Penyakit akar gada (clubroot disease) merupakan penyakit tanaman yang menular melalui media tanah. Umumnya, penyakit ini menyerang tanaman berjenis kubis-kubisan dari keluarga Brassicaceae. Agen penyakit ini adalah patogen Plasmodiophora brassicae. Patogen ini merupakan parasit tumbuhan dari kingdom Protista dan kelas Phytomyxea.
Seluruh tumbuhan keluarga Brassicaceae dianggap sebagai inang potensial bagi penyakit Akar Gada. Beberapa genus yang telah diteliti, di antaranya adalah Brassica, seperti: kubis dan sawi; Raphanus, seperti: lobak; dan Arabidopsis (Dixon, 2009).
Ketika menyerang inang potensialnya, patogen Plasmodiophora brassicae akan mempengaruhi metabolisme hormon pertumbuhan tanaman, terutama auksin dan sitokinin. Auksin sendiri merupakan hormon di ujung akar dan batang yang berfungsi untuk mengatur pembesaran sel tanaman. Sedangkan Sitokinin merupakan kumpulan hormon untuk mendorong pembelahan sel di jaringan meristematik. Kedua hormon tersebut sangat penting bagi perkembangan akar dan batang tanaman.
Keberadaan patogen Plamodiophora brassicae ini memicu perubahan metabolisme kedua hormon tersebut. Kerja kedua hormon menjadi berlebihan, khususnya dalam hal pemanjangan dan pembelahan sel. Akibatnya, akar tanaman kubis-kubisan mengalami pembengkakan dengan bentuk struktur akar seperti alat pemukul gada. Hal inilah yang membuat kelainan tanaman ini disebut Penyakit Akar Gada.
Pembengkakan akar tanaman tersebut akan mengganggu fungsi akar, terutama fungsi utamanya sebagai penyerap dan transportasi air dan zat hara. Dampak lainnya, patogen Plasmodiophora brassicae mengambil alih nutrisi akar di tanaman inangnya, sehingga menghambat pertumbuhan bagian tanaman lainnya, terutama batang dan daun. Akibatnya, tanaman menjadi layu, kerdil, dan akhirnya mati (Cicu, 2006; Daval dkk., 2020; dan Muller dkk., 2009).
Lahan yang tanamannya sudah terinfeksi penyakit Akar Gada berpotensi besar untuk menularkan penyakit yang sama ke tanaman lainnya, meskipun penanaman keduanya dilakukan pada waktu yang jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh spora patogen penyakit Akar Gada yang mampu hidup di tanah sampai 17 tahun lamanya tanpa kehadiran tanaman inang. Spora Plasmodiophora brassicae sendiri sangat kokoh dan resistan.
Buczacki dan Moxham (1983) menyebutkan bahwa dinding spora tersebut tersusun dari lima lapisan perlindungan, yaitu: serat protein longgar di lapisan terluarnya, serat granula yang mengandung lipid pada lapisan di bawah lapisan terluar, lalu lapisan kitin, lapisan fosfolid, dan membran dalam spora sebagai lapisan terdalam.
Kitin sendiri merupakan lapisan paling berpengaruh dalam mendukung resistansi dan perlindungan spora Plasmodiophora brassicae, sehingga mampu bertahan hidup di tanah selama bertahun-tahun (Schwelm dkk., 2015). Analisis kimianya menunjukkan bahwa 88 persen berat kering spora ini terdiri dari kitin sebanyak 25,1 persen. Adapun berat sisanya terdiri dari lebih dari 2,5 persen kaborhidrat lain, 33,6 persen protein, 17,5 persen lipid, dan 10,5 persen residu abu (Moxham dan Buczacki, 1983).
Spora sendiri merupakan bentuk sekaligus siklus pertama dari patogen Plasmodiophora brassicae. Setelah terlepas dari jaringan akar tanaman yang terinfeksi dan membusuk, spora penyakit akar gada akan masuk ke fase dorman di dalam tanah. Setelah menemukan inang yang tepat, barulah spora ini berkecambah dan berubah menjadi zoospora primer. Pada fase ini, patogen penyakit akar gada akan bergerak menuju permukaan rambut akar dan melakukan penetrasi melalui dinding sel. Keberhasilan penetrasi ini menandai dimulainya tahapan infeksi rambut akar sebagai siklus kedua patogen Plasmodiophora brassicae.
Selanjutnya, patogen akan berubah menjadi plasmodia primer. Setelah mengalami beberapa kali pembelahan inti dan berubah membelah menjadi zoosporangia serta berkembang dan melepaskan zoospora sekunder, selanjutnya patogen ini akan melakukan penetrasi ke jaringan korteks akar. Tahapan berjuluk infeksi kortikal ini merupakan siklus ketiga dan terakhir patogen Plasmodiophora brassicae yang ditandai dengan perubahan pada kondisi fisik tanaman. Di dalam sel tanaman yang terinfeksi, patogen ini berkembang menjadi plasmodia sekunder yang terhubung dengan hipertropi seluler dan diikuti oleh pembentukan gada pada jaringan akar (Kageyama dan Asano, 2009 dan Schwelm dkk., 2015).
Dalam menghadapi penyakit akar gada ini, seorang pengelola lahan harus memperhatikan tiga komponen yang berpengaruh dalam proses infeksi patogen Plasmodiophora brassicae, yaitu: patogen, inang, dan lingkungan. Semakin ideal sebuah lingkungan dan semakin banyak inang yang tumbuh, maka semakin besar infeksi penyakit akar gada di lahan tersebut.
Setiap komponen infeksi di atas memiliki faktor-faktor yang lebih rinci. Pada komponen patogen, ada empat faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kembang biak patogen, yaitu: kepadatan spora, kematangan spora, viabilitas spora, dan jarak antara spora dengan rambut akar. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa spora yang semakin padat akan meningkatkan infeksi rambut akar di sebuah area. Namun, lingkungan ideal bagi perkecambahan spora justru memungkinkan satu spora untuk menginfeksi penyakit akar gada, walaupun tingkat kepadatannya cukup renggang.
Selain itu, spora yang matang dan berumur lebih tua lebih mudah menginfeksi tanaman inang dibandingkan spora berusia muda. Adapun faktor viabilitas spora terkait dengan kemampuan perkecambahan spora dan penyebaran penyakit. Sedangkan faktor keberadaan spora di sekitar rambut akar mampu meningkatkan proses infeksi penyakit akar gada. Dixon (2009) dan Ricarova dkk. (2016) menyebutkan bahwa mobilitas zoospora bisa terjadi pada jarak hanya 10-20 milimeter dari tumbuhan inang.
Pada komponen Inang, ada dua faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit akar gada, yaitu: komposisi eksudat akar dan tingkat resistansi tanaman inang. Eksudat akar sendiri berperan untuk mengusir atau memanggil mikroba yang dibutuhkan oleh tumbuhan dengan menghasilkan bahan-bahan alami tertentu. Akar tanaman keluarga Brassicaceae sendiri menghasilkan eksudat yang mengandung mineral, asam amino, asam organik, polisakarida, protein, dan germination-stimulating factor (GSF). Senyawa GSF inilah yang mampu menstimulasi perkecambahan spora patogen Plasmodiophora brassicae yang berujung kepada dimulainya infeksi penyakit akar gada (Friberg dkk., 2005). Feng dkk. (2010) merinci komponen GSF tersebut, antara lain: asam kafeat, asam komalat, dan korilagin. Adapun terkait tingkat resistansi tanaman inang, Dixon (2009) mencatat bahwa infeksi penyakit akar gada mudah terjadi pada inang dengan tingkat resistansi yang rendah.
Komponen ketiga yang mempengaruhi sebaran penyakit akar gada adalah lingkungan. Faktor yang terkait lingkungan tersebut, yaitu: kelembaban tanah, suhu, intensitas cahaya, kalsium, tingkat keasaman, boron, serta konstituen biologi. Dixon (2009) mencatat bahwa kelembaban tanah merupakan salah satu faktor penting dalam proses infeksi penyakit akar gada. Faktor tersebut mempengaruhi pergerakan zoospora primer.
Rod (1996) melaporkan bahwa kelembaban minimum bagi perkembangan patogen penyakit akar gada adalah 50 persen Maximum Water Capacity (MWC). Sedangkan kelembaban ideal bagi perkembangan patogen ini adalah 70-90 persen MWC. MWC sendiri merupakan ukuran jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah setelah terbasahi secara menyeluruh. Semakin rendah kadar MWC-nya, maka semakin sulit tanaman bertahan dalam keadaan kering, seperti pada pasir. Sebaliknya, tanah dengan kadar MWC tinggi mampu menyediakan suplai air kepada tanaman dalam keadaan tanpa aliran air selama beberapa hari, seperti pada tanah berjenis gambut.
Sedangkan suhu ideal bagi perkembangan patogen bervariasi tergantung geografis dan inang yang terinfeksi. Gossen dkk. (2012) menyimpulkan bahwa suhu ideal untuk infeksi patogen pada oilseed rape berkisar 23-26 derajat Celcius. Secara intensitas cahaya, faktor ini mempengaruhi efisiensi fotosintensis inang yang akan menjadi cadangan energi bagi pertumbuhan patogen Plasmodiophora brassicae di akar tanaman (Dixon, 2009). Adapun kalsium mempengaruhi tingkat germinasi spora dan pergerakan zoospora penyakit akar gada (Dixon and Page, 2001).
Lalu, bagaimana caranya untuk mengendalikan penyakit akar gada? Beberapa usaha yang dilakukan, antara lain: penggunaan varietas resisten, penerapan kultur teknis, rekayasa kimiawi, pemanfaatan agen biologi, serta penggunaan bahan organik. Varietas resisten sendiri memiliki beberapa kelebihan, seperti: ramah lingkungan dan minim biaya (Pang dkk., 2018). Namun, usaha pemuliaan varietas tanaman resisten berjalan cukup lambat. Dampak yang lebih mengerikan, penanaman varietas resisten secara terus menerus di lahan yang sama justru bisa memicu perkembangan patogen yang lebih virulen atau ganas (Agrios, 1997 dan Dobson dkk., 1983).
Metode lainnya adalah pengapuran sebagai bagian dari pengendalian patogen penyakit akar gada secara kultur teknis. Caranya dengan menambah garam kalsium ke lahan yang terinfeksi. Beberapa garam kalsium yang digunakan, di antaranya: kalsium sianimida, kalsium karbonat, kalsium sulfat, dan kalsium hidroksida (Tremblaya dkk., 2005; Webster dan Dixon, 1991). Dixon (1991) juga melaporkan bahwa boron dapat memperlambat laju pematangan spora patogen penyebab infeksi akar gada. Donald dan Porter (2004) melaporkan bahwa konsentrasi kalsium yang tinggi pada tingkat keasaman tanah dengan pH 6,2 atau 7,2 mampu mereduksi total infeksi rambut akar, khususnya pada tahapan plasmodia, sporangia, dan zoospora.
Tingkat pH sendiri merupakan faktor penting bagi perkembangan patogen. Tanah dengan pH basa dapat mereduksi infeksi rambut akar, menghambat kematangan plasmodia, dan pembentukan gada (Webster dan Dixon, 1991). Agrios (1997) mencatat bahwa perkembangan penyakit akar gada paling parah terjadi pada pH 5,7, dan menurun pada pH 5,7-6,2 serta tertekan pada pH 7,8.
Usaha pengendalian hayati dengan agen biologi menjadi pilihan alternatif karena ramah lingkungan, berbasis ekosistem, berbiaya terjangkau, serta berkelanjutan (Jasckhe dkk., 2010). Dalam hal ini, ada beberapa mikroba antagonis patogen Plasmodiophora brassicae yang telah teridentifikasi, seperti: Trichoderma spp., Streptomyces spp. (Cheah dkk., 2000), Heteroconium chaetospira (Dixon, 2009), Gliocladium catenulatum (Peng dkk., 2011), Bacillus subtilis (Li dkk., 2013), Lysobacter antibioticus (Zhou dkk., 2014), B. amyloliquefaciens, dan B. velezensis (Zhu dkk., 2020). Konstituen biologi tanah seperti makroflora dan mikroflora juga mempengaruhi infeksi penyakit akar gada. Bakteri kitinolitik dianggap sebagai antagonis utama dan mampu menekan jumlah patogen Plasmodiophora brassicae dengan cara mengurai kitin pada dinding spora patogen tersebut (Dixon, 2009).***
Editor: Yudha P, Sunandar
Author Profile
- Periset Walungan di bidang mikro-biologi dan pertanian. Meraih gelar magister dari jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung pada tahun 2021.