Agen pengendali hayati merupakan organisme yang dapat menekan populasi patogen tanaman. Prinsip utama pengendalian hayati adalah mereduksi populasi patogen dan mempertahankannya dalam kadar rendah di ekosistem, bukan mengeliminasi seluruh patogen. Adapun agen pengendali hayati mikroba yang telah banyak dilaporkan, antara lain: bakteri, fungi, ragi, dan virus.
Babbal dkk. (2017) dan Kohl dkk. (2019) merumuskan tiga mekanisme aksi mikroba dalam mengendalikan penyakit tanaman, yaitu: Induksi Resistensi, Kompetisi, dan Antagonisme.
Induksi Resistensi
Kohl dkk. (2019) memaparkan bahwa upaya meningkatkan resistensi tanaman merupakan salah satu strategi potensial untuk mengendalikan penyakit tanaman. Beberapa mikroba disebutkan mampu menginduksi resistensi tanaman tanpa berinteraksi langsung dengan patogen (indirect).
Conrath dkk. (2015) mengkategorikan dua tipe resistensi terinduksi (Induced Resistance) yang diinduksi oleh mikroba, yaitu: Systemic Acquired Resistance (SAR) dan Induced Systemic Resistance (ISR). Mekanisme SAR sendiri diinduksi oleh patogen dan membutuhkan molekul sinyal berupa Asam Salisilat. Mekanisme ini berasosiasi dengan akumulasi pathogenesis-related protein (PR-protein) yang berkontribusi terhadap resistensi (Durrant dan Dong, 2004).
Adapun ISR merupakan mekanisme resistensi terinduksi yang diinduksi oleh mikroba yang menguntungkan (beneficial), seperti Plant-Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Jalur ISR tergantung dengan jalur Asam Jasmonat dan Etilen. Hal ini berbeda dengan SAR yang tergantung dengan jalur Asam Salisilat. Selain itu, jalur ISR juga tidak mengaktifkan gen-gen Pathogenesis Related (Beneduzi dkk., 2012 dan Choundhary dkk., 2007).
Kompetisi
Disebut Kompetisi karena mikroba pengendali hayati dan patogen berkompetisi satu sama lain untuk memperoleh nutrien esensial dan mengkolonisasi ruang untuk bertahan hidup. Kandidat potensial agen pengendali hayati adalah mikroba yang sangat kompetitif dalam memperoleh nutrien dan mengkolonisasi ruang. Proses kompetisi ini dianggap sebagai interaksi tidak langsung (indirect). Junaidi dkk. (2013) dan Kohl dkk (2019) menyimpulkan bahwa patogen akan tereliminasi sebagai dampak kekurangan nutrisi dan ketidak-mampuan dalam mengkolonisasi ruang.
Antagonisme
Antagonisme merupakan mekanisme agen pengendali hayati yang mikrobanya secara langsung berinterasi dengan patogen (direct). Hal ini berbeda dengan kedua mekanisme sebelumnya yang mikrobanya berinteraksi secara tidak langsung (indirect).
Mekanisme Antagonisme dapat terjadi melalui hiperparasitisme dan antibiosis. Hiperparasitisme sendiri diistilahkan sebagai “parasit dari parasit” (parasite of the parasite). Parasitisme sendiri merupakan interaksi langsung antara dua organisme. Satu organisme tersebut bersifat parasit dan memperoleh keuntungan berupa nutrien dari organisme lainnya, yaitu inang. Apabila inang dalam interaksi tersebut merupakan parasit, dalam hal ini patogen, maka interaksi tersebut disebut hiperparasitisme (Kohl dkk., 2019).
Contoh interaksi hiperparasitisme adalah jamur tanah Coniothyrium minitans dengan Sclerotinia sclerotiorum. Menurut Mousa dan Raizada (2016), Sclerotinia sclerotiorum merupakan patogen pada tanaman jenis legum (kacang-kacangan). Sedangkan Jamur Coniothyrium minitans merupakan mikoparasit potensial terhadap patogen Sclerotinia sclerotiorum tersebut.
Sedangkan Antibiosis merupakan mikroba antagonis yang menghasilkan suatu substansi yang dapat menghambat pertumbuhan, bahkan membunuh patogen. Brzezinska dkk (2014) menyebutkan bahwa substansi tersebut bisa berupa antibiotik, enzim, senyawa volatil, serta toksin. Antibiosis sendiri dinilai sebagai mekanisme pengendalian hayati yang utama.
Salah satu enzim yang dihasilkan oleh mikroba dalam konteks antibiosis adalah Kitinase. Kitinase merupakan enzim hidrolitik yang mengkatalis penguraian ikatan ß-1,4 glikosida antara residu N-Asetilglukosamin penyusun polimer kitin. Mikroba penghasil Kitinase sendiri berasal dari kelompok bakteri dan jamur (Brzezinska dkk., 2014 dan Veliz dkk., 2017 ).
Ekosistem tanah dan area sekitar akar (rizosfer) memiliki jumlah mikroba penghasil enzim kitinase (kitinolitik) yang sangat melimpah dan didominasi oleh mikroorganisme berjenis aktinomiset. Sekitar 90 persen aktinomiset yang diisolasi dari tanah berasal dari genus Streptomyces. Hampir semua aktinomiset merupakan saprofit yang mampu mengurai lignin, kitin, pektin, dan kreatin. Bakteri yang termasuk ke dalam jenis kitinolitik tanah, di antaranya: Favobacterium, Bacillus, Cytophaga, dan Pseudomonas. Sedangkan jamur yang termasuk kitinolitik, di antaranya: Aspergillus, Mucor, dan Morierierella (Brzezinska dkk., 2014).
Vermikompos juga memiliki kandungan mikroba kitinolitik yang berasal dari genus Streptomyces, Aeromonas, Lysobacter, dan Salinispora. Mikroba ini berperan penting dalam degradasi kitin di lingkungan. Adapun sebagian besar isolat mikroba kitinolitik pada vermikompos berasal dari genus Streptomyces yang umum dikenal memiliki aktivitas kitinolitik dan antifungi (Yasir dkk., 2009).
Aplikasi agen mikroba yang mengandung metabolit berupa kitinase telah digunakan untuk tujuan pengendalian hayati berbagai patogen tanaman (Brzezinska dkk., 2014). Selain itu, komunitas bakteri penghasil kitinase yang berasal dari vermikompos dilaporkan memiliki efek penghambatan berbagai patogen tanaman, seperti: Rhizoctonia solani, Colletotrichum coccodes, Phytium ultimum, Phytophora capsici, dan Fusarium moniliforme (Yasir dkk., 2009). Beberapa bakteri yang dimaksud, antara lain: Nocardioides oleivorans serta beberapa spesies Streptomyces dan Staphylococcus epidermidis.***
Disunting oleh Yudha P, Sunandar
Author Profile
- Periset Walungan di bidang mikro-biologi dan pertanian. Meraih gelar magister dari jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung pada tahun 2021.