Di Bandung, kata “Sampah” kerap bersanding dengan “Darurat” dalam beberapa bulan terakhir ini. Namun, di Jatinangor siang itu, “Sampah” bersanding dengan kata “Wisata”, dan barangkali juga “Inspirasi”. Setidaknya, hal inilah yang mewarnai kunjungan ke Waste Handling Facility milik CrapCo di desa Hegarmanah, Jatinangor, Sumedang, pada Sabtu, 13 Januari 2024. Hari itu, Walungan bersama koleganya di wilayah Kota Bandung dan Cimahi bertekad untuk belajar tata kelola sampah.
Sekitar 20 orang asyik berdiskusi di sebuah bangunan sederhana di jalan Sukawening. Atapnya terbuat dari hamparan terpal plastik yang ditopang oleh atap baja ringan di bagian bawahnya sampai ke permukaan tanah. Seiring menanjaknya matahari ke pucuk atap, semakin marak keringat bercucuran, tetapi semakin marak pula jalannya diskusi di bawah bangunan tersebut. Terkadang, semilir aroma sampah organik hinggap sejenak di indra penciuman mereka. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan minat dan ketertarikan para peserta kunjungan dalam melontarkan pertanyaan tentang tata cara pengolahan sampah di CrapCo. “Bagaimana cara pilahnya?” “Plastik dijadikan apa di sini?” “Magotnya boleh saya bawa?” Dan banyak pertanyaan lainnya tentang pengelolaan sampah berhujanan dalam kunjungan berdurasi tiga jam tersebut.
Dengan penuh semangat, Muhammad Imam Muhajir, Direktur Realsector CrapCo, menangkap dan menjawab setiap pertanyaan dengan detail dan lugas. CrapCo sendiri merupakan perusahaan pengolahan sampah berbasis edukasi,teknologi, dan ekonomi yang mengharapkan perubahan kebiasaan pengolahan sampah di tingkat masyarakat di Indonesia. Perusahaan ini mengawali layanannya dengan membuat sistem pengolahan sampah di sebuah perumahan di Jatinangor pada 2019 silam. Kala itu, 12 mahasiswa lulusan ITB dan UNPAD kampus Jatinangor berkomitmen untuk membuat model sistem pengolahan sampah di sebuah komplek di Jatinangor. “Awalnya hanya berencana untuk membuat sistem (pengolahan sampah) untuk diserahkan ke orang lain,” buka Imam. “Namun, masyarakat justru memiliki rasa kepemilikan yang tinggi (kepada Crapco), dan membuat kami memutuskan untuk meneruskan layanan kami,” lanjutnya.
Seiring meningkatnya antusias masyarakat, CrapCo pun mulai mengembangkan sayap layanannya ke area Bandung raya dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Imam menuturkan bahwa CrapCo pun mulai memindahkan fasilitas pengolahan sampahnya ke tempat yang lebih besar dan tersebar di empat lokasi. Selain di Jatinangor, CrapCo juga membuka fasilitas pengolahan sampah di Rajamandala, Bandung Barat; Kampus UNPAD di Jalan Singaperbangsa, Kota Bandung; serta kampus UNPAD di Jatinangor, Sumedang. Khusus dua lokasi terakhir, mereka menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi untuk menyediakan tempat pengolahannya.
Secara teknis, lulusan tahun 2016 jurusan Kimia Universitas Padjadjaran ini menerangkan bahwa CrapCo hanya mensyaratkan tiga jenis pemilahan, yaitu: organik, anorganik, serta residu. Pemilahan ini jauh lebih sederhana dibandingkan layanan pengolahan sampah lainnya di Kota Bandung yang mensyaratkan sampai tujuh kategori sampah. Menurut Imam, hal ini untuk memudahkan masyarakat pengguna CrapCo dalam menerapkan sistem pemilahan sampah di rumahnya masing-masing.
Kemudian, sampah tersebut akan diangkut oleh tim angkut sampah CrapCo dalam kurun waktu yang disepakati, antara satu atau dua kali per pekan, tergantung paket layanan yang dipilih pengguna. Khusus fasilitas penjemputan ini, Imam menuturkan bahwa CrapCo mensyaratkan biaya angkut. Hal ini ditujukan untuk menutup biaya operasional kendaraan yang cukup tinggi. Meskipun demikian, lajang berusia 28 tahun ini menekankan bahwa seluruh biaya pemilahan ditunjang oleh nilai ekonomi dari pengolahan sampah.
Selanjutnya, Imam memaparkan bahwa seluruh sampah yang masuk akan ditimbang dan ditandai dengan nomor pengguna untuk memantau kontribusi sampah pengguna CrapCo. Kontribusi sampah ini kemudian dikonversi menjadi poin bagi pengguna yang bisa ditukar dengan berbagai produk pangan yang dijual di CrapCo Mart. “Kami berusaha meyakinkan pengguna bahwa sampah mereka bisa berguna dan bermanfaat,” papar Imam.
Proses pemilahan sampah sendiri dilakukan setiap hari. Imam menyampaikan bahwa sampah organik diolah dengan menggunakan magot Lalat Tentara Hitam (BSF). Lalat Tentara Hitam sendiri sangat lahap dalam memakan sampah organik. Spesies yang satu ini menyerap cairan yang terkandung di dalam sampah, sehingga kering dan bernilai manfaat yang tinggi. Setelah memasuki fase lalat, hewan ini hanya akan kawin, bertelur, dan mati. “Makhluk ini Allah ciptakan untuk mengolah sampah organik,” cetus Imam.
Setiap sampah organik yang dimakan magot disebut Kasgot atau Bekas Magot. Imam dan timnya akan mengolah kasgot dengan cara digiling, sehingga halus dan berbentuk seperti pasir. Media ini memiliki unsur hara yang tinggi dan bebas dari potensi penyakit. CrapCo kemudian menyalurkannya ke para petani di sekitar wilayah Jatinangor. Mereka pun menggunakan sebagian pupuk kasgot untuk bertanam di belakang fasilitas mereka. Sedangkan sebagian magot diolah untuk dijadikan pakan ternak dan disalurkan kepada peternak yang membutuhkan. Adapun sebagian lainnya dijadikan lalat agar bertelur dan menghasilkan generasi magot berikutnya.
Khusus anorganik, Imam memaparkan bahwa sampah ini dipilah secara lebih spesifik sesuai dengan jenisnya. Kemudian, sampah ini disalurkan dan dijual ke jejaring pengolah sampah ketika sudah memenuhi jumlah minimalnya. Adapun sampah residu berusaha dipilah kembali untuk melihat potensi pengolahannya. Menurut Imam, sampah residu sendiri merupakan sampah anorganik yang basah dan tercampur dengan sampah organik. Sampah anorganik yang basah dan tercampur sampah organik ini berpotensi menurunkan kualitas sekaligus menjatuhkan nilai jualnya. Oleh karena itu, pihaknya berusaha membersihkan sampah residu semampunya, sehingga masih memiliki nilai jual. “Upayakan sampah anorganik ibu-ibu semua tetap bersih dan kering agar kualitasnya tidak turun,” himbau Imam.
Di sela-sela obrolan, Imam menekankan bahwa sampah memiliki karakternya masing-masing. Bila salah dalam mengolahnya, maka akan menjadi bencana, seperti kasus kebakaran yang terjadi di beberapa TPA di Indonesia. Oleh karena itu, Imam mengajak untuk memahami peruntukan sampah, dan mengolahnya sesuai dengan karakternya masing-masing. “Bila sampah dikelola dengan tepat, maka akan bermanfaat untuk kita,” ungkapnya.
Eksplorasi Tata Kelola Sampah
Fathonah Fitrianti, koordinator kunjungan, menyampaikan bahwa kunjungan tersebut ditujukan untuk mengeksplorasi proses pemilahan sampah yang ada di kawasan Bandung. CrapCo sendiri dipilih karena perusahaan tersebut menerapkan proses pemilahan sampah yang relatif sederhana untuk masyarakat penggunanya, yaitu: organik, anorganik, dan residu. Hal ini berbeda dengan perusahaan pengolah sampah lainnya di Bandung yang lebih komplek dan ketat dalam pemilahan jenis-jenis sampah.
Selama kunjungan tersebut, Fathonah menilai bahwa para peserta bisa banyak belajar tentang pengolahan sampah di tingkat unit usaha. Dia sendiri menyimpulkan empat hal yang bisa diambil dari CrapCo. Pertama, unit pengolahan sampah harus punya komitmen yang tinggi untuk mengolah sampahnya secara optimal. Menurutnya, komitmen yang tinggi tersebut mampu membuahkan kepercayaan masyarakat tentang pengolaan sampah di Indonesia. Komitmen ini juga untuk menepis stigma “kesia-siaan dalam pemilahan sampah”. “Masyarakat terlanjur kecewa dengan sampah yang disatukan kembali di truk sampah setelah masyarakat memilahnya di rumah,” ungkap Fathonah.
Kesimpulan kedua, unit pengolahan sampah harus memiliki jejaring kolaborasi yang luas untuk menyalurkan dan mengolah sampahnya. Menurut alumni Teknik Industri ITB ini, Jejaring kolaborasi tersebut mampu meminimalisir jumlah residu, sehingga menekan jumlah sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Kesimpulan selanjutnya, unit pengolahan sampah harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam pengangkutan sampah. Menurut Fathonah, proses pengangkutan sampah cukup menantang, karena harus menjaga kondisi sampah dalam keadaan baik dan tidak tercampur.
Kesimpulan terakhir, unit pengolahan sampah harus mampu menawarkan biaya yang terjangkau dan wajar. Bagaimana pun, menurut ibu dua anak ini, biaya operasional harus selalu ada untuk menjamin ketersediaan layanan pengolahan sampah dalam jangka yang panjang. Salah satu cara untuk menopang biaya operasional tersebut dengan membuka pembiayaan dari penggunanya. Biaya yang terlalu mahal pun bisa membebani pengguna. Pun bila biaya terlalu minim, maka unit usaha sampah bisa bangkrut dan gulung tikar, seperti yang terjadi dengan beberapa perusahaan pengolah sampah di Kota Bandung dalam beberapa waktu terakhir.
Dari keempat kesimpulan tersebut, wanita yang akrab disapa Ine ini merangkum bahwa sebuah unit pengolahan sampah harus mampu menyediakan tiga prinsip layanan, yaitu: Ringan, Mudah, dan Optimal. Atau, dengan kata lain, meringankan proses pemilahan, memudahkan pengangkutan dan pengolahan, serta mengoptimalkan sampah sesuai dengan peruntukkannya sehingga terjaga nilai dan manfaatnya.***