meskipun demikian, dia bahagia bisa menyambut kedatangan siswa SMA yang ingin belajar pertanian dan peternakan sekaligus merasakan kehidupan di sebuah kampung di kawasan pegunungan.

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Kampung Pasir Angling menjadi salah satu destinasi wisata edukasi berbasis agro-ekologi di Lembang. Sejak Januari 2024, sudah lebih 1.200 siswa dan guru yang bertandang ke Pasir Angling untuk belajar tentang integrasi pertanian dan peternakan. Bahkan, sebagian besar di antaranya memutuskan untuk menginap di rumah warga hingga lima hari lamanya. Mereka turut merasakan kehidupan warga Pasir Angling yang tinggal di rumah yang terbuat dari kayu. Bahkan, sebagian di antaranya ikut keseharian warga Pasir Angling, termasuk pergi ke kebun, kandang ternak, serta mencari rumput ke hutan di kaki gunung.

Abdul sendiri didaulat sebagai ketua program wisata edukasi agro ekologi Kampung Pasir Angling. Pemuda asli Pasir Angling ini memimpin remaja dan pemuda Karang Taruna untuk memetik pelajaran dari pertanian dan peternakan di kampung yang terletak di kaki Gunung Bukit Tunggul tersebut. Sebagian dari mereka ada yang menjadi pemandu siswa, sebagian lainnya berjibaku di belakang layar untuk menyiapkan akomodasi dan konsumsi, bahkan beberapa di antaranya dengan gagah berani tampil sebagai pemateri. Mereka berusaha mempersembahkan yang terbaik untuk para tamu yang bertandang ke kampung mereka.

Pasir Angling sendiri berada di Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kampung ini berada sekitar 20 Kilometer dari Gedung Sate Bandung dan bisa dicapai dengan mobil dalam waktu sekitar satu jam. Saat ini, Pasir Angling berusaha mengemas paket wisata edukasi agro-ekologi berbasis potensi wilayah, atau disebut juga jati diri wilayah. Disebut demikian, karena Abdul dan timnya berusaha menyajikan segala yang dimiliki dan dijalaninya selama ini. Mereka memperkenalkan kebiasaan kehidupan masyarakat Pasir Angling yang sudah berusia puluhan, bahkan ratusan tahun. Sebuah tradisi untuk hidup sesuai dengan kondisi lingkungan yang dingin di dataran tinggi berikut kelimpahan yang ada di sekitarnya, seperti: air bersih, tanah yang subur, serta siklus ekologi yang menguntungkan.

Abdul dan tim sendiri merupakan bagian dari Angling The Ranch (ATR). Tim ini berada di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Suntenjaya dan Mekarjaya. Keberadaannya ditujukan untuk merumuskan sekaligus mengelola lima paket wisata edukasi Pasir Angling, yaitu: pertanian, peternakan, agroforestry, wisata alam, dan produk UMKM. Dalam paket pertanian, Abdul mengemas kunjungan ke kebun-kebun warga. Di setiap posnya, para petani dengan senang hati berbagi pengalamannya dalam menumbuhkan tanaman sayuran yang cocok untuk dataran tinggi dengan air yang berlimpah, mulai dari fase pembibitan, penanaman, hingga panen. “Bahkan, bila waktunya panen, siswa pun bisa ikut panen bersama petani,” papar Abdul.

Adapun dalam paket peternakan, Abdul dan tim mengajak siswa untuk berkunjung ke kandang domba dan sapi. Khusus di kandang domba, siswa diajak untuk menengok tata kandang bernuansa ekologis dengan memperhatikan aspek kebersihan, pencahayaan, sirkulasi udara dan air, serta pengolahan kotorannya menjadi pupuk. Di sini, siswa juga bisa melihat fasilitas pembiakkan dan pembesaran, penggemukkan, gudang pakan, ruang potong mikro, dan pengolahan limbah jadi berkah, serta lahan pakan hijau. Para siswa juga bisa berdiskusi dengan pengelola kandang tentang pembangunan integrasi peternakan dan pertanian yang saling memperkuat satu sama lain.

Sedangkan di kandang sapi, Abdul masih belum bisa memberikan banyak pengalaman kepada siswa karena mempertimbangkan respon hewan ternaknya. Misalnya saja, proses pemerahan susu dilakukan selama dua jam pada waktu yang relatif terbatas, yakni sebelum subuh dan menjelang ashar. Selain itu, sapi sendiri hewan yang sensitif. Kehadiran gerombolan orang dalam jumlah puluhan di dekatnya dikhawatirkan malah membuat sapi takut dan berdampak kepada penurunan jumlah susu yang dihasilkannya. Oleh karena itu, Abdul dan tim jarang memasukkan kunjungan ke kandang sapi dalam paket wisata peternakan.

Dalam paket peternakan ini, Abdul juga mengajak siswa untuk menengok balai pengolahan limbah sapi. Di dalamnya, siswa diajak untuk melihat aktivitas pengolahan limbah kotoran sapi, mulai dari pengangkutan kotoran sapi, pendinginan dan pengeringan, penaburan telur cacing dan pengomposan, hingga pemanenan pupuk kompos. Kunjungan ini, menurut Abdul, diharapkan mampu membangun pemahaman lebih lanjut tentang aspek integrasi antara bidang peternakan dan pertanian yang lebih utuh dan menyeluruh.

Paket wisata lainnya adalah Agroforestry. Di sini, Abdul mengajak para siswa untuk menengok kebun kopi yang membentang di sela-sela hutan pinus di kaki gunung Bukit Tunggul. Tanaman kopi sendiri akan tumbuh subur di wilayah yang relatif teduh. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tegakkan pepohonan yang jauh lebih tinggi dan rindang. Bagi masyarakat Pasir Angling, kebun kopi sendiri menjadi salah satu komoditas pertanian yang mampu menyangga fungsi hutan sebagai penjaga air tanah sekaligus penyuplai oksigen ke udara. “Harapannya, siswa bisa melihat peran hutan dan siklus ekologinya yang sangat penting untuk kehidupan manusia,” ungkap Abdul.

“Pertunjukkan ekologi” ini juga dikemas oleh Abdul dan tim dalam paket wisata alam. Para siswa diajak untuk menengok air bersih yang berlimpah dan hutan yang masih terjaga dengan mengunjungi tempat-tempat wisata alam di Pasir Angling, seperti: Air Terjun Curug Cibodas dan Bumi Perkemahan Bincarung. Peserta wisata edukasi bisa mencicipi lokasi wisata tersebut dengan berjalan kaki selama 30 menit dari kampung Pasir Angling. Di tempat tersebut, siswa juga bisa berkontribusi untuk menanam pohon di hulu mata air sebagai tanda mata kunjungannya sebagai peserta wisata edukasi agro ekologi di Pasir Angling.

Adapun paket produk UMKM berbasis potensi wilayah sebagai ujung dari bentuk syukur masyarakat Pasir Angling atas potensi alam yang berlimpah di sekitar mereka. Abdul mengajak para siswa untuk melihat pengolahan panen para petani dan peternak menjadi produk yang siap konsumsi, seperti: sale pisang, peremen karamel, dan kopi. Sale pisang sendiri berasal dari buah pisang yang ditanam di kaki gunung Bukit Tunggul. Pisang ini kemudian diiris tipis, dijemur dan dipanggang, serta dilapisi dengan air gula. Adapun karamel terbuat dari susu sapi yang dimasak dengan api kecil dan diaduk dengan gula hingga berbentuk cairan yang padat dan lengket. Sedangkan kopi diolah dengan cara memetik buah kopi, menjemurnya, hingga memanggangnya sampai menjadi bubuk kopi yang siap untuk diseduh. Dalam paket wisata ini, Abdul mengajak siswa untuk terjun langsung dalam mengolah bahan baku menjadi produk yang siap dikonsumsi.

Meskipun paket wisatanya sudah beragam, tetapi Abdul masih terus menggali variasi paket wisata lainnya yang berbasiskan tradisi masyarakat Pasir Angling. Salah satunya adalah paket permainan tradisional khas Suntenjaya yang rencananya bakal dijuluki sebagai paket “Kaulinan Lembur”. Di dalamnya, siswa dari kota bisa mencoba berbagai permainan alam yang kerap dimainkan oleh anak-anak di Pasir Angling sampai hari ini, termasuk Rorodaan Kadaplak yang memicu adrenalin dan menguji ketangkasan pemainnya.

Abdul juga menyoroti fasilitas yang masih terbatas di lingkungan Pasir Angling. Salah satunya adalah rumah penduduk yang masih terbatas dan belum bisa memadai kebutuhan akomodasi para siswa dari perkotaan. Selain itu, fasilitas MCK juga masih belum mampu memenuhi kebutuhan tamunya, khususnya terkait bentuk toilet dan standar kebersihan kamar mandi. Ke depannya, Abdul akan mendorong masyarakat Pasir Angling untuk meningkatkan sarana akomodasi penginapannya. Selain itu, Abdul dan tim juga berencana mendorong pembangunan fasilitas MCK yang sesuai dengan standar kebutuhan pengunjung dari kota besar. Fasilitas lainnya yang akan Abdul bangun adalah petunjuk arah untuk menandai pos-pos wisata di area Pasir Angling.

Meskipun masih banyak kekurangan, tetapi Abdul bersyukur bahwa para peserta tetap nyaman dengan pengalamannya tinggal di Pasir Angling. Bahkan, sebagian dari mereka berencana untuk berkunjung dan menginap di Pasir Angling secara mandiri. Bagi Abdul, hal ini memperlihatkan bahwa program wisata edukasi agro ekologi bisa diterima oleh para pengunjung yang mayoritas hidup di kota-kota besar di pulau Jawa. Dari pengamatan Abdul dan tim, para siswa juga belajar banyak hal dari Pasir Angling. Mereka jadi banyak mengenal serangga serta tumbuhan lainnya yang tidak pernah mereka jumpai di wilayah perkotaan. Selain itu, mereka pun bahagia tinggal bersama dengan masyarakat desa. Bahkan, ketika mereka pulang, seringkali dipenuhi oleh hujan tangis yang haru, baik dari siswa maupun warga. Bagi Abdul, hal ini memperlihatkan ikatan yang sangat kuat dan berkesan antara masyarakat dan siswa yang berkunjung ke Pasir Angling.

Secara ekonomi, kunjungan ini membawa keberkahan tersendiri bagi masyarakat Pasir Angling. Omset warung dan pedagang makanan di Pasir Angling langsung meningkat ratusan kali lipat ketika ratusan siswa datang bertandang ke desa mereka. Para wisatawan edukasi tersebut langsung berkunjung ke warung dan membeli makanan seturunannya dari mobil. Sedangkan bagi anggota timnya, Abdul menuturkan bahwa mereka terkesan dengan dampak program secara finansial. Para pemuda tersebut juga senang bahwa mereka bisa berkontribusi besar kepada kampung dan desanya.

Abdul sendiri menargetkan minimal ada satu kunjungan wisata edukasi setiap bulannya ke kampungnya. Dia juga berencana untuk mengembangkan jejaring kerja ke desa-desa lainnya, baik di Lembang, Jawa Barat, maupun Indonesia. Dia berharap, bisa belajar banyak dari desa lainnya tentang pengembangan desa berbasis potensi dan jati diri wilayahnya.

Riki Frediansyah, ketua harian Walungan, menyebutkan bahwa program wisata edukasi di Pasir Angling sudah ada sejak tahun 2014 dalam bentuk program live-in. Di dalamnya, para siswa “merasani” hidup bersama masyarakat Pasir Angling untuk menyaksikan dan mengikuti keseharian masyarakat dalam bidang peternakan dan pertanian. Bahkan, pada tahun 2017, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia telah menetapkan desa Suntenjaya sebagai destinasi wisata di kawasan Lembang dan sekitarnya. Menurut Riki, Desa Suntenjaya sendiri cenderung memilih Pasir Angling sebagai destinasi wisata edukasi karena ada aktivitas riset dan pendidikan, terutama aktivitas riset dan edukasi yang dikembangkan oleh Walungan. Dalam hal ini, Riki berharap bahwa Pasir Angling bisa menjadi percontohan pengembangan program wisata edukasi agro ekologi berbasis desa bagi kampung lainnya di desa Suntenjaya.

Keberadaan program wisata edukasi agro ekologi ini berdampak positif bagi masyarakatnya. Alih-alih mempersiapkan diri sebelum adanya program wisata, justru masyarakat Pasir Angling mempersiapkan dirinya setelah tersedianya program wisata dan tamu yang akan berkunjung. Mereka termotivasi untuk meningkatkan kondisi rumah dan lingkungannya setelah para tamu dari berbagai daerah datang ke kampung mereka. Dengan kata lain, program wisata edukasi agro ekologi ini sebagai bagian dari pembangunan masyarakat kampung dan desa.

Gairah program wisata edukasi agro ekologi Pasir Angling sendiri baru merangkak naik setelah tahun 2022, paska pandemi COVID 19 yang melanda dunia. Para siswa dari banyak sekolah di kota-kota besar di pulau Jawa butuh untuk mengembangkan kapasitas siswanya melalui program wisata edukasi. Oleh karena itu, Riki mengharapkan program ini bisa menjadi solusi bagi pembangunan ekonomi masyarakat Pasir Angling dari pelemahan produktivitas sektor pertanian dan peternakan akibat COVID 19 dan keterbatasan lahan.

Sebagai destinasi wisata edukasi baru, Pasir Angling harus memiliki keunikannya tersendiri. Pegiat lingkungan ini menekankan wisata berbasis agro ekologi sebagai corak wisata Pasir Angling. Di dalamnya, para penyelenggara program harus mampu membangun kerangka ekonomi berbasis wisata dengan kaidah agro ekologi. Salah satunya, melalui pengenalan integrasi pertanian dan peternakan. “Semoga wisata edukasi Pasir Angling bisa memakmurkan masyarakatnya secara ekonomi maupun ekologi,” harap Riki.***

Author Profile

Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar
Pengkaji Media for Community Development. Pernah belajar di Jurnalistik STIKOM Bandung. Berpengalaman sebagai praktisi di bidang pengembangan dan manajemen media online.

Post a comment

Discover more from Walungan

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading