Stroberi, buah-buahan merah berasa asam-manis berbentuk mungil ini, begitu populer di Ciwidey, wilayah Bandung Selatan, dalam dua dasawarsa terakhir. Menariknya, buah ini juga pernah berjaya di Lembang dan kawasan Bandung Utara sebelum dunia menginjak millenium ketiga. Kejayaan Stroberi inilah yang melandasi Walungan untuk mengembangkan model pertanian Stroberi berbasis pertanian dan peternakan integratif di Pasir Angling, Lembang.
Berbicara tentang Stroberi, tanaman buah-buahan berbentuk herba yang satu ini tumbuh secara alami di hutan-hutan dataran sub-tropis di Eropa. Buah ini disebutkan dalam naskah Romawi kuno untuk tujuan pengobatan. Baru menjelang akhir Abad Pertengahan, Stroberi mulai dibudidayakan di kebun-kebun masyarakat Eropa, terutama masyarakat Perancis.
Memasuki abad Ke-16, Stroberi mulai menunjukkan kepopulerannya di masyarakat Eropa. Sejalan dengan itu, perkebunan buah ini juga mulai tumbuh. Bahkan, pada tahun 1578, sudah ada orang yang mulai menuliskan instruksi untuk menumbuhkan dan memanen Stroberi di Eropa. Hal ini membuat banyak orang mulai mempelajarinya untuk menumbuhkan panen yang berkualitas sekaligus berkuantitas. Setelah lebih dari lima abad berlalu, dunia memanen sekitar 8,9 juta ton Stroberi pada tahun 2019. Adapun produsennya adalah Tiongkok dengan panennya sebanyak 40 persen dari total komoditas Stroberi di dunia.
Tanaman Stroberi sendiri dapat tumbuh di lokasi yang memiliki curah hujan 600–700 mm/tahun, bertemperatur 17–20 derajat Celcius, kelembaban udara 80-90 persen, serta matahari yang bersinar 8-10 jam per hari. Tumbuhan ini mampu tumbuh di tanah liat berpasir, subur dan gembur, mengandung bahan organik, serta memiliki tingkat keasaman 5,4 hingga 7,0. Umumnya, tempat ideal untuk menanam Stroberi memiliki ketinggian antara seribu hingga seribu lima ratus meter di atas permukaan laut. Dalam hal ini, Kawasan Bandung Utara salah satu tempat yang cocok untuk membudidayakan tumbuhan ini.
Dalam tiga tahun terakhir, Walungan mulai mengembangkan model ideal komoditas pertanian Stroberi di Pasir Angling, Suntenjaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Berdasarkan catatan Syarifudin, Kepala Divisi Pertanian Walungan, tanaman yang satu ini memiliki setidaknya tiga keunggulan secara ekonomi bila dibandingkan dengan komoditas sayuran.
Pertama, biaya kerja untuk menanam, merawat, dan memanen tanaman ini jauh lebih sedikit dibandingkan biaya kerja komoditas sekali panen. Umumnya, para petani Stroberi hanya perlu menanam satu kali, kemudian merawatnya hingga tumbuhan tersebut mampu berbuah. Usia tanaman Stroberi sendiri bisa mencapai lima tahun lamanya. Dalam kurun waktu tersebut, tanaman membutuhkan waktu 45 hari pertama atau sekitar 1,5 bulan setelah ditanam untuk tumbuh dan siap berbuah. Setelahnya, tanaman akan berbuah setiap dua hingga tiga kali sehari.
Bandingkan dengan cara menanam, merawat, dan memanen tumbuhan sekali panen yang relatif hanya berjarak dua hingga empat bulan, tergantung jenis komoditasnya. Tentunya, dengan jarak tanam yang cukup dekat ini, petani harus mengeluarkan biaya secara penuh untuk menyiapkan lahan, membeli benih, hingga membersihkan lahan paska panen. Perbandingan periode tanam inilah yang membuat biaya kerja budidaya Stroberi jauh lebih kecil dibandingkan komoditas sekali panen.
Kedua, peluang pendapatan panen Stroberi lebih besar. Buah Stroberi sendiri sudah bisa dipanen pada usia 45 hari setelah masa tanam. Jarak waktu panennya pun relatif singkat, sekitar tiga hari pada masa produktif. Umumnya, masa produktif panen Stroberi sendiri berlangsung pada musim kemarau. Dengan demikian, para petani bisa mendapatkan panen secara terus menerus selama periode bulanan, bahkan tahunan.
Selain itu, harga buah Stroberi yang sudah matang dan siap santap juga lebih stabil dibandingkan sayur-sayuran. Terlebih lagi bila Stroberi tersebut berasal dari jenis berkualitas dan ditanam secara organik. Maka, harganya bisa lebih tinggi dibandingkan Stroberi berkualitas biasa dan dirawat secara non-organik. Kondisi ini membuat para Petani Stroberi memiliki keuntungan yang lebih besar dalam jangka waktu yang relatif lama.
Ketiga, variasi pendapatan yang lebih luas dibandingkan komoditas sayur-sayuran. Para petani bisa memanfaatkan lahan kebun Stroberinya untuk area wisata. Para pengunjung bisa diajak untuk memetik Stroberi, belajar cara merawat tanamannya, serta memasak dan menyantap kuliner berbahan Stroberi di kebun Stroberi. Peluang ekonomi ini diharapkan mampu memperluas potensi pendapatan dan memperbesar kesejahteraan petani berbasis pertanian dan peternakan yang dikelola oleh masyarakat secara mandiri.
Potensi pendapatan lainnya bisa berasal dari produk paska-panen. Dalam hal ini, petani dan kelompoknya bisa mengolah buah Stroberi menjadi produk siap konsumsi, seperti: selai dan minuman sari buah. Aspek positifnya, produk-produk ini bisa diolah dengan perangkat yang sederhana dan minimalis serta jumlah produksi yang sedikit.
Divisi Pertanian Walungan sendiri berusaha mengembangkan model budidaya Stroberi berbasis Pertanian dan Peternakan Terintegrasi. Secara teknis di tataran praktis, Walungan berusaha membudidayakan Stroberi dengan memanfaatkan limbah peternakan sebagai pupuk. Harapannya, selain mampu menekan biaya operasional budidaya Stroberi, kerangka kerja tersebut juga mampu meminimalisir dampak lingkungan dan meningkatkan produktivitas pertanian serta membangun kesejahteraan masyarakat perdesaan di Lembang.***